Perlu Bahan Ajar untuk Beri Pelatihan Para Pekerja Migran

News

by Administrator



SLEMAN -- Selama ini, radikalisme merupakan isu yang sulit untuk dipahami sebagian besar masyarakat, termasuk para buruh migran. Oleh karena itu diperlukan sebuah bahan ajar bagi para pihak-pihak yang secara khusus menangani permasalahan-permasalahan buruh migran terkait isu-isu radikalisme-terorisme.

"Diperlukan bahan ajar yang mudah dipahami seperti buku, film, dan kampanye media sosial. Selain itu diperlukan juga testimoni langsung dari para credible voice," ujar Direktur Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP), Noor Huda Ismail, di sela-sela agenda Forum Group Discussion (FGD) bertema 'Memperkuat Perangkat Pendukung Proses Pembelajaran bagi Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Moyudan, Sleman, Senin (25/9/2023).

Noor Huda menyampaikan bahwa keberadaan para credible voice dalam hal ini para mantan pekerja migran menjadi esensi yang penting. Hal tersebut dikarenakan para eks buruh migran tersebut benar-benar menjadi orang yang tahu seluk-beluk lapangan. "Mereka bisa menceritakan kisah mereka sehingga nantinya orang yang mendengarnya bisa terinspirasi dan berhati-hati ketika bekerja di luar negeri," kata Huda.

Terkait FGD, Noor Huda berharap nantinya akan ada feedback dari para stakeholder terkait seperti Dinas Tenaga Kerja dan Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI). Ia memandang saat ini, dunia digital sangat berperan penting dalam penyebaran radikalisme. "Selain nature dan nurture, saat ini algoritma juga memegang peranan penting penyebaran radikalisme," kata Huda.

Pengantar Kerja Ahli Muda BP3MI Daerah Istimewa Yogyakarta, Nila Rahmawati, mengungkapkan diadakannya FGD tersebut sangat membantu memberikan masukan-masukan dalam hal pengajaran bagi para calon pekerja migran di Indonesia. Menurut dia, para pengajar seperti dirinya akan sangat dimudahkan jika terdapat bahan ajar, terutama jika bahan ajar tersebut berbentuk visual.

"Karena (visualisasi) lebih memudahkan untuk diterima. Karena tantangan dalam mengajar salah satunya adalah gap education. Seperti diketahui, mereka (para calon pekerja migran) tingkat pendidikannya berbeda-beda mulai dari SD, SMP, SMA, sampai S1," kata Nila.

Selama ini, pihaknya baru menggunakan modul standar yang sifatnya umum. Permasalahan radikalisme, kata dia, digabung menjadi satu dengan pembahasan-pembahasan lain seperti undang-undang tenaga kerja, persoalan kontrak kerja, mental dan kepribadian, HIV-AIDS, hingga adat istiadat negara tujuan. "Penyampaiannya pun tergantung masing-masing instruktur. Ada yang sangat text book, namun juga ada yang memilih menggunakan story telling," katanya.

Di DIY, tahun ini jumlah calon pekerja migran yang tengah berproses tengah menunjukkan grafik meningkat meskipun belum mencapai angka sebelum pandemi Covid-19. Tahun 2023 sampai bulan September, sudah terdapat 4.425 pendaftar. "Sebelum pandemi lalu dalam setahun bisa mencapai 5.000 calon pekerja migran tiap tahunnya," ujarnya.

Sementara itu, eks pekerja migran Bambang Sutrisno mengungkapkan sebuah materi ajar akan memiliki peran krusial bagi nasib para buruh migran ke depannya. Karena menurut Bambang, persoalan radikalisme akan menjadi batu sandungan mereka baik jika terlibat secara sengaja maupun tidak sengaja. "Jangan sampai buruh migran terjebak dengan narasi-narasi radikalisme. Oleh kerena itu mereka perlu tahu hal-hal apa saja yang masuk kategori keterlibatan radikalisme," kata Bambang yang selama 11 tahun menjadi pekerja migran di Korea Selatan tersebut.

Berdasarkan pengalaman Bambang, biasanya seorang buruh migran terlibat ke dalam radikalisme dikarenakan tiga hal. Pertama, mereka tergabung dalam komunitas tertentu yang barangkali awalnya tidak menjurus radikalisme melainkan mendiskusikan politik.

"Dari situ mereka terjebak ke dalam politik identitas yang mengarah ke radikalisme. Awalnya barangkali hanya meng-counter lawan politik namun ternyata hal itu jadi bagian dari radikalisme," kata pria asal Godean tersebut.

Kedua, para buruh migran tersebut kurang bergaul dengan orang lain selama berada di luar negeri. Akibatnya, waktu mereka dihabiskan dengan cara mengakses media sosial yang akhirnya mereka diarahkan algoritma kepada hal-hal yang mereka sukai saja. "Saat algoritma mereka mengarahkan pada hal-hal yang berbau radikalisme maka cepat-lambat mereka akan terpapar," katanya.

Ketiga, mereka memiliki hubungan sosial dengan seorang teman atau kekasih yang ternyata terlibat dengan gerakan-gerakan radikalisme. "Awalnya mereka mungkin mengira uang yang mereka kirimkan dipakai untuk usaha. Tetapi tanpa disadari mereka membantu mendanai aksi-aksi terorisme. Hal ini terjadi karena mereka belum pernah bertemu langsung dengan teman atau kekasihnya itu," katanya.

Saat ini, KPP memiliki sejumlah media yang bisa dipergunakan untuk bahan ajar di antaranya adalah buku karya Noor Huda Ismail, Narasi Mematikan, yang baru saja terbit tahun ini, serta film 'Pengantin' yang menceritakan tentang tiga pekerja migran Indonesia yang memiliki jalan berbeda dan bertemu di media sosial. Selain itu juga terdapat web ruangmigran.id yang menjadi tempat berkumpulnya komunitas-komunitas pekerja migran serta tempat menyebarkan pesan-pesan positif agar mereka tidak tergerak melakukan aksi-aksi kekerasan.

Menurut Noor Huda, sejumlah media tersebut bisa menjadi alternatif bahan ajar bagi para calon pekerja migran untuk menghindari terjadinya rasa rentan selama berada di luar negeri. "Karena bagi kita, apalagi orang yang belum pernah (ke luar negeri), pasti merasa vulnerable. Dari situ, bahaya jika kemudian larinya ke social media. Apalagi radikalisme ini tak lagi murni ideologi, namun sudah bermain melalui pesan-pesan provokatif di media sosial," kata alumnus Monash University ini.

Komentar

Tulis Komentar