Hingga saat ini, total ada 59 perempuan berhadapan dengan hukum akibat terlibat kasus terorisme di Indonesia.
Fenomena keterlibatan kaum perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia belakangan kian mengkhawatirkan. Turun-temurun, tradisi budaya timur menempatkan kaum perempuan sebagai makhluk feminim, lemah lembut dan penuh emosional.
Namun beberapa waktu terakhir menunjukkan adanya pergeseran fenomena peran perempuan. Bahkan sangat mengejutkan, ketika sosok perempuan itu terlibat dalam aksi bom bunuh diri.
Kandidat Doktor di Departemen Kriminologi Fisip Universitas Indonesia (UI) 2022, Leebarty Taskarina membeberkan kajiannya mengenai fenomena tersebut dalam diskusi Interaktif Forum Virtual bertema “Perdamaian di Tangan Perempuan” memperingati Hari Perempuan se-Dunia pada Selasa, 29 Maret 2022.
Diskusi tersebut diselenggarakan atas kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Departemen Kehakiman Amerika Serikat/Program Bantuan Pelatihan Investigasi Kriminal Internasional – Proyek Pengembangan Kepemimpinan Perempuan United States Department of Justice (USDOJ) - International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP) - Women Leadership Development Project (WLDP) dan ruangobrol.id.
Leebarty membawakan tema “Informasi potensi ancaman dan keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme di Indonesia”. Konteks pembahasan ini dibatasi menggunakan tiga terminologi, yakni: partama, radikal terorisme, kedua, ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme, dan ketiga, tindak pidana terorisme.
“Ketiga terminologi ini telah diatur secara jelas dalam kerangka hukum di Indonesia,” terangnya.
Dalam konteks ini, Leebarty tidak membahas radikalisme secara umum atau general, melainkan mengacu pada penjelasan Undang-Undang maupun kerangka peraturan hukum.
Sebagaimana paham radikal terorisme yang diatur dalam penjelasan umum Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018, yakni ideologi yang membahayakan keamanan negara dan mengarah tindak pidana terorisme.
“Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme adalah keyakinan atau tindakan menggunakan cara kekerasan atau ancaman ekstrem dengan tujuan mendukung melakukan aksi terorisme. Sedangkan tindakan terorisme sendiri diatur pada Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2018,” ungkap perempuan yang juga mengemban tugas di Direktorat Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ini.
Data Perempuan Terlibat Terorisme
Dia menyebutkan, berdasarkan data pengadilan, hingga saat ini total ada 59 perempuan yang berhadapan dengan hukum akibat terlibat kasus terorisme di Indonesia. Merujuk kepada data putusan pengadilan, terdapat 43 perempuan yang telah melalui proses peradilan pidana.
“20 orang di antaranya masih berstatus sebagai napiter, 23 orang sisanya telah berstatus sebagai mantan narapidana terorisme. Sedangkan 16 orang masih dalam masa penyidikan, penuntutan, atau proses peradilan,” ungkapnya.
Dikatakannya, jumlah tersebut mengalami kenaikan signifikan dalam enam tahun terakhir. “Khususnya dalam rentang 2016-2020, diketahui terdapat 31 terdakwa perempuan dalam kasus terorisme,” sebutnya.
Sedangkan berdasarkan data survey Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2020. Dalam survey tersebut melibatkan total responden sebanyak 13.700 orang dengan rentang usia 14-55 tahun, tersebar di 32 provinsi.
“Diketahui bahwa indeks potensi radikalisme cenderung sedikit lebih tinggi pada kelompok perempuan di kalangan urban, Gen Z, dan milenial yang aktif di internet yakni sebesar 12,3 persen,” beber dia.
Sementara dari data hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2021 menyebutkan bahwa penggunaan sosial media dan risiko terpapar radikalisme dibedakan dalam beberapa rentang usia.
“Yakni pada usia 13-17 tahun, angka perempuan menunjukkan sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 1,1 persen dibandingkan dengan pengguna laki-laki,” terang dia.
