Returnis Suriah Lulus Kuliah

Analisa

by Febri Ramdani Editor by Arif Budi Setyawan

Selama empat tahun lamanya pendidikan di perguruan tinggi telah saya lewati dengan baik. Tahun 2019 menjadi awal perjuangan saya dalam mencicipi kembali bangku perkuliahan. Alhamdulillah, dengan modal (tabungan) yang tak memadai pada saat itu, tidak membuat semangat saya surut.

Yang dipikirkan waktu itu hanyalah saya ingin meningkatkan kapasitas diri saya yang sudah sangat jauh tertinggal, baik itu tentang pola pikir, keilmuan, cara bersikap, terhambatnya proses pendewasaan diri, serta masalah finansial yang berada jauh dibawah, bahkan hancur jika dibandingkan rekan-rekan sepantaran saya.

Gap year selama 6-7 tahun bukanlah suatu hal yang cukup common terjadi, biasanya anak lulusan SMA mengambil jeda waktu 1-2 tahun atau bahkan 3 tahun sebelum memasuki jenjang pendidikan selanjutnya karena beberapa faktor. Nah, perbedaan waktu yang terlalu jauh itulah yang membuat saya sempat insecure.

Apakah saya masih bisa beradaptasi? Apakah saya akan dapat diskriminasi? 

Berpikir lebih kritis dan lebih rasional pun saya harapkan bisa didapat dengan cara (salah satunya) mengenyam bangku perkuliahan. Disamping itu, hal ini juga menjadi rasa syukur dan penebusan kesalahan saya di masa lampau karena pernah menjadi orang bodoh sehingga terperdaya akan buaian janji manis kelompok ekstrim di wilayah timur tengah beberapa tahun lalu.

Dua tahun lebih semenjak kepulangan, saya tidak mendapatkan diskriminasi secara langsung dari lingkungan sekitar, namun hal itu berubah pasca berita tentang nasib para WNI yang masih berada di camp penampungan Suriah. Polemik mengenai pulang/tidaknya ratusan WNI yang berada di Suriah pada awal 2020 berdampak kepada diri saya yang pada saat itu baru beberapa bulan menjejaki dunia perkuliahan.

Dampak yang ditimbulkan agak kurang mengenakkan, karena polemik itu bertepatan dengan peluncuran buku saya berjudul “300 Hari di Bumi Syam”. Alhasil, seminggu pertama pasca berita itu mencuat ke permukaan, rekan-rekan bahkan dosen di kampus menatap saya dengan agak berbeda.

Bahkan, salah satu dosen yang mengampu mata kuliah kewarganegaraan yang biasanya tidak terlalu memperhatikan saya bersikap lain. Beliau sempat meminta saya dengan agak memaksa untuk maju ke depan kelas untuk menjabarkan tentang makna dari Pancasila dan keterkaitannya dengan syariat Islam, apakah bertentangan atau tidak.

Lantas saya pun menjabarkannya dengan cukup detail dan memberikan penjelasan bahwasanya ideologi atau asas-asas yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Segala macam framing yang dilakukan oleh media tentang orang-orang yang pernah bersinggungan dengan kelompok ekstrim seringkali memberikan dampak yang negatif. Masyarakat jadi menilai bahwa apapun yang berhubungan dengan kelompok ekstrim/terror itu pastilah jahat, suka mengebom, membunuh, dan fanatic terhadap agama yang dianutnya, dalam hal ini adalah agama Islam.

Maka dari itu saya yang sebenarnya sama sekali tidak terlibat dengan aksi-aksi teror yang terjadi baik di Indonesia maupun timur tengah harus menunjukkan bahwa stigma-stigma negatif yang menempel dalam diri saya itu tidaklah benar.

 

KULIAH DAPAT MENCEGAH SIKAP INTOLERAN

Di sisi lain saya juga yakin dengan kuliah menjadi salah satu cara mencegah radikalisme dengan mengurangi dampak pemahaman yang salah, serta meningkatkan pemahaman dan toleransi antar suku, ras, golongan, dan umat beragama.

Contoh sikap toleransi pun sebenarnya sudah banyak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupannya. Seperti misalnya bermuamalah (berdagang) dengan orang nasrani maupun yahudi.

Bahkan dalam bebearapa ayat yang ada dalam kitab suci Al-Qur’an pun diterangkan bahwa sikap toleran itu sangatlah penting. Perbedaan suku, ras, agama, atau sudut pandang adalah hal biasa dan memang diciptakan Tuhan agar seluruh manusia saling mengenal satu sama lain bukan berkonflik, apalagi menjadi individu yang intoleran. (Lihat surat Al-Hujurat ayat 13)

Kemudian beberapa hal lain yang menurut saya bisa didapatkan dari kuliah adalah dapat menghargai pendidikan kewarganegaraan yang dapat membantu mencegah sikap radikal, membahas konsep pemahaman sikap dan tindakan radikalisme melalui diskusi maupun pengajaran yang transparan serta inklusif, kemudian meningkatkan kompetensi intelektual mereka untuk menghadapi ancaman ideologi radikal, seperti mengadakan workshop tentang menangkal radikalisme dan terorisme.

 

Dengan melakukan upaya-upaya ini, saya cukup yakin bahwa kegiatan perkuliahan dapat mencegah paham radikalisme.

 

So, jangan lupa untuk tetap semangat dan menimba ilmu agar kita menjadi individu yang kritis, berwawasan luas, dan tentunya memiliki sikap toleran.

 

“Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.” - Imam Syafi’i -

Komentar

Tulis Komentar