Mengkaji dan mendapat kesempatan bisa belajar menuntut ilmu di tanah suci Mekkah adalah pengalaman tersendiri dalam dinamika kehidupan saya. Tahun 90-an adalah masa berdirinya Jamaah islamiyah Indonesia, setelah perpecahan dari NII faksi Ajengan Masduqi dengan Ustadz Abdullah Sungkar. Di tengah situasi ini, saya berkesempatan untuk belajar di Universitas Umm al-Qurra Mekkah. Tempat di mana ilmu dan iman bertemu.
Dosen-dosen yang saya temui semua berkaliber internasional seperti Syaikh Muhammad Quthb, adik dari Sayyid Quthb yang mencari suaka di Saudi Arabia karena dikejar pemerintahan Mesir saat itu. Ada juga Syaikh Sayyid Sabiq dosen Syariah yang menulis kitab Fikih Sunnah yang dijadikan refrensi rujukan para aktiviis Islam tahun 90-an saat itu.
Saya ingat saat itu, suasana Mekkah begitu hidup. Jemaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul di kota suci ini. Di tengah keramaian, saya mendalami berbagai disiplin ilmu, termasuk fiqih, akidah, dan Tsaqofah Islmiyah. Namun, satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah pemikiran dan ajaran yang dikembangkan oleh Abdullah Sungkar, seorang tokoh yang sangat berpengaruh saat itu sekaligus The Founder of Jamaah Islamiyah Indonesia.
Kharismatik serta ketegasan dalam bersikap ustadz Abdullah sungkar, membuatnya menjadi sosok yang inspiratif bagi banyak orang. Melalui ceramah dan pengajaran, ia berhasil menyampaikan nilai-nilai Islam dengan cara yang mudah dipahami dan menginspirasi pendengarnya untuk mengamalkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan sosok seperti Ustadz Abdullah Sungkar sangat penting dalam memperkuat pemahaman agama di masyarakat. Pengajian setiap Rabu tahun 1985 setelah sholat subuh di kelas Tsanawiyah Pondok Pesantren Ngruki adalah saksi yang tak bisa terbantahkan. Pada saat itu taushiyah khusus untuk para asatidzah Mahad adalah suplemen untuk mendalami ilmu agama Islam.
Sebagai seorang tokoh Abdullah Sungkar yang fasih dalam berbahasa Arab. Sejak kecil belajar agama dari sang ayah menjadikan beliau seorang ahli agama yang diterima semua kalangan. Ketika beliau melaksanakan haji setelah pemisahan Jamaah Islamiyah dari Darul Islam Ajengan Masduki, beliau mengajak saya untuk berbicara tentang pentingnya pembinaan umat. Dalam diskusi saya dan Ust Abdullaah Sungkar di Jeddah, beliau menekankan perlunya materi yang tepat untuk membantu pengembangan pemahaman Islam di indonesia dan sekitarnya.
Beliau kemudian meminta saya untuk mencari kitab-kitab yang relevan. Di antara buku referensi itu adalah kitab Al Wala wal Bara Syaikh Qohthoni. Kemudian ada juga kitab Tsawabit wal Mutaghiyiraat karya Syaikh As Showi yang di terjemahkan menjadi "Yang Baku dan Semu dalam Gerakan Islam" diterbitkan oleh Pustaka Al Alaq, milik Pak Ikhsan yang merupakan salah satu alumni jihad Afghan.
Saya mulai mencari kitab-kitab alternatif di berbagai toko buku di Mekkah, tepatnya di Aziziyah ada deretan tokoh kitab. Mencari kitab yang tidak hanya sesuai dengan permintaan Abdullah Sungkar, tetapi juga memiliki dampak positif dalam membina pemahaman umat. Akhirnya saya menemukan kitab yang sesuai dengan karakteristik aktivis Muslim saat itu. Maka ketemulah kitab Al-Wala' wal-Bara' yang mengajarkan tentang cinta dan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya serta menjelaskan batasan-batasan dalam hubungan dengan orang-orang non-Muslim.
Pemilihan kitab Al Wala’ Wal Bara’ tidak lepas bahwa pengarang kitab ini adalah Syaikh Muhammad Sa’id Al Qohthoni, dosen saya dalam materi pelajaran Aqidah saat itu. Setelah saya baca buku ini saya tertarik untuk diajarkan di Indonesia dalma pikiran saya saat itu adalah bagaimana ideologi Al Wala’ Wal Bara’ ini berkembang di Indonesia yang saat itu dikuasai oleh rezim diktator Suharto.
Saya sendiri berharap saat itu bisa andil dalam berdakwah walupun hanya mengusulkan kitab-kitab yang cocok untuk sebuah pembinaan. Buku yang dihasilkan dari tesis Syaikh Said Qohthoni ini dengan pembimbing Syaikh Muhammad Quthb itu akhirnya menjadi buku pegangan pada Jamaah Islamiyah Indonesia.
Bukan hanya itu saja saat saya menjadi relawan di Afghanistan, Syaikh Abdullah Azzam, mentor jihad global juga menyambut baik kitab ini karena sesuai dengan karekteristik seorang mujahid saat itu. Masih ingat saat itu Syaikh Abdullah menyebut alam beberapa taushiyah-nya di mu’askar Sada setekah maghrib menjelang makan malam.
Kontroversi Al-Wala' wal-Bara'
Dalam perjalanan saat saya mendalami kitab ini, saya menyadari adanya beberapa kontroversi. Ajaran tentang pemisahan antara Muslim dan non-Muslim sering kali disalahpahami. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini bisa menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
Setelah ada indikasi beberapa aktivis Islam berlebihan dalam mengaplikasikan Al-Wala' wal-Bara' pada kehidupan keseharian, saya mulai merenungkan, apakah isi kitab ini ini benar-benar telah mewakili dengan semangat persatuan dan kasih sayang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kajian pemahaman kepada siapa kita berloyalitas dan kepada siapa kita berlepas diri harus dipahami bahwa ini untuk Islam yang universal, bukan untuk dipahami bahwa ini berloyalitas dan ber-ta’ashub, fanatik buta terhadap sebuah komunitas atau kelompok.
Md Saiful Alam Shah Sudiman Dari Nanyang Technologi University Singapore juga mengkritisi kitab Syaikh Said Qohthoni ini dalam artikel yang berjudul Muslims Living in Non-Muslim Lands: Contesting Muhammad Saeed Al-Qahtani's Argument on Hijrah-Al-Walā' wal Barā' Nexus terutama konsep Hijrah. Pendapat Al-Qahthani mengenai kewajiban hijrah dapat dilihat sebagai salah satu dari banyak pandangan yang berbeda.
Dalam konteks saat ini, tinggal di negara non-Muslim tidak selalu dianggap negatif. Sedangkan sebagai Muslim, kita dapat berkontribusi dan menjalani kehidupan yang baik di mana pun kita berada, selama kita tetap dapat menjalankan agama dengan aman.
Perjalanan menuntut ilmu di Mekkah adalah perjalanan yang tidak hanya membentuk pemahaman saya tentang agama, tetapi juga mengajarkan saya tentang pentingnya toleransi. Kitab Al-Wala' wal-Bara' memiliki nilai, tetapi harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Kita perlu mendorong pemahaman yang inklusif, yang mengutamakan persaudaraan dan persatuan.
M. Saifuddin Umar
Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UINSA1
Komentar