Siapa pula yang rela mengabaikan potensi pemasukan negara sebesar 300 triliun rupiah? Angka tersebut merupakan target ambisius Pemerintah Indonesia dengan mengirim 425 ribu pekerja migran ke luar negeri pada tahun 2025 ini – jumlah yang meningkat 43% dari angka tahun lalu, 297 ribu pekerja.
Bagaimanapun, cita-cita besar ini tetap harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas, penguatan perlindungan, dan langkah preventif terhadap sejumlah tantangan, salah satunya ancaman yang paling berbahaya yaitu radikalisasi melalui media sosial. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan bahwa pada 2024, terdapat lebih dari 2.200 akun media sosial yang menyebarkan lebih dari 10 ribu konten terkait aktivitas terorisme. Celakanya, tidak sedikit di antara akun media sosial itu dimiliki oleh para pekerja migran.
Solihudin Nasution, Kepala Subdirektorat Pelindungan WNI dan Kepentingan Nasional di Luar Negeri BNPT, menyatakan bahwa hingga akhir tahun 2024, setidaknya 118 pekerja migran Indonesia telah dipulangkan atau dideportasi karena dugaan keterlibatan dalam jaringan terorisme di negara penempatan. Salah satu kisah yang paling menyentuh dan menggugah kesadaran adalah pengalaman Listyowati.
Listyowati lahir sebagai anak petani di sebuah dusun kecil di Kendal, Jawa Tengah. Sejak kecil, tubuh mungilnya sudah menyatu dengan tanah basah sawah – memetik cabai, menjemur bawang, menyiram ladang bersama sang ibu. Kehidupan keras dan serba terbatas membuat Lis tumbuh menjadi pribadi yang cekatan namun pendiam – seorang perempuan desa yang terbiasa menelan kenyataan tanpa banyak tanya.
Pada usia 22 tahun, ia mengambil keputusan besar: merantau ke Singapura sebagai pekerja migran, mengikuti jejak kakaknya. Selama dua tahun dia menjadi pengasuh anak di sana. Kebebasan yang ingin dia cari di negeri orang ternyata tak sepenuhnya dia temukan. Dia pun memutuskan kembali ke kampung untuk menikah. Malang, justru setelah menikah, kehidupannya semakin terjepit. Kekerasan dalam rumah tangga menghancurkan harapannya akan cinta. Dia semakin diam, tak tahu harus mengadu pada siapa.
Pada 2016, Lis kembali menjadi pekerja migran – kali ini di Hong Kong. Ia meninggalkan anak semata wayangnya yang masih berusia 1 tahun 4 bulan. Si kecil itu hanya bisa memanggil “Mama” lewat layar ponsel. Di sela-sela waktu luangnya merawat lansia, Lis mulai berjualan makanan ringan, sambil menabung sedikit demi sedikit.
Lis akhirnya membeli ponsel pintar pertamanya. Dunia digital pun menyambutnya dengan pelukan hangat – Facebook, YouTube, grup-grup dakwah daring. Dan di sanalah semuanya bermula.
“Awalnya cuma lihat video-video soal Palestina dan Suriah. Saya nangis waktu lihat anak-anak kecil jadi korban perang. Dari situ saya pun mulai bergabung ke grup-grup dakwah,” ujar Lis.
Lis hanyalah satu dari ribuan perempuan migran yang mencari makna dan jawaban di dunia maya. Dalam sunyi, ia terhubung dengan kelompok yang memberinya empati, arah, dan – yang paling mengejutkan – pengakuan.
Saya merangkum proses keterlibatan seseorang ke dalam jaringan online menjadi formula 3N. Pertama, needs – permasalahan personal, titik lemahnya seseorang. Kedua, network – lingkaran sosial, yang kini lebih banyak ditemukan di media sosial. Terakhir, narrative – cerita yang membuat orang merasa punya makna. Narasi yang ditawarkan kelompok ekstrem ini bukan cuma soal agama, tapi janji akan cinta, pengakuan, bahkan surga.
Di salah satu grup, Lis berkenalan dengan Arif, pria dari Kalimantan Barat. Kata-kata Arif yang lembut, doanya yang sering panjang-panjang. Arif menyebut Lis sebagai wanita salehah, calon bidadari surga. Dan bagi Lis – yang lama tak merasa dicintai – kata-kata itu pun menjadi oksigen.
“Dia bilang saya wanita salihah, katanya saya bisa masuk surga kalau bantu perjuangan dia. Saya percaya, saya pikir dia cinta saya,” ucap Lis bercerita lirih.
Namun cinta itu adalah jebakan. Lis diminta mentransfer uang. Diminta menyebarkan konten. Diminta percaya, tanpa pernah benar-benar tahu ke mana perginya uang dan untuk siapa kata-kata itu ditujukan. Sampai akhirnya, polisi Hong Kong menangkapnya. Ia disebut bagian dari jaringan teroris lintas negara.
