Mengenal Dekontekstualisasi dan Spoofing dalam Dunia Siber

Other

by nurdhania 4

 

HoaxDekontekstualisasi dan spoofing masih terdengar asing di telinga kita. Namun, sebenarnya kedua taktik ini sudah sering kita temui di dunia daring, khususnya dalam persebaran disinformasi dan misinformasi.

Dua tema besar yang dibahas saat pelatihan bersama Mythoslabs bersama @atamerica. Pelatihan yang sarat akan manfaat, wawasan baru, serta pengingat penting soal keamanan di dunia siber.

CEO Mythoslabs, Priyank Mathur, bersama dengan Researcher Indonesia Project Manager Mythoslabs, Emmy Yuniarti, yang merupakan trainer dalam pelatihan "Countering Misinformation & Disinformation" ini, menjelaskan terkait dekontekstualisasi sebagai suatu kebenaran tapi di luar konteks.

Contohnya di antaranya:

- Membagikan artikel berita lama, tetapi seolah-olah baru
- Memotong gambar untuk mengaburkan makna sesungguhnya
- Mengambil gambar dari tempat lain agar cocok dengan narasi keliru
- Membagikan sebuah video dari suatu tempat, namun mengklaim dari tempat lain. Untuk video, sering menggunakan backsound atau musik sedih atau yang emosional sehingga orang yang menontonnya larut dalam video itu, lalu mempercayainya dan ingin langsung membagikannya. Ada juga yang menambahkan narasi bombastis sehingga menarik perhatian pembaca untuk membuka atau menonton berita tersebut. Bisa dengan kata-kata Gawat!, Viral! Bahaya! Ini dia.... dan lain-lain.

Salah satu berita yang saya temui terkait dekontekstualisasi berasal dari turnbackhoaxid, Peristiwa di video tersebut benar adanya, terlihat kerumunan orang sedang berkumpul di depan gedung. Namun, dibagikan oleh orang tak bertanggung jawab dan menuliskannya dengan narasi yang keliru lagi menyesatkan.

Jika kita hanya menonton dan membaca unggahan tersebut, tanpa berpikir kritis, bertanya kepada yang ahli, atau mencari berita penjelasan terkait peristiwa asli tersebut, mungkin kita bisa dengan mudah mempercayainya. Apalagi narasi bohong tersebut cocok dengan videonya.

Setelah dilakukan fact-checking ternyata video itu merupakan aksi demonstrasi yang terjadi di Belarusia. Hal itu diketahui dari komentar salah satu akun Twitter di postingan video asli demonstrasi tersebut di akun Twitter Paul Ronzheimer (@ronzheimer) pada 23 Agustus 2020 (mengutip turnbackhoax.id)

Saat sedang scrolling Twitter, muncul photo atau video tentang suatu bencana. Saya merasa iba dan kasian dan hendak me-retweet agar semakin banyak orang yang tahu. Namun niat itu saya urungkan, karena teringat bahwa tidak selamanya video itu benar adanya meskipun dengan kronologis cerita panjang.

Saya pun baca lagi dengan seksama tweet dan komentarnya. Akhirnya saya menemukan bahwa peristiwa tersebut adalah bencana beberapa tahun yang lalu. Pheewe.. Hampir saja.

Berdasarkan penjelasan dari teman-teman Mythoslabs, spoofing adalah menirukan bentuk, tampilan, dan rasa dari sumber berita terpercaya. Contoh :

- Menggunakan nama dan logo yang didesain menyerupai sumber berita terpercaya. Priyank Mathur menambahkan, ada kasus ketika seseorang percaya dengan sebuah berita karena terlihat logo ABC News. Logonya bertuliskan ABC di tengah lingkaran namun tulisannya jadi hitam di dalam lingkaran putih. Sedangkan, original logo dari ABC News itu adalah tulisan putih di dalam lingkaran hitam. (Ternyata soal logo gak semua orang bisa sadar dan ngeh, ya!)

- Menggunakan kata-kata seperti breaking news dan alert pada headline untuk menarik perhatian

- Layout atau tampilan artikel menyerupai sumber berita terpercaya. Pada layar proyektor, tim Mythoslabs menampilkan dua tampilan layout atau template kanal berita tribun, kanan, dan kiri. Ternyata, di antara kedua gambar tersebut ada yang palsu. Saya tak bisa membedakannya. Karena benar-benar mirip. Mulai dari logo, tata letak, jenis font-nya, serta warna halaman, dan lain-lain.

- Spoofing sering digunakan sebagai teknik dalam serangan phishing dan malware.

Seperti yang sempat disebutkan di atas, hal ini jadi pengingat untuk diri sendiri dan teman-teman soal keamanan siber. Karena, siapa pun bisa jadi korban disinformasi, phising, dan kejahatan siber lainnya. Bisa aja kan, saya lagi liuer langsung buka HP, dan dapet kiriman link, langsung asal klik aja. Tanpa sadar, tahu-tahu data informasi penting dan sensitif kita udah direkam atau diambil oleh pelaku.

Lagi, lagi, dan lagi, saat mendapatkan berita lewat kanal media apa pun, kudu sabar dulu. Untuk orang yang kesabarannya setipis tisu (kayak saya) harus mau latih kesabarannya sih... Jangan langsung percaya, komen, share, dan buat narasi yang asal.

Harus baca pelan-pelan isi info tersebut dengan seksama, baca link URL-nya, siapa yang membuat, dan mengirim berita atau video itu. Jika tidak yakin coba tanya yang ahli atau pihak yang berwenang atau melakukan fact checking di situs Kominfo, Turn Back Hoax, Liputan 6, Kompas, Cek Fakta, dan Google Reverse Image.

Yuk sama-sama tingkatkan kewaspadaan agar diri kita, keluarga, dan teman-teman agar terhindar dari serangan disinformasi ini!

Komentar

Tulis Komentar