Konstruksi Gender dan Implikasinya pada Radikalisme Online: Workshop Konferensi WGWC 2024

News

by REDAKSI Editor by Ani Ema Susanti

Organisasi masyarakat sipil hanya memiliki satu sayap, sehingga kami perlu sayap lain dari pemerintah pusat maupun daerah untuk bersama-sama mencegah dan menanggulangi ekstremisme kekerasan.

Purwakarta, 6 Mei 2024 – Konferensi dan konvensi WGWC the Working Group on Women and Preventing or Countering Violent Extremism (WGWC) 2024 di Purwakarta, 5-8 Mei 2024, baru saja berlalu. Konferensi tersebut dihadiri 229 peserta dari unsur masyarakat sipil, pemerintah, peneliti, praktisi, akademisi, dan media. Tahun ini, konferensi mengambil tema “Perempuan, Agensi, dan Pemberdayaan dalam Melawan Ekstremisme Kekerasan.”

Menurut Steering Committee WGWC, Debbie Affianty, konferensi yang dilaksanakan pada 6 Mei 2024 membahas beberapa isu dalam delapan sesi paralel yang akan dipandu oleh beberapa mitra WGWC. Sesi-sesi ini menampilkan praktik baik yang sudah dilakukan mitra-mitra WGWC: pendampingan  narapidana terorisme melalui proses rehabilitasi reintegrasi sosial, pencegahan esktremisme kekerasan di ranah pendidikan, perlindungan perempuan dan anak terpapar terorisme, konstruksi gender, kekerasan berbasis gender pada kelompok ekstremisme kekerasan, pemberdayaan perempuan untuk menjadi juru damai dalam melawan terorisme, dan implementasi RAD PE. 

“Organisasi masyarakat sipil hanya memiliki satu sayap, sehingga kami perlu sayap lain dari pemerintah pusat maupun daerah untuk bersama-sama mencegah dan menanggulangi ekstremisme kekerasan,” demikian Debbie menjelaskan harapannya akan keterlibatan yang lebih besar dari pihak pemerintah. 

Ruangobrol mewakili Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) sebagai salah satu mitra WGWC, mengampu sesi paralel 5, workshop bertajuk "Konstruksi Gender dan Implikasinya pada Radikalisme Online." Workshop ini berlangsung pada Senin, 6 Mei 2024, dari pukul 13.00 hingga 14.45 WIB di Ruang Nakula, dimoderatori Operational Manager Kreasi Prasasti Perdamaian, Ani Ema Susanti, bersama peneliti kajian radikalisme dan gender, Lies Marcoes Natsir, yang juga tampil sebagai narasumber utama.

Berbeda dari sesi paralel lainnya yang diformat sebagai kegiatan diskusi, sesi KPP ini difokuskan pada capacity building. Lies Marcoes Natsir memulai dengan mengidentifikasi kebutuhan peserta yang terbagi ke dalam tiga isu utama:

  1. Memahami konsep dasar gender.
  2. Menggunakan lensa gender untuk memahami radikalisme dan deradikalisasi.
  3. Mengetahui pengaruh media online terhadap gagasan radikalisme dan deradikalisasi melalui pemutaran film "Pilihan".

Film "Pilihan" yang disutradarai oleh Ridho Dwi Ristiyanto, mengisahkan cerita tiga Pekerja Migran Indonesia yang saling bertolak belakang. Penggunaan teknologi di kalangan Pekerja Migran ditunjukkan dalam film itu, bisa menjadi penyelamat atau boomerang. Salah satu karakter di film dokumenter berdurasi 21 menit ini, seorang sutradara film, Ani Ema Susanti yang kebetulan juga seorang mantan pekerja migran Hongkong, mencoba menelusuri kisah mantan pekerja migran lainnya yang punya latar belakang berbeda. 

Masyitoh, salah satu Pekerja Migran Indonesia yang ditampilkan dalam film tersebut, menggunakan teknologi untuk mengejar impiannya menyelesaikan kuliah di Singapura hingga siap pulang ke Indonesia. Sementara itu, Listyowati seorang Pekerja Migran Indonesia yang juga menggunakan teknologi, malah terlibat jaringan ekstremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme. Melalui film ini penonton diajak untuk melakukan refleksi dan melihat pentingnya literasi digital.

Diskusi dalam sesi ini menghasilkan beberapa poin kunci:

  1. Konsep gender, lensa gender, dan analisis gender berguna untuk memahami stereotipe yang menganggap tindakan radikalisme hanya dilakukan dan melibatkan laki-laki.
  2. Gender sebagai konstruksi sosial melahirkan pembagian peran biner antara laki-laki dan perempuan, yang mengukuhkan anggapan bahwa hanya laki-laki yang pantas terlibat dalam aksi kekerasan dan radikalisme.
  3. Pada kenyataannya, perempuan juga terlibat dalam gerakan radikal karena mereka memiliki agenda, harapan, dan impian untuk terlibat dalam perubahan yang disebarkan melalui propaganda online.
  4. Karena adanya aturan dan restriksi yang melarang perempuan ikut bertempur, mereka hanya aktif di garis belakang sebagai pendukung, seperti mengumpulkan dan mengirimkan dana teroris.

Pada sesi ketiga, Ani Ema Susanti menceritakan pengalamannya terlibat dalam pembuatan film “Pilihan” serta pengalamannya lima tahun sebagai aktivis Perventing Countering Violent Extremism P/CVE. Dia mengisahkan beberapa kali bertemu dengan para mantan narapidana teroris dari kalangan pekerja migran Indonesia yang ternyata menjadi korban radikalisasi secara online. Di sesi ketiga pula, Lies Marcoes Natsir membedah kacamata gender melalui film "Pilihan" dengan pertanyaan, bagaimana seorang narapidana teroris perempuan dapat terlibat dalam gerakan radikal. 

Sejumlah peserta workshop yang sedang mendalami isu radikalisme untuk program Master atau Ph.D menyatakan, workshop "Konstruksi Gender dan Implikasinya pada Radikalisme Online" ini sangat membantu mereka dalam menggunakan lensa/analisis gender dalam kajian radikalisme. []

Komentar

Tulis Komentar