Minim Filter, Ruang Digital Rawan Akan Konten Kekerasan

News

by Akhmad Kusairi Editor by Arif Budi Setyawan

Peneliti Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum ruang digital saat ini sedang mendapat tantangan yang serius. Pasalnya konten-konten kekerasan dan ujaran kebencian membanjiri platform media sosial. Tantangan tersebut makin diperparah dengan minimnya filter atau sensor dan penyedia platform itu sendiri.


“Jadi akhir-akhir ini platform media sosial seperti Meta, menurunkan sensornya. Hal itu jadi tantangan tersendiri bagi ruang digital kita,” Kata Nenden dalam acara Obrolan Ruang Tengah dengan tajuk "Jejak Digital Ekstremisme: Mengamankan Ruang Maya dari Ancaman Kekerasan" pada Sabtu 28 Juni 2025 lalu.


Karena itu kata Nenden saat ini sangat diperlukan konten-konten kontra narasi guna membendung narasi negatif bahkan mengajak kekerasan dari kelompok radikal. Menurut Nenden bisnis model dari platform memang membuat publik di dunia maya resisten terhadap konten-konten yang mengarah kekerasan.


“Dalam konteks seperti Toghut misalnya, itu memang algoritma walaupun kita tidak like atau pun komentar, kita kadang memang disodori konten-konten yang kita tidak berinteraksi. Misalnya kita gak pernah like konten kucing tiba-tiba disodori konten kucing,” kata Nenden lagi.


Lebih lanjut Nenden menambahkan guna melindungi masyarakat dari konten-konten negatif Pemerintah sudah membuat aturan di dalam UU ITE maupun UU TPKS. Ada beberapa pasal di kedua UU itu yang bisa digunakan guna melindungi masyarakat di dunia maya.


“Memang sudah ada aturannya, tapi kadang aparat penegak hukum masih enggan menggunakan pasal-pasal tersebut. Misalnya akun-akun tersebut menggunakan akun anonim. Padahal kalau mau kan gampang mencari siapa di balik akun itu. Korban juga di-framing, salah sendiri foto-foto begitu. Ketika banyak korban yang tidak dilanjutkan sehingga membuat pelaku terus melakukan praktik kekerasan di dunia maya. Tinggal komitmen dari aparat penegak hukum,” tutur Nenden


Sedangkan Peneliti dari ITC Watch Widuri menilai jika konten kontra narasi saat sudah banyak tersedia di dunia maya. Media-media yang dimiliki perempuan seperti Mubadahalah, atau NU Online cukup banyak membantu dalam konteks kontra narasi. Namun kata Widuri kontra narasi di dunia maya saja tidak cukup. Diperlukan juga program-program offline seperti moderasi beragama atau deradikalisasi.


“Beberapa organisasi yang mempromosikan toleransi beragama. Misalnya live ini dalam satu desa yang homogennya. Karena itu program-program offline seperti moderasi beragama itu sangat diperlukan,”
Lebih lanjut Widuri menambahkan jika konten-konten yang berbau kekerasaan biasanya terjadi di percakapan privat seperti grup Whatsapp atau Telegram. Namun Widuri yakin aparat keamanan bisa menjangkau percakapan itu.


“Itu terbongkar karena salah satu anggota yang melaporkan. Kalau secara kasat mata sosial medianya, beberapa platform sudah melakukan filter misalnya disembunyikan, kalau ada kekerasan dikasih peringatan di awal. Baik dari platform dan pemerintah juga ada. Tapi tadi itu peraturan itu seringkali dilanggar. Apalagi beberapa platform yang melonggarkan standar guidlline-nya,” tuturnya.


Sementara itu Direktur AMAN Indonesia yang menjadi moderator dalam diskusi ini menyampaikan jika ruang maya menjadi ladang penyebaran ekstremisme kekerasan. Lebih lanjut Ruby menambakan sembari mengutip hasil penelitian dari BNPT, KPPA dan UN Women yang menemukan bahwa pandemi covid-19 telah berhasil memperkuat organisasi mereka.


“Ini karena di masa pandemi Covid sebagian besar orang tinggal di rumah dan banyak waktu dihabiskan dengan bermain gadget,” imbuhnya.[Akhmad Kusairi]

Foto Ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar