Harmoni dalam Nada: Membangun Keakraban Lewat Angklung di Dusun Betakan

News

by REDAKSI Editor by Dr. Noor Huda Ismail

"Saya nggak pernah main musik sebelumnya," seorang ibu berujar malu-malu. Dia adalah salah satu peserta latihan angklung di Sanggar Seni Literasi Desa Tumbuh, dan itu adalah hari pertama mereka berlatih. Beberapa ibu yang lain juga tampak canggung memegang angklung mereka. Namun, dengan dukungan pelatih dan sesama teman, mereka mulai merasa percaya diri. 

Sanggar Seni merupakan satu di antara berbagai program Literasi Desa Tumbuh di Dusun Betakan, Moyudan, Sleman, Yogyakarta, dan latihan angklung adalah salah satu kegiatannya. Masyarakat setempat pun tak lagi asing dengan alunan musik angklung yang menggema setiap sore, membawa suasana hangat penuh kebersamaan. Ibu-ibu dari berbagai latar belakang berkumpul di pelataran desa yang asri, berlatih memainkan alat musik tradisional dari bambu ini. 

Sang pelatih, Rizky atau biasa disebut Kikek, seorang musisi profesional dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, akrab melebur dengan belasan “anak didiknya”. Sabar dan penuh semangat, Kikek mengajarkan dasar-dasar bermain angklung. "Angklung jika dimainkan satu orang, bisa saja dinikmati. Namun ketika dimainkan bersama-sama dengan oktaf yang berbeda-beda, angklung tidak hanya menyuguhkan nada yang indah, namun juga pertunjukan kerjasama yang solid, yang bisa menembuskan pesan keindahan ke dalam hati pendengarnya," ucapnya filosofis di sela-sela latihan.  

Rizky, sang pelatih dari ISI Yogyakarta,  sabar membimbing ibu-ibu berlatih angklung di Sanggar Seni Literasi Desa Tumbuh di Betakan, Sleman
(Doc. Yayasan Literasi Desa Tumbuh) 

Begitulah, para ibu pun berlatih dalam suasana penuh tawa dan canda, bersama-sama belajar menyelaraskan nada, menciptakan harmoni yang melampaui sekat-sekat sosial. Setiap nada yang berhasil dimainkan menjadi langkah kecil menuju harmoni yang lebih besar, baik dalam musik maupun dalam hubungan sosial mereka. Tidak ada pembatas antara yang lebih mampu dan yang kurang mampu secara ekonomi, antara yang aktif di kegiatan masjid dan yang tidak. Semua duduk dalam lingkaran, memegang angklung masing-masing, bersatu dalam musik yang mereka mainkan bersama.

Bukan sekadar medium seni, kegiatan bermain angklung di Sanggar Seni Literasi Desa Tumbuh ini juga menjelma menjadi ruang sosial yang inklusif. Konsep ruang publik, seperti yang dijelaskan sosiolog Jürgen Habermas, adalah tempat individu-individu berkumpul dan berbagi gagasan tanpa memandang status sosial. Di sanggar Literasi Desa Tumbuh, angklung menjadi simbol ruang publik Indonesia, tempat warga berbagi pengalaman, saling mendukung, dan membangun rasa keakraban.

Musik Sebagai Penyatu

"Rasanya beda sekarang. Kami lebih akrab, tidak ada rasa sungkan lagi satu sama lain," ungkap seorang peserta latihan sambil tersenyum lebar. Begitulah, latihan angklung menjadi momen berharga yang mempererat hubungan antarwarga. Ibu-ibu yang sebelumnya jarang berinteraksi kini saling mengenal lebih dekat. Dalam canda dan keceriaan mereka saling belajar, berbagi pengalaman hidup, mendukung satu sama lain. 

Pementasan: Sebuah Perayaan Harmoni

Pementasan di pelataran Literasi Desa Tumbuh menjadi puncak dari latihan angklung ini, disaksikan penonton dari warga desa. Panggung sederhana menjadi saksi bagaimana angklung menyatukan warga Betakan. Dengan seragam yang mereka pilih sendiri, ibu-ibu tampil percaya diri, memainkan lagu-lagu tradisional Indonesia. Tepuk tangan meriah dari penonton menggema, mengukuhkan angklung sebagai simbol harmoni dan persatuan.

Dengan musik sebagai jembatan yang mengatasi perbedaan sosial, semua orang merasa diterima dan dihargai. (Doc. Yayasan Literasi Desa Tumbuh)

Musik, Keberagaman, dan Keakraban

Teori interaksi sosial menyebutkan bahwa identitas individu dibentuk melalui interaksi dengan orang lain. Musik, seperti angklung, menjadi media interaksi yang memperkuat rasa kebersamaan dan membangun identitas kolektif. Karenanya di Desa Literasi Desa Tumbuh, angklung tidak hanya menjadi alat musik, tetapi juga alat untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan akrab. Kegiatan bermain angklung di dusun ini membuktikan bahwa seni dapat menjadi jembatan untuk mengatasi perbedaan sosial. Musik menciptakan ruang tempat semua orang merasa diterima dan dihargai, tanpa memandang latar belakang.

Di Desa Literasi Desa Tumbuh, harmoni angklung menggambarkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan inklusivitas yang menjadi dasar kuat bagi kehidupan bermasyarakat. Musik telah menjadi alat berbagi, menyatukan perbedaan, dan menciptakan ruang publik yang benar-benar menjadi milik semua. [ ]

Komentar

Tulis Komentar