Bisa diasumsikan, bahwa terdapat potensi terpapar radikalisme yang lebih dini bagi perempuan. “Khususnya dalam rentang usia remaja awal. Tentunya sangat dimungkinkan literasi digitalnya tergolong masih rendah,” katanya.
Grup “WhatsApp Akhwat”
Merujuk data penggunaan sosial media dari APJII tersebut, Leebarty menunjukkan screen capture aktivitas di salah satu grup “WhatsApp Akhwat” yang digunakan sebagai media komunikasi beberapa perempuan sebelum akhirnya mereka terlibat dalam aksi terorisme.
“Aktivitas di salah satu grup “WhatsApp Akhwat” tersebut menunjukkan dan didapati adanya reproduksi atau replikasi teks kekerasan melalui aplikasi chat messenger. Chat ini ada atau mengemuka ketika kejadian kerusuhan di Mako Brimob pada tahun 2018,” ungkapnya.
Waktu itu, lanjut dia, dua pelaku perempuan tersebut didapati berkomunikasi melalui chat grup. Beberapa penggalan kalimatnya sebagai berikut:
“Ana td nyemangatin ikhwan. dan ikhwan itu bilang takut mati dan pengin nikah dulu,”
“Para AKHWAT BANGKIT….JIHAD UDA FARDHU AIN. GK PERLU MINTA IZIN SUAMI ATAU ORTU”
“Okeee, kl 2 hari gk ada yg mau maju, KAMI SIAP MAJU”
“Bayangkan betapa mudahnya ketika mereka kemudian membuat efek malu atau shaming effect kepada laki-laki di grup itu. Bahwa mereka (perempuan) juga bisa melakukan perjuangan—yang mereka atas-namakan agama, sebagai sebuah amaliyah atau sebuah amalan yang paling tinggi yaitu kekerasan atas-nama surga,” terang Leebarty.
Aktivitas komunikasi melalui grup whatsapp tersebut merupakan bentuk atau contoh bagaimana mereka aktif pada 2018. “Mereka saat ini masih berstatus sebagai napiter,” ujarnya.
Sederet Kasus Menonjol terkait Pelibatan Perempuan dalam Terorisme
Beberapa kasus menonjol terkait pelibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia dimulai sejak Al-Qaeda eksis, dengan kelompok afiliasinya di Indonesia yakni kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Apalagi setelah kelompok ISIS aksis dengan kelompok afiliasinya di Indonesia.
“Adalah perempuan berinisial PM, istri salah satu anggota JI. Dia menuruti suaminya untuk menyediakan kamar dan makanan untuk Noordin M Top,” sebutnya.
PM bahkan tidak mengetahui bila di dalam rumahnya tersebut adalah gembong teroris yang selama berbulan-bulan dicari oleh aparat penegak hukum. “Selama tiga bulan, Noordin M Top berada di rumahnya. Dia diminta oleh suaminya untuk tidak boleh menanyakan siapa orang tersebut. Dia hanya tahu kalau orang tersebut adalah guru ngaji suaminya,” katanya.
Pelibatan PM waktu itu, kata Leebarty, sebagai tenaga perbantuan. Begitu pun dengan perempuan berinisial M yang diketahui berstatus sebagai istri kedua Noordin M Top.
“Berkali-kali pemberitaan media tentang Noordin M Top waktu itu, namun M tidak bilang bahwa Noordin M Top adalah suaminya. Karena yang diketahui bahwa nama suaminya bukan Noordin M Top, tapi Abdur Rahman Aufi,” katanya.
Hal itu menunjukkan bagaimana manipulasi laki-laki meyakinkan perempuan saat itu, bahwa M bisa jadi istri kedua, membantu Noordin M Top hingga membuatnya aman dari pencarian aparat penegak hukum.
“Pada kasus lain, istri Santoso dinikahi pada usia 16 tahun dipaksa untuk ikut bergerilya di dalam hutan. Mereka meninggalkan anaknya yang saat itu baru berusia 5 bulan. Karena keluarganya Santoso tidak menerimanya sebagai istri kedua,” bebernya.
