Pada Selasa 27 Agustus 2024 bertempat di Ballroom The Margo Hotel Depok, diselenggarakan seminar (workshop) bertajuk “Diseminasi Peta Jalan Komunikasi Strategis Nasional Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme”. Acara tersebut merupakan hasil kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP).
Acara yang berlangsung dari pukul 09.30 hingga 15.30 WIB itu dihadiri oleh kurang lebih 110 peserta dengan rincian: 60 orang perwakilan dari lembaga dan kementerian terkait dan OMS yang hadir secara langsung (offline), dan 50 orang mengikuti secara online via aplikasi Zoom. Hadir sebagai narasumber dan panelis dalam acara itu Hendro Wicaksono, SH, M.Krim (Kasubdit Kontra Propaganda BNPT), Dr. Noor Huda Ismail (KPP), Putut Widjanarko, Ph.D (Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina), Lies Marcoes Natsir (Pakar Perspektif Gender), Dr. Firsan Nova (Praktisi Strategi Komunikasi dari Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication), Ahrul Tsani (Direktur Timur Tengah, Kementerian Luar Negeri), Kolonel (Czi) Yaenurendra H.A.P., S.T., MMgt. (BNPT), dan Taufiq Andrie (Yayasan Prasasti Perdamaian).
Paparan Narasumber Tentang Peta Jalan Komunikasi Strategis
Acara tersebut dibagi ke dalam 2 sesi, yaitu “Paparan Narasumber dan Diskusi Tanya Jawab”, dan “Best Practice Komunikasi Strategis: Screening and Sharing (Road to Resillience)”
Pada sesi pertama, dalam sambutannya, Bapak Hendro Wicaksono dari BNPT menyampaikan bahwa kelompok ekstremisme masih aktif menyebarkan ideologi propaganda, pelatihan, dan pendanaan. Hal itu, menjadikan ancaman bagi perdamaian negara. Maka dari itu, pencegahan perlu dilakukan didunia maya, salah satunya adalah pembentukan Komunikasi Strategis Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (Komstra PE).
Beliau mengajak semua yang hadir untuk mendukung dan memonitor pelaksanaan Komstra PE selama 5 tahun ke depan. Di samping itu beliau juga menegaskan bahwa butuh bantuan dasar hukum untuk landasan kerja sama antara kementerian dan lembaga (K/L) terkait.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Peta Jalan Komstra PE. Pada kesempatan pertama Dr. Noor Huda Ismail menjelaskan proses penyusunan peta jalan yang dimulai sejak 2 bulan yang lalu. Dimulai dengan penjelasan tujuan dan scope dari peta jalan komstra PE, proses penulisan peta jalan yang berbasis dari narrative-based intervention, proses diskusi dengan stakeholder terkait, hingga penjelasan akan tiap-tiap teori yang dipengaruhi oleh berbagai macam isu seperti radikalisasi yang terpicu oleh event internasional, politik identitas, dan kesolehan di media sosial.
Pada kesempatan berikutnya, Putut Widjanarko menyampaikan mengenai pentingnya kolaborasi dan peran BNPT, pentingnya komunikasi strategis, dan perlunya pemahaman mengenai transmedia storytelling.
Lebih jauh beliau menjelaskan, sebuah pekerjaan strategis tidak akan berjalan kalau dikerjakan sendirian. Komstra PE ini merupakan kerangka kerja yang dibuat berdasarkan hasil diskusi BNPT dengan K/L terkait. Aspek kolaborasi ini sangat penting untuk menyamakan persepsi dan menghindari tumpang tindih penyampaian dalam komunikasi.
Komstra ini nantinya akan dijalankan oleh K/L untuk dikerjakan bersama-sama. Sehingga bisa menyesuaikan dan menyelaraskan tujuan umum dan khususnya. Selain itu, terciptanya konsistensi mengenai kerangka kerja dan terciptanya efisiensi dengan SDM dan komunikasi yang tepat.
Kemudian pemahaman mengenai transmedia storytelling juga sangat diperlukan. Beberapa orang yang sudah membuat kerangka, dan penyampaian informasi akan lebih mudah dipahami jika menggunakan pendekatan storytelling. Beliau juga menekankan bahwa organisasi teroris seperti ISIS telah menggunakan transmedia storytelling untuk mengajak dan mempengaruhi orang.
Selanjutnya Bu Lies Marcoes Natsir menyampaikan perlunya GEDSI (Gender Equality Disability and Social Inclusion) dalam analisa peta jalan Komstra ini, karena GEDSI berperan sebagai: paradigma atau kacamata baru, alat baca tentang kelompok ekstremis yang bias gender, alat analisa untuk membaca keterlibatan perempuan yang berubah-ubah, alat advokasi melalui interseksionalitas dan pendekatan inklusi.
