Reintegrasi Konkret Umar Patek: Dari Racik Bom ke Racik Kopi

Analisa

by Akhmad Kusairi Editor by Redaksi

Di sebuah sudut kota Surabaya, tepatnya di Kafe Hedon Estate menjadi saksi peluncuran produk “Kopi Ramu 1966”. Kopi Ramu ini dilanching pada Selasa (3/6/2025) minggu lalu. Acara yang berlangsung secara sederhana itu dihadiri sejumlah tokoh penting. Di antaranya mantan Kadensus 88 Komjen Pol. Martinus Hukom, Dahlan Iskan, dan Ali Fauzi Manzi, pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian.

Namun siapa sangka, di balik racikan espresso dan seduhan kopi itu, berdiri sosok yang dulu menjadi pelaku salah satu tragedi terburuk dalam sejarah Indonesia. Ya, Umar Patek, pelaku kasus Bom Bali I, kini merintis usaha Kopi Ramu. Kopi Ramu memiliki beberapa varian andalan. Di antaranya signature, arabica Ijen, robusta dan rempah. Nama Ramu sendiri berasal dari kebalikan dari namanya bila dieeja dari belakang.

Langkah Umar Patek ini patut diapresiasi. Lantaran bisa menjadi praktik baik dalam program reintegrasi ke masyarakat. Selama ini, istilah “reintegrasi” kerap terdengar abstrak: program, modul, pengawasan, evaluasi psikologi. Tapi "Kopi Ramu" memberi wajah nyata bagi program reintegrasi. Bahwa seorang mantan napi terorisme tidak hanya dibebaskan dari penjara, tetapi juga diberi ruang untuk hidup kembali sebagai manusia utuh—bekerja dan berinteraksi sebagai warga negara.

Ini langkah besar, dan bukan tanpa risiko. Banyak pihak mempertanyakan: apakah masyarakat siap menerima? Apakah keluarga korban tidak merasa disakiti kembali? Apakah ini bukan glorifikasi? Pertanyaan-pertanyaan itu valid, dan tak bisa diabaikan. Tapi di sisi lain, jika reintegrasi hanya dilakukan diam-diam dan tanpa kejelasan, masyarakat pun akan tetap curiga, dan mantan pelaku akan terpinggirkan hingga mungkin kembali ke jaringan lamanya (residivis).

Kopi Ramu adalah eksperimen sosial yang tak bisa dijalankan setengah hati. Ia menuntut transparansi, keterlibatan komunitas, dan yang terpenting: kesadaran bahwa kepercayaan tidak datang tiba-tiba—ia dibangun perlahan, seteguk demi seteguk.

Sebelumnya program serupa pernah dibuat oleh Yayasan Prasasti Perdamaian yang didirikan Pakar Terorisme Noor Huda Ismail dengan ‘Dapoer Bistik’ di Semarang dan Solo. Pada awalnya Resto tersebut memperkerjakan para mantan napiter setelah keluar dari Lapas. Namun para mantan napiter tersebut tidak bertahan lama. Karena banyak yang menganggap resto tersebut bagian dari BNPT.

Belajar dari hal tersebut seharusnya Kopi Ramu Umar Patek tidak mengulangi hal yang sama. Ia harus dikelola dengan baik dan profesional. Apalagi menghadapi persaingan ketat dari brand kopi yang sudah ada.

Dari Racik Bom ke Racik Kopi

Umar Patek, nama yang dahulu membuat dunia internasional bergidik, kini menjadi owner dari brand Kopi Ramu. Ia tidak hanya meracik minuman, tetapi juga mencoba meracik kembali hidupnya—dari seorang perakit bom menjadi peracik kopi dan minuman tradisional.

Setelah menjalani dua pertiga masa hukumannya dan mengikuti program deradikalisasi, Umar dibebaskan bersyarat pada akhir 2022. Sejak itu, ia aktif dalam kegiatan sosial dan program deradikalisasi di LAPAS Porong. Membuat Kopi Ramu ini, menurutnya, adalah bagian dari membangun kembali identitas: menjadi warga biasa yang bekerja, berkontribusi, dan berharap diterima kembali di tengah masyarakat.