Sedangkan pada 2018, yakni perempuan berisial PK, melakukan bom bunuh diri bersama-sama anaknya. Juga perempuan berinisial S yang melakukan bom bunuh diri bersama anaknya.
“Ada kemungkinan dia sendiri tidak mengetahui bahwa bom yang ada di rumahnya bisa mampu meruntuhkan 40 rumah di sekitarnya. Karena mayat anaknya ditemukan di reruntuhan langit-langit rumah. Sepertinya dia meminta anaknya untuk bersembunyi di atas langit-langit rumah berharap bisa menyembunyikan anaknya, tapi ternyata hampir 40 rumah runtuh ketika dia memencet saklar untuk mengaktifkan bom,”
Selanjutnya, remaja yang mendukung atau bersimpati dalam kasus kerusuhan di Mako Brimob hanya menggunakan gunting. “Dia berani masuk ke markas polisi. ZA berusia 25 tahun melakukan upaya penembakan di Mabes Polri pada 2021,” sebutnya.
Berikutnya, kasus perempuan berinisial YSF bersama suaminya L melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. “Mereka baru saja menikah selama 6 bulan. Dari kasus ini, kemudian ditemukan bahwa bentuk pernikahan tersebut sebagai bagian dari jihad,”
Surat Wasiat
Seringkali pelaku terorisme meninggalkan surat wasiat untuk orang terdekatnya. Sehingga surat wasiat ini menjadi objek analisis yang menarik.
“Karena setiap ada kejadian teror, selalu ada surat yang dititipkan bagi siapa pun yang mau melakukan aksi amaliyah. Kami membandingkan surat wasiat yang dituliskan oleh DYN, waktu itu dia merencanakan aksi pengeboman di istana presiden pada 2016,”
Dia menulis dua surat, kepada mantan suami dan orangtuanya. Kemudian ZA juga meninggalkan surat untuk orangtuanya sebelum dia melakukan upaya penembakan di Mabes Polri pada 2021.
“Kami memenggal beberapa kalimat yang kemudian kami lihat ada similariti-nya,” katanya.
Penggalan kalimat surat wasiat DYN untuk mantan suaminya, sebagai berikut:
“Doakan saya supaya upayaku diterima di sisi-Nya dan mendapatkan nikmat syahid Aamiin Allahuma Aamiin. Semoga kita semua berkumpul di jannah-Nya (surga) kelak,”
Kemudian surat wasiat DYN untuk orangtuanya:
“Ya sudah jaga diri kalian baik-baik. Semua yang terjadi karena kehendak Allah dan apa yang saya lakukan bukan tanpa ilmu. Saya tahu mana yang baik, mana yang buruk,”
“Inilah caraku berbakti kepada agama dan kepada kalian orang tuaku. Jangan pernah kalian membenci jalanku ini. Allah bersama orang-orang yang beriman,”
Penggalan surat wasiat ZA untuk orang tuanya:
“Semoga Allah kumpulkan di surga,”
“Amalan jihad akan memberi manfaat kepada keluarga di akhirat. Jihad adalah amalan tertinggi di dalam Islam,”
Kedua pelaku ini meyakini bahwa aksi mereka sejalan dengan perintah Tuhan dan akan mendapatkan imbalan surga. Menurut Leebarty, ungkapan “amalan jihad” dan “nikmat sahid” menyiratkan bahwa ZA dan DYN memahami bahwa aksi kekerasan dan terorisme sebagai tindakan yang benar.
Menurutnya kematian akibat dari aksi tersebut tergolong mati sahid atau wafat karena membela kebenaran dan menegakkan—yang mereka atasnamakan—ajaran agama,” katanya.
Seolah-olah, lanjut dia, hal itu menjadi bagian dari gerakan “jihad” dan “amalan tertinggi” untuk mencapai “surga”.
“Meski sudah lima tahun berbeda, yaitu 2016 dan 2021, diksi “surga”, diksi “amalan tertinggi” dan diksi “jihad”, kerap ditemukan dalam surat-surat wasiat yang ditinggalkan baik melalui media sosial maupun surat tertulis,” ungkap dia.