Menurut beliau, analisis GEDSI harus menjadi lensa dalam penyusunan Komstra PE. Karena saat melakukan analisis situasi, sangat penting untuk memasukkan analisis GEDSI untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan inklusif.
Pada kesempatan berikutnya Dr. Firsan Nova menekankan pentingnya kolaborasi antara Kementerian dan Lembaga (K/L) dalam menghadapi masa krisis. Krisis didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berpotensi mengancam citra, reputasi, dan stabilitas finansial suatu organisasi atau negara.
Di tengah krisis, persepsi publik sering kali lebih penting daripada kenyataan, karena persepsi yang salah atau buruk dapat memperburuk situasi yang sebenarnya tidak terlalu kritis. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam mengelola dan menjaga persepsi publik agar tetap positif.
Lebih lanjut, Dr. Firsan menyatakan bahwa investasi dalam narasi akan lebih kuat jika didukung oleh investasi dalam hubungan atau relasi. Hal ini berarti semua pemangku kepentingan harus dilibatkan secara aktif untuk menciptakan narasi yang solid dan konsisten.
Dalam konteks krisis, terdapat dua pendekatan utama yang harus diterapkan: pendekatan pencegahan dan pendekatan kuratif. Pendekatan pencegahan bertujuan untuk menghindari terjadinya krisis, sementara pendekatan kuratif fokus pada penanganan krisis yang sudah terjadi untuk meminimalkan dampak negatifnya.
Dalam penanganan krisis, Dr. Firsan juga menekankan perlunya strategi yang jelas dan terkoordinasi. Setiap K/L harus memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas dalam menghadapi krisis, serta bekerja sama untuk memastikan respons yang cepat dan efektif. Dengan adanya kolaborasi yang baik, krisis dapat dikelola dengan lebih baik, sehingga citra, reputasi, dan kepercayaan publik tetap terjaga.
Talkshow Screening and Sharing (Road to Resillience)
Sesi ini dibuka dengan penayangan Film Dokumenter produksi Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) berjudul “Road to Resillience”. Film itu menceritakan perjalanan Febri Ramdani, mantan returni terafiliasi FTF ISIS berjuang menjalani kehidupan sepulang dari Suriah. Kisah yang dimulai dari proses bagaimana dia berangkat ke Suriah yang ternyata didasari ingin mencari ibunya, perjuangan untuk menemukan ibunya, proses kepulangannya, hingga bagaimana dirinya dan keluarganya memulai lagi hidup baru dengan menyandang status “WNI eks pendukung ISIS”.
Film yang sukses membuat sebagian peserta menitikkan air mata itu merupakan salah satu contoh strategi komunikasi kreatif yang dibuat oleh KPP. Melalui film itu KPP hendak menunjukkan persoalan yang akan dihadapi oleh sebagian WNI yang kini masih terperangkap dalam konflik Suriah. Yang mana suatu saat nanti mereka bisa jadi akan kembali ke Indonesia dan mau tidak mau harus kita terima.
Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan talk show dan sharing dengan narasumber Ahrul Tsani (Direktur Timur Tengah, Kementerian Luar Negeri), Kolonel (Czi) Yaenurendra H.A.P., S.T., MMgt, Dr. Noor Huda Ismail, Febri Ramdani, dan Taufiq Andrie (Yayasan Prasasti Perdamaian).
Pak Ahrul Tsani membuka sesi sharing dengan menjelaskan bahwa Timur Tengah merupakan wilayah yang menarik di dunia, namun dampaknya sangat nyata, termasuk bagi warga negara Indonesia yang tertarik dengan kawasan tersebut.
Timur Tengah dikenal sebagai kawasan dengan konflik yang tiada henti, baik secara internal maupun eksternal. Aktor-aktor non-state yang mencoba melawan pemerintah di wilayah ini seringkali didorong oleh alasan ideologis, dan keberadaan mereka membuat kondisi politik semakin panas.
Lalu secara eksternal, peran Amerika Serikat di kawasan ini juga dinilai tidak membantu, karena Amerika cenderung memprioritaskan kepentingan nasionalnya. Kombinasi dari faktor-faktor ini sangat berbahaya bagi publik Indonesia yang terpapar informasi melalui berbagai media. Kekhawatiran muncul jika publik salah membaca, salah melihat, dan akhirnya salah menyimpulkan situasi di Timur Tengah.
Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri mengapresiasi kerja BNPT dalam penyusunan Peta Jalan Komstra PE. Kemenlu berkomitmen untuk berperan aktif dalam membantu memfasilitasi kerja BNPT, termasuk melalui koordinasi dengan KBRI, KJRI, dan pemerintah asing terkait.
Terkait dengan Komunikasi Strategis (Komstra), Pak Rendra (Yaenurendra) menyampaikan, dari 135 aksi RAN-PE yang ada, terdapat 3 pilar utama yang coba diakomodasi, mulai dari hulu hingga hilir, untuk menemukan cara terbaik mengatasinya.
Beliau menambahkan, secara nasional, Indonesia saat ini belum memiliki Komstra yang menyeluruh. Dengan adanya Komstra khusus untuk Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (P/CVE), hal ini diharapkan dapat membantu dalam menciptakan sinergitas komunikasi yang optimal.
Pak Rendra juga menjelaskan alasan mengapa peta jalan ini penuh dengan teori. Hal ini disebabkan karena ini masih tahap awal, yaitu road map (peta jalan), masih belum mencakup guideline, atau tata kelola yang lebih detil. Diharapkan, dengan dukungan dana dari lembaga donor, kita dapat melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu menyusun guidelines, SOP, atau tata kelola yang lebih konkret.
Beliau juga menambahkan bahwa strategi komunikasi tidak selalu harus berbentuk verbal, seperti bicara langsung, pamflet, brosur, atau pesan yang straightforward. Strategi ini juga bisa diwujudkan dalam bentuk film atau media lain yang lebih kreatif.
Sementara itu, Taufik Andrie dari YPP menyampaikan alasan mengapa pemerintah perlu mengkomunikasikan secara jelas mengapa pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah itu diperlukan.
Menurutnya publik masih memiliki dua kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi oleh pemerintah dalam menangani ekstremisme. Pertama adalah transparansi dalam penanganan dan kebijakan yang diterapkan, serta kedua adalah pengukuran yang jelas untuk menilai sejauh mana upaya tersebut dianggap berhasil oleh pemerintah. Ketidakpastian dalam kedua aspek ini bisa mempengaruhi kepercayaan publik terhadap efektivitas program deradikalisasi dan upaya penanggulangan ekstremisme.
Selanjutnya ia menambahkan, tantangan terbesar dalam isu ini terletak pada pengelolaan aspek pencegahannya, terutama dalam tiga locus yang ada, yaitu: penjara, setelah penjara, dan komunitas. Namun, dinamika saat ini menunjukkan adanya engagement yang positif, berkat keluwesan pemerintah dalam berkomunikasi.
Selain itu, peran organisasi non-pemerintah (NGO) dan pemerintah daerah juga sangat signifikan dalam mendukung upaya ini, yang menunjukkan kolaborasi yang semakin baik antara berbagai pemangku kepentingan dalam menanggulangi ekstremisme di Indonesia.
Sedangkan Dr. Noor Huda Ismail sebagai produser eksekutif Film Road to Resillience menjelaskan, bahwa dalam pembuatan film terkait isu ekstremisme, salah satu tantangan utama adalah membangun "trust" atau kepercayaan, yang merupakan bagian penting dari etika pembuatan film. Penting untuk memastikan bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam film memberikan persetujuan mereka, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik.
Sebagai produk komunikasi, film dokumenter perlu memegang prinsip HAIL: Honest (Jujur), Authentic (Otentik), Integrity (Integritas), dan Love (Cinta). Dalam setiap pesan yang disampaikan, harus diselipkan unsur love berupa hope atau harapan, untuk memberikan dampak positif dan inspiratif.
Pada kesempatan yang lain Febri Ramdani sebagai protagonis utama Film Road to Resillience menyampaikan tujuan yang dicapainya melalui film ini adalah pesan tentang pentingnya bersuara di media dan masyarakat untuk mengajak mereka terlibat dalam upaya pencegahan ekstremisme. Karena menurutnya, dengan mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, mengenai bahaya ekstremisme dan pentingnya sikap toleransi, kita dapat membangun masyarakat yang lebih resilien dan berdaya dalam menghadapi ideologi radikal.
Dalam setiap sesi acara, baik sesi pertama dan kedua, ada banyak peserta yang ingin menanggapi dan mengajukan pertanyaan. Namun karena keterbatasan waktu, hanya beberapa orang saja yang beruntung dapat menyampaikannya. Sebagai bentuk apresiasi peran aktif dari peserta yang mengajukan pertanyaan atau memberikan tanggapan, pihak KPP memberikan doorprize berupa sebuah buku Narasi Mematikan karya Dr. Noor Huda Ismail.
Foto-foto: Dokumentasi Ruangobrol.id
Komentar