Di dalam tahanan, Lis tidak menangis. Dia hanya diam, menatap kosong. Tapi saat akhirnya dipulangkan ke Indonesia, dia sadar: semuanya berubah. Lis masuk program rehabilitasi. Untuk pertama kalinya, dia diajak bicara oleh orang-orang yang tidak menghakimi. Di sanalah dia bertemu orang-orang seperti Mbak Hani, dan melihat film dokumenter Pilihan tentang dirinya – seolah menjadi cermin yang memperlihatkan betapa jauh dia telah terseret.
“Saya nggak mau perempuan lain mengalami nasib seperti saya. Saya sudah hancur. Tetapi kalau cerita saya bisa menyelamatkan yang lain, saya ikhlas,” ucapnya.
Peneliti dan pakar gender, Lies Marcoes, menyebut bahwa yang terjadi pada Lis bukan semata karena dia naif atau bodoh. Tetapi karena dia adalah perempuan dalam sistem yang tak pernah memberinya pengakuan.
“Coba bayangkan dalam suatu masyarakat patriarki yang tidak merekognisi peran perempuan, lalu perempuan itu menjadi tenaga migran di negeri asing, sendiri, tanpa perlindungan. Ketika ada seseorang yang menyebutnya istimewa, bahkan menyamakan perjuangannya dengan jalan ke surga – itu mengubah segalanya. Dari yang semula nobody jadi somebody,”
“Dia merasa dikenali, dihargai, dan perjuangannya diberi nilai. Sebelumnya, bagi keluarganya, dia bernilai uang. Sekarang, nilainya bersifat ideologis. Kamu membangun sesuatu untuk Islam, untuk akhirat. Siapa yang tak tergoda dengan makna sebesar itu?”
Belakangan Lis terlibat sebagai bagian gerakan literasi digital untuk para pekerja migran perempuan. Dia berbagi cerita di forum daring, menulis puisi, bahkan tampil dalam diskusi film dokumenter. Dia tahu, masa lalunya tak bisa dihapus. Tetapi dia bisa mengubah masa depan orang lain. Mengingatkan bahwa cinta memang bisa jadi jembatan, tetapi juga tak mustahil jadi jebakan.
Cerdas Menggunakan Media Sosial
Sebagai bagian dari upaya melindungi pekerja migran Indonesia dari berbagai ancaman – termasuk dari radikalisasi melalui media sosial – peran pemerintah sangatlah krusial. Pendidikan literasi digital harus menjadi prioritas.
Pemerintah perlu menggandeng lembaga-lembaga terkait untuk menyusun program edukasi berbasis literasi digital yang mampu menyentuh langsung kalangan pekerja migran. Ini bukan hanya soal mengajarkan cara mencari informasi yang benar, tetapi juga melatih mereka mengenali tanda-tanda dari ajakan atau narasi radikal yang sering muncul di grup-grup online.
Bagi calon pekerja migran, pesan yang perlu selalu diingat adalah: jangan mudah tergoda oleh kata-kata manis atau janji-janji muluk dari orang yang baru dikenal di dunia maya. Belajarlah untuk berpikir kritis dan selalu waspada terhadap segala bentuk manipulasi.
Menggunakan media sosial dengan bijak bukan hanya soal menghindari jebakan radikalisasi, tetapi juga tentang menjaga diri dan keluarga agar tidak terperangkap dalam narasi yang merugikan. Kesadaran ini harus ditumbuhkan sejak dini, sebelum keberangkatan mereka ke luar negeri. Semakin cerdas pekerja migran dalam menggunakan teknologi, semakin besar peluang mereka untuk terlindungi dari ancaman tidak kasat mata ini. Dan dengan demikian, pekerja migran bisa tetap fokus pada tujuan utama mereka – mengubah hidup serta masa depan mereka, tanpa harus terjebak dalam kehidupan yang penuh manipulasi dan kebohongan.
Pekerja migran adalah pahlawan devisa negara, dan mereka pantas mendapatkan perlindungan terbaik, termasuk dari ancaman dunia digital. Seperti diingatkan Lis dengan penuh keprihatinan, "Jangan sampai kalian seperti saya. Jangan mudah tergoda oleh kata-kata manis atau janji yang tidak nyata. Di dunia maya, semua bisa jadi ilusi. Cerdaslah dalam memilih siapa yang kalian percayai, siapa yang pantas kalian dengar. Kalau saya tahu dulu apa yang sekarang saya pahami, saya mungkin takkan terjebak dalam permainan ini. Jangan biarkan media sosial merusak hidup kalian. Gunakan untuk belajar, berkembang, dan menjaga diri." [ ]
Komentar