Pemilik nama Hisyam bin Ali Zein ini pada awalnya tidak percaya diri kopi racikannya bisa dijual untuk umum. Adalah drg David –pemilik Kafe Hedon Estate-- yang meyakinkan pria kelahiran Pemalang 59 tahun yang lalu itu untuk berani menerima tawaran bisnis jualan kopi. Saat launching Kopi Ramu, mantan buronan Interpol itu berharap jika usahanya ini bisa sukses. Dari usahanya ini dia berencana membantu para penyintas kasus terorisme.

Trauma yang Tak Mudah Hilang

Namun tidak semua orang bisa menerima kehadiran Kopi Ramu ini begitu saja. Bagi banyak korban dan keluarga, nama Umar Patek tetap membawa luka. Seperti saat Umar hendak bebas bersyarat pada tahun 2022 lalu. Pembebasannya sempat tertunda lantaran ada negara yang warga negaranya banyak menjadi korban dalam serangan Bom Bali 1 memprotes pembebasan itu.

Bagi korban Bom Bali melihat Umar tersenyum di balik meja kasir, bisa terasa seperti menabur garam di luka yang belum sembuh.

Inilah dilema reintegrasi: antara hak pelaku untuk hidup kembali, dan hak korban untuk tidak dilupakan. Membebankan semua kesalahan kepada Umar bukanlah langkah yang bijak. Karena menurut pengakuannya sendiri ia juga tidak setuju dengan serangan Bom Bali.

Karena itulah pentingnya kehadiran negara di sini. Negara punya tanggung jawab ganda melindungi warga negara dan menjamin hak-hak korban terpenuhi. Jangan sampai karena alasan efisensi anggaran, hak-hak korban diabaikan atau malah dihilangkan. Korban bukan hanya angka, tetapi manusia yang perlu didengar, dipertimbangkan, dan—jika memungkinkan—dilibatkan dalam proses penyembuhan kolektif.

Akan sangat kuat, misalnya, jika suatu hari Kopi Ramu bisa menjadi minuman di tengah diskusi anti-radikalisme yang inklusif—bukan hanya tentang kopi, tapi tentang bagaimana bangsa ini bisa berdamai dengan masa lalunya.

Dari Rasa Pahit ke Harapan Baru

Ada sesuatu yang simbolik tentang kopi dan reintegrasi. Keduanya pahit. Tapi di tangan yang tepat, kepahitan bisa menjadi kekuatan rasa. Umar Patek tentu tak bisa melupakan masa lalunya, dan publik pun tidak wajib melupakannya. Tapi dengan membuat produk kopi ini, ia memberi pesan: bahwa ia memilih cara baru untuk hidup, untuk berkontribusi, dan—entah disadari atau tidak—untuk menebus kesalahan masa lalunya.

Apakah ini cukup? Tentu tidak. Penebusan bukan proses instan. Tapi ini adalah langkah awal. Dan mungkin, bagi beberapa orang yang datang ke kafe Hedon dan kebetulan melihat langsung Umar meracik kopi bisa memberi perspektif baru: bahwa perubahan itu mungkin, meski tidak mudah.

Akhirnya Kopi Ramu bukan sekadar produk kopi. Ia adalah simbol tentang bagaimana Indonesia menangani masalah terorisme dengan cara yang tak melulu represif. Umar Patek mungkin telah berubah. Tapi ingatan tentang apa yang ia lakukan tetap hidup. Mungkin itu baik—karena bangsa yang bisa mengingat masa lalunya, adalah bangsa yang lebih kuat melangkah ke masa depan.

Jadi, jika suatu hari Anda berada di Surabaya dan menemukan Kopi Ramu, maka tak ada salahnya untuk mencoba sensasi dari kopi racikan Umar Patek yang juga ahli meracik bom itu.[Akhmad Kusairi]





Foto: Screenshoot dari Youtube Detik.com (https://www.youtube.com/watch?v=KFDQKI8-R-w)

Komentar

Tulis Komentar