SEMARANG – “Lelaki jangan tidak bercerita.” Kalimat ini bukan hanya seruan dari seorang polisi, tapi sebuah ajakan untuk menggugat norma lama tentang bagaimana laki-laki seharusnya bersikap.
Kalimat ini diucapkan oleh Ipda Ferry, anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror, dalam kegiatan pencegahan radikalisme di SMA Negeri 12 Semarang, Kamis (12/6/2025), yang diinisiasi Yayasan Anantaka bersama Pemerintah Kota Semarang.
Dalam kegiatan yang juga menayangkan film dokumenter Road to Resilience karya Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP), Ferry menyampaikan kekhawatiran terhadap kelompok-kelompok radikal yang kini menyasar remaja laki-laki yang sedang berada dalam fase krusial pencarian identitas.
Salah satu ceritanya menggambarkan remaja yang mengalami perundungan di sekolah dan tidak memiliki ruang aman untuk berbagi, baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya.
“Anak ini jadi korban bullying, bapaknya pelaut, sering tak di rumah. Dia tidak punya siapa-siapa untuk bicara, akhirnya dia curhat di media sosial. Dari situ dia mulai berinteraksi dengan akun radikal. Lalu terpapar,” ungkap Ferry.
Diam adalah Maskulinitas yang Membunuh
Apa yang dialami remaja tersebut bukan sekadar kasus personal, melainkan gejala sosial: maskulinitas toksik. Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, laki-laki diajarkan sejak dini untuk menahan emosi, menyembunyikan kesedihan, dan menyelesaikan masalah sendiri.
Mereka dilatih untuk kuat, tegar, dan tahan banting—sebuah konstruksi yang tak memberi ruang untuk rentan atau terluka.
Ketika ekspresi emosi dianggap kelemahan, banyak remaja laki-laki tumbuh tanpa kemampuan emosional yang sehat. Mereka tidak terlatih untuk mengidentifikasi dan mengomunikasikan perasaan mereka, dan pada akhirnya mencari pelarian di ruang-ruang digital yang anonim—di mana kelompok radikal menunggu dengan janji identitas baru, kekuatan, dan makna hidup.
“Kalau ada narasi yang bilang ‘lelaki tidak boleh bercerita’, itu salah besar. Justru harus bicara. Karena kalau tidak, dia bisa bercerita ke tempat yang salah, misalnya ke media sosial yang sedang dipantau jaringan radikal,” kata Ferry tegas.
Ia bahkan menceritakan kasus seorang remaja di Jawa Tengah yang diajak membenci polisi, lalu diberi tutorial membuat bom. Si remaja kemudian membawa bom rakitannya ke pos polisi, tetapi gagal meledak.
“Dia bukannya mati syahid, malah menderita luka bakar serius, dan sekarang ditahan di Nusakambangan,” tambah Ferry.
Radikalisasi dan Maskulinitas Alternatif
Narasi kekerasan dalam kelompok ekstrem sering kali dibungkus dengan simbol-simbol maskulinitas (kelelakian) alternatif: gagah berani, ‘pejuang sejati’, ‘laki-laki beriman’, ‘mujahid’. Dalam narasi ini, kekerasan tidak hanya dilegalkan, tetapi dipromosikan sebagai pembuktian kelelakian.
Para remaja yang mengalami krisis identitas dan merasa terasing menemukan dalam propaganda tersebut bentuk penerimaan dan pengakuan diri.
Sugeng Riyadi, mantan anggota Jamaah Islamiyah yang kini aktif dalam program deradikalisasi, membenarkan hal itu. Ia bergabung dengan kelompok radikal ketika masih remaja, karena merasa identitas dan cita-citanya sebagai da’i difasilitasi oleh organisasi.
“JI memberi saya ruang untuk berdakwah. Tapi saya sadar, setelah ada banyak bom meledak, ternyata teman-teman saya sendiri pelakunya. Saat itu saya tahu, ada sisi gelap yang tidak saya lihat sebelumnya,” kisah Sugeng, yang kini rutin berbicara di hadapan publik sebagai agen perdamaian.
Ia mengakui bahwa kelompok radikal pandai memanfaatkan kebutuhan anak muda—termasuk kebutuhan untuk diakui sebagai laki-laki sejati, berani, dan punya peran dalam perubahan.

Meretas Hegemoni Maskulinitas
Peneliti KPP dan penulis buku tentang terorisme, Eka Setiawan, menekankan bahwa perubahan cara rekrutmen dari luring ke daring turut memperkuat jebakan gender ini. Di media sosial, narasi-narasi kelelakian yang heroik, eksklusif, dan penuh muatan agama dibumbui dengan konten emosional yang menyentuh sisi terdalam remaja laki-laki yang kesepian.
“Dulu rekrutmen dilakukan tatap muka. Sekarang banyak dilakukan secara daring. Tapi emosi dan logika tetap disentuh: dari krisis maskulinitas ke ideologi,” kata Eka.
Yusuf Amri dari Kemenag Kota Semarang menambahkan bahwa radikalisasi juga bermula dari sikap eksklusif—merasa paling benar, menganggap orang lain salah. Ketika “hegemoni maskulinitas” ini bertemu dengan doktrin eksklusif, hasilnya bisa berbahaya.
“Agama apa pun tidak mengajarkan kekerasan. Tapi narasi keagamaan sering dibajak untuk melegitimasi teror,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya pendekatan moderasi beragama yang mengakui keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Saatnya Membuka Ruang Laki-Laki untuk Bicara
Melalui kegiatan ini, Densus 88 dan para mitranya bukan hanya sedang mencegah radikalisasi, tetapi juga sedang meretas konstruksi lama tentang maskulinitas. Dengan mengatakan “lelaki harus bercerita”, mereka sedang membuka ruang baru: ruang bagi laki-laki untuk lemah, rapuh, dan didengar—tanpa kehilangan harga diri.
Dalam konteks ini, pencegahan radikalisme bukan semata tugas keamanan, tetapi juga pekerjaan kultural. Yakni, membongkar stereotip maskulinitas beracun dan membangun narasi baru: bahwa menjadi laki-laki juga berarti bisa menangis, bicara, dan mencari pertolongan.
Karena dalam perang melawan propaganda ekstremis, kekuatan sejati bukan pada mereka yang diam, tapi pada mereka yang punya keberanian untuk bercerita.[Eka Setiawan]
Foto: IST
Kegiatan edukasi pencegahan radikalisme terorisme di SMA N 12 Kota Semarang, Kamis (12/6/2025).
Komentar