Makan Malam Istimewa: Sebuah Refleksi dari Acara Sosialisasi Pembubaran Jamaah Islamiyah

News

by Febri Ramdani Editor by REDAKSI

Warung makanan Aceh di Jalan Margonda Raya itu sederhana saja. Makanannya pun khas Tanah Rencong yang biasa -- mie dan nasi goring Aceh, roti canai, teh tarik dan semacamnya. Yang tak biasa dalam acara makan malam Sabtu  2 November itu adalah orang-orangnya. Sebab selain saya dan Dr. Noor Huda Ismail dan seorang sahabat dari UI, yang sudah sering makan bersama, bergabung pula di seputar meja kayu persegi itu, duduk santai di kursi plastik khas warung jalanan, tiga mantan kombatan Jamaah Islamiyah (JI). 

Jam menunjukkan pukul 9 malam, namun