RUU Polri dan Potensi Ancaman Terhadap Pluralisme dan Kebebasan

News

by REDAKSI Editor by Akhmad Kusairi

Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) menggelar diskusi publik bertema “RUU Polri: Merajut Pluralisme dan Demokrasi untuk Polri yang Toleran dan Profesional” pada Jumat, (13/06/2025 di Tebet, Jakarta Selatan. Acara ini menghadirkan Jay Ahmad (Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian), Halili Hasan (Direktur Eksekutif Setara Institute), dan Karyono Wibowo (Analis Kebijakan Publik). 

Diskusi diharapkan menjadi platform konstruktif untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri, yang dilihat sebagai momentum positif untuk memperkuat Polri sebagai institusi yang profesional, inklusif, dan berpihak pada masyarakat.

Mengusung semangat kemanusiaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diskusi ini menegaskan pentingnya RUU Polri untuk menjamin hak minoritas, memperkuat pluralisme, dan menjunjung demokrasi, sejalan dengan visi Jaringan Gusdurian untuk Polri yang inklusif dan humanis.

Jay Ahmad dari Jaringan Gusdurian menyerukan agar RUU Polri menjadi alat untuk melindungi keberagaman dan hak setiap warga. “Kalau kita bersuara terus, saya kira RUU ini harus berangkat dari kebutuhan yang dihadapi,” ujar Jay. 

Lebih lanjut Jay memberikan catatan, di antaranya perpanjangan usia pensiun perwira dari 58 ke 65 tahun, seperti dalam UU TNI, tidak memiliki urgensi. Dampaknya, banyak jenderal “menganggur” dan mengambil ruang sipil, misalnya jabatan direktur lembaga seperti Setara Institute, dan ini menjadi ancaman bagi supremasi sipil. 

“Perpanjangan usia pensiun tidak menjawab kebutuhan kepolisian, malah memperpanjang antrean promosi dan menciptakan inefisiensi,” kata Jay. 

Jay juga menyoroti penambahan kewenangan Polri di dalam RUU Polri. RUU Polri memperluas kewenangan Polri, seperti penyadapan intelijen keamanan (Pasal 16B) dan pengawasan ruang siber (Pasal 16 ayat 1 huruf q). Di sisi lain, pengawasan eksternal, seperti Kompolnas, hanya sebatas memberikan rekomendasi ke Presiden tanpa otoritas nyata. 

“Kewenangan ini berpotensi penyalahgunaan kewenangan untuk menekan kelompok minoritas yang berbeda pendapat, misalnya melalui pemblokiran akun media sosial atau konten kritis terhadap pemerintah. Contoh Aktivitas Gusdurian di Yogyakarta, seperti keliling rumah ibadah, dipantau polisi tanpa dasar hukum jelas, menunjukkan pengawasan ilegal yang bisa dilegalkan oleh RUU ini.”

Catatan selanjutnya menurut Jay adalah Ancaman terhadap Pluralisme dan Kebebasan. Menurutnya Polri cenderung memihak mayoritas dalam konflik sosial dan meminta minoritas “bubar” untuk menjaga “harmoni sosial,” meskipun hak berpendapat minoritas dijamin UU. 

“Dalam situasi konflik aliran di daerah, polisi sering meminta minoritas diam agar “tidak bikin ribut,” bukannya mengamankan hak mereka. RUU Polri berpotensi melegitimasi diskriminasi dan kriminalisasi terhadap perbedaan, terutama melalui kewenangan intelijen untuk “deteksi dini,” menargetkan kelompok berbeda.

Lebih lanjut Jay menilai RUU Polri dapat mengarah pada otoritarianisme bertahap. Di mana kewenangan besar tanpa pengawasan mempersempit ruang gerak masyarakat. 

“Aktivis Gusdurian mengalami peretasan akun WhatsApp karena dianggap terlalu kritis, meskipun polisi tidak memiliki kewenangan legal untuk itu. Kasus anak SMA di Semarang yang ditembak polisi menunjukkan lemahnya akuntabilitas; sanksi yang diberikan hanya mutasi, tanpa proses hukum yang transparan.

Berdasarkan berbagai catatan hal itu, Jay Ahmad pun menyampaikan pandangan kritis dan  rekomendasi konstruktif untuk memastikan RUU Polri selaras dengan pluralisme dan demokrasi. Ia mengusulkan empat langkah, pertama menghapus pasal-pasal represif seperti pengawasan siber dan intelijen keamanan. Kedua memperkuat pengawasan eksternal melalui Kompolnas yang independen. Lalu ketiga memasukkan klausul non-diskriminasi untuk melindungi minoritas. Dan yang terakhir, keempat, membatalkan perpanjangan usia pensiun yang tidak relevan. 

"Rekomendasi ini mencerminkan semangat membangun Polri yang menghormati keberagaman," imbuh Jay.

Sementara itu, Direktur Setara Institute Halili Hasan mengapresiasi keinginan Polri bertransformasi dan menekankan perlunya RUU yang mendukung pemolisian demokratis. 

“Polri secara internal punya kehendak melakukan transformasi dirinya, mulai dari visi yang mengacu ke HAM. Mari kita kawal jangan sampai pasal HAM hilang,” ujar Halili. 

Ia merekomendasikan penghapusan pasal-pasal represif, penguatan pengawasan eksternal, klausul perlindungan minoritas, dan tata kelola Polri yang modern serta anti-korupsi. Halili menegaskan bahwa RUU Polri harus menjadi instrumen demokrasi, bukan alat kekuasaan, untuk mewujudkan Polri yang adaptif dan profesional.

Sementara itu Analis Kebijakan Publik Karyono Wibowo menyampaikan bahwa RUU Polri membuka peluang besar untuk reformasi kepolisian yang berintegritas. Selain itu RUU juga menjadi momentum positif bagi Polri untuk berbenah dalam semangat penegakan hukum yang bersih dan punya integritas sebagai pelayan masyarakat, sebagai pelindung masyarakat sipil.

Selain itu Karyono juga menyoroti pentingnya RUU ini menjawab kebutuhan publik akan keadilan, bukan hanya menambah fasilitas atau memperpanjang masa jabatan polri. 

“Menghadapi tantangan seperti kejahatan siber dan polarisasi sosial, RUU Polri harus mendukung Polri yang manusiawi, demokratis, dan berbasis HAM, dengan melibatkan publik secara luas dalam proses penyusunannya,” tuturnya

Rekomendasi dari diskusi ini, yang mencakup termasuk penghapusan pasal-pasal bermasalah, penguatan pengawasan, dan perlindungan keberagaman, akan disampaikan kepada DPR RI dan Polri.

LSPI melalui Direkturnya Zubairi Muzakki berkomitmen mengawal RUU Polri melalui policy brief dan kampanye publik, memastikan regulasi ini mendukung Polri yang toleran dan berpihak pada rakyat. Dengan semangat kolaborasi, diskusi ini menjadi langkah menuju reformasi kepolisian yang inklusif, sekaligus menyambut HUT Polri ke-79 yang mengusung visi positif untuk Indonesia. [Akhmad Kusairi]







Komentar

Tulis Komentar