SEMARANG - Pagi itu, matahari Semarang menyelinap malu-malu dari balik tirai awan. Di sebuah ruang pertemuan sederhana namun hangat di jantung kota, ratusan langkah muda berkumpul. Ada semangat yang menggantung di udara—bukan karena seremoni, melainkan karena sebuah panggilan nurani.
Seratus lima puluh remaja dari berbagai penjuru Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta datang, mewakili wajah-wajah Indonesia: BEM mahasiswa, kader HMI dan PMII, remaja masjid, Kohati, hingga perwakilan PC Korpri. Mereka datang bukan sekadar memenuhi undangan, tetapi memanggul satu tanya: bagaimana menjaga masa depan dari bayang-bayang radikalisme?
Hari itu, Kamis, 3 Juli 2025, menjadi saksi bisu upaya Polda Jawa Tengah melalui Direktorat Pembinaan Masyarakat (Dit Binmas) menggandeng Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani). Sebuah kolaborasi yang merentangkan tali harapan di tengah derasnya arus ideologi menyimpang yang menyusup lewat kabel-kabel internet dan narasi kelabu.
Di antara para peserta, terlihat wajah serius Kombes Pol Siti Rondhijah. Ia bukan sekadar pejabat. Ia seorang ibu bangsa yang hari itu menyulam kata-kata dengan kepedulian. Dalam nada tenangnya, ia mengungkap kegelisahan zaman.
“Melalui workshop ini, kami ingin membekali para peserta dengan kemampuan untuk melakukan deteksi dini terhadap gejala radikalisme, sekaligus mendorong lahirnya narasi-narasi damai yang bisa menjadi benteng terhadap infiltrasi paham radikal, khususnya di lingkungan kampus, pesantren, dan komunitas pemuda secara luas,” kata dia.
Ia tak sendiri. Duduk di kursi pembicara, seorang pria berkemeja sederhana, Sri Pujimulyo, menatap para peserta dengan mata yang telah kenyang oleh jalan panjang. Ia adalah mantan narapidana terorisme. Tapi yang ia bagikan bukan kebencian, melainkan penyesalan yang mendalam, dan keinginan untuk menebus dengan memberi.
"Peran pemuda sangat penting dalam menangkal paham tersebut dengan pendekatan yang cerdas dan santun," ungkapnya.
Dari sisi akademik dan keagamaan, Guru Besar UIN Walisongo Prof. Dr. Musahadi memaparkan materi mengenai perspektif agama, peran pemuda, serta strategi kontra narasi terhadap radikalisme dan terorisme.
Sementara itu, Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, Guru Besar sekaligus Instruktur Nasional Moderasi Beragama Kemenag RI, menyampaikan teknik deteksi dini dan penguatan narasi melalui pendekatan literasi digital yang inklusif dan berbasis nilai-nilai kebangsaan.
Sesi tanya jawab menjadi ruang di mana suara-suara muda menemukan panggungnya. Para peserta terlihat antusias menyampaikan pertanyaan dan gagasan, mulai dari bagaimana memetakan gejala awal radikalisasi di media sosial, hingga strategi menyebarkan narasi positif yang tetap menarik bagi kalangan muda.
Menanggapi kegiatan tersebut, Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto menyampaikan apresiasinya kepada seluruh peserta dan narasumber. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya paham teknologi, tapi juga memiliki integritas dan daya tangkal terhadap ancaman ideologis.
“Pemuda hari ini adalah calon pemimpin di masa depan. Oleh karena itu, kami mendorong agar semangat kontra narasi terhadap radikalisme terus digaungkan secara positif dan inklusif,” ungkap Kombes Pol Artanto.
Menurutnya, kemajuan teknologi harus digunakan untuk memperkuat persatuan, bukan perpecahan. Ia juga mengimbau para peserta untuk menjadi agen perubahan di komunitas masing-masing.
“Jangan hanya hadir sebagai penonton di tengah derasnya arus informasi, tapi jadilah penggerak yang mampu menyebarkan nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan melalui narasi-narasi yang membangun,” pungkasnya. [eka setiawan]
Foto-foto: Dok. Polda Jateng
Komentar