PURWOREJO- Pagi itu, Senin 26 Mei 2025, suasana di Dusun Krajan RT2/RW1, Kelurahan Kaliurip, Kecamatan Bener, Purworejo, seperti biasa—hening dan malas bergerak. Tak ada yang menyangka, tepat pukul 09.20 WIB, halaman rumah seorang pria bernama AF akan menjadi titik masuk berita nasional.
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, dengan pergerakan yang senyap, meringkus pria berusia 32 tahun itu. Warga sekitar hanya bisa tertegun. Ia bukan buronan bersenjata, bukan pula pelaku aksi kekerasan. Tapi justru karena itu, penangkapannya menyisakan banyak pertanyaan: bagaimana seorang warga biasa dari kampung tenang bisa jadi simpatisan kelompok teror paling brutal di abad ini?
AF bukan nama besar. Tapi namanya masuk ke dalam sistem. Ia dicatat sebagai simpatisan Jamaah Anshor Daulah (JAD), kelompok berbasis di Indonesia yang terafiliasi langsung dengan Islamic State (ISIS). Lebih jauh lagi, dia pernah diketahui melakukan perjalanan ke Poso, Sulawesi Tengah—sebuah nama yang tak pernah netral jika sudah menyangkut jejaring kekerasan atas nama agama.
Poso adalah titik temu antara pelatihan militer dan indoktrinasi ideologi, antara senjata dan syariat versi kekerasan. Dan di sanalah, tampaknya, AF belajar bukan cara meledakkan bom, tapi menyusun kata-kata yang menyulut kemarahan.
Menurut keterangan yang dihimpun dari berbagai sumber, AF berperan aktif menyebarkan propaganda radikal di media sosial. Bukan hanya membagikan ulang, ia juga merespons dan membangun narasi, dalam bentuk tulisan, audio, maupun gambar bergerak.
Ia bagian dari generasi baru ekstremis: tidak perlu mengangkat senjata, cukup membuka aplikasi dan menulis seruan. Dan itulah yang membuat perannya justru berbahaya. Karena ia tidak hanya mengonsumsi narasi kekerasan—ia juga menjadi penghubung yang menyebarkan virus ideologis ke ruang digital yang tidak dibatasi pagar kampung.
Media sosial, dalam konteks ini, bukan lagi tempat interaksi biasa. Ia telah menjadi medan dakwah virtual bagi kelompok-kelompok seperti JAD. Dan mereka yang seperti AF adalah juru dakwah daring—tidak pakai jubah, tidak berdiri di atas mimbar, tapi mengakses ribuan orang lewat layar 6 inci di genggaman tangan.
Ketika sistem keamanan memusatkan perhatian pada pelaku kekerasan fisik, justru para penyebar narasi inilah yang menyulut semangat calon pelaku lainnya. Dan dari kampung seperti Kaliurip, ide-ide itu bisa melintasi batas dan menjangkiti siapa pun yang sedang mencari makna hidup dengan penuh luka.
Penangkapan AF juga membuktikan bahwa terorisme hari ini tidak lagi tumbuh di kota-kota besar atau titik-titik konflik yang sudah lama kita kenal. Ia bisa berkembang di daerah yang tampak damai dan jauh dari ingar-bingar ekstremisme. Purworejo bukan Poso. Kaliurip bukan Marawi. Tapi pada akhirnya, yang menentukan bukan lokasi, melainkan koneksi. Dan itulah tantangan yang tengah dihadapi negara ini—bagaimana melacak dan melawan jaringan tanpa bentuk, tanpa tempat, tanpa waktu.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, membenarkan penangkapan ini. Ia mengonfirmasi bahwa AF langsung dibawa ke Jakarta untuk proses lebih lanjut. Tak banyak informasi lain yang dibuka, kecuali pengakuan bahwa penangkapan ini merupakan bagian dari kerja sistematis Densus 88 dalam membongkar sisa-sisa jejaring JAD Poso.
Namun kita tahu, penangkapan saja tidak cukup. Karena untuk setiap satu yang ditangkap, bisa jadi ada sepuluh lainnya yang tengah membaca, menyukai, dan membagikan ulang konten yang sama di dunia maya. Maka pertanyaan pentingnya bukan lagi hanya "siapa yang menyebarkan?", tapi juga "apa yang menyebabkan narasi itu diterima?"
Inilah tantangan kita bersama. Masyarakat, negara, dan generasi muda perlu lebih peka terhadap bahaya yang tidak meledak dalam bentuk bom, tapi mengendap dalam bentuk cerita. Kisah-kisah ketidakadilan, pengucilan, pencarian identitas yang dibajak oleh jaringan-jaringan seperti JAD. Dan mereka tidak perlu datang ke kampung Anda. Karena mereka tahu: selama ada koneksi internet dan ruang kosong dalam hati seseorang, ruang itu bisa diisi dengan radikalisme.
AF adalah potret kecil dari masalah besar. Ia bukan pion terakhir. Tapi dari halaman rumahnya yang sederhana, kita bisa belajar bahwa pertarungan hari ini bukan soal senjata—melainkan soal narasi. Dan untuk itu, kita semua harus menjadi bagian dari jawabannya.[Eka Setiawan]
Foto: Ilustrasi Densus 88 AT [Istimewa]
Komentar