“Artinya, pola propaganda terhadap perempuan lebih menarik, yaitu janji surga itu seolah-olah, betul-betul diyakini sebagai kebenaran yang hakiki,” imbuhnya.
Konstruksi Sosial Budaya di Indonesia
Dia tidak memungkiri, sejumlah riset pun menyebutkan bahwa terdapat peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi terorisme yang terjadi bukan hanya didorong oleh situasi global. Baik ketika Al-Qaeda eksis dan Jaringan Islamiyah maupun ISIS serta kelompok afiliasinya seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Indonesia.
“Tetapi terdapat pula tekanan konstruksi sosial budaya di Indonesia yang berkembang terhadap perempuan. Seolah-olah memberikan dorongan tersendiri. Semua mereka terbatasi, tidak boleh keluar rumah jika tidak dengan mahramnya. Tidak boleh duduk sejajar. Apa yang sebelumnya dilarang, kemudian bebas dan terbuka melalui akses informasi, pemberian ruang agar perempuan bisa sejajar, kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ini agar perempuan bisa lebih terlibat,” bebernya.
Lebih lanjut, masih kata Leebarty, perdebatan yang kemudian muncul, apakah perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme ini adalah korban atau pelaku?
“Itu tergantung perspektif masing-masing. Apakah mereka betul-betul korban, atau ternyata mereka betul-betul menyuarakan kebebasan atas-nama perempuan? Kesejajaran perempuan yang akhirnya mereka bisa memegang senjata atau mempunyai ruang di mana sebelumnya mereka tidak memiliki tempat untuk aktif terhadap eksistensinya, atau menyuarakan pendapatnya, atau mereka merupakan perempuan korban yang dibentuk, didesain menjadi pelaku?”
Menurutnya hal itu perlu kajian lebih jauh dan menjadi PR bersama. Baik penegak hukum, aktivis, jurnalis, mahasiswa, peneliti, dan seterusnya. “Apakah mereka disebut pelaku atau korban, itu adalah bagaimana kita menggali latar belakang motif bagaimana seseorang tersebut akhirnya terlibat aksi terorisme, mungkin itu akan lebih memberikan gambaran yang lebih objektif,” katanya.
Leebarty mengatakan, beberapa penelitian menyebutkan adanya faktor ideologi. Misalnya, ideologi bahwa agama memperbolehkan melakukan kekerasan. “Maka itu satu-satunya ideologi yang dipertahankan dan dianggap sebagai kebenaran yang hakiki,”
Hal inilah, lanjut dia, yang seharusnya bisa dilakukan intervensi agar bagaimana mereka memiliki pemikiran kritis, bukan hanya berlandaskan satu guru atau ustaz semata ataupun satu literasi digital semata.
“Kemudian faktor propaganda religius yang mengatasnamakan keagamaan sebagai panggilan jihad, atau jihad melalui pernikahan, termasuk faktor ekonomi-sosial dan kemiskinan, diskriminasi, pemerasan emosional dan perekrutan paksa,”
Adanya faktor pribadi, agensi, hubungan relationship seperti adanya anggota keluarga yang terlibat dalam jaringan terorisme. “Sehingga mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apakah mereka boleh keluar dari lingkaran tersebut atau tidak, atau bahkan balas dendam,” ujarnya.
Potensi perempuan sebagai agen perdamaian
Leebarty mengutip penelitian S3 Kombes Dr. Didik Novi Rahmanto, disebutkan dari 20 returnees yang menjadi narasumber, bahwa dominan mereka pulang karena ingat sosok ibu, anak, istri ataupun saudara perempuan.
“Jadi, sebetulnya potensi perempuan menjadi agen perdamaian itu betul-betul tinggi. Mereka yang telah berangkat itu, ketika teringat ibu, istri, mereka ingin pulang,” ujarnya. (*)
BACA JUGA: Forum Interaktif Virtual “Perdamaian di Tangan Perempuan”
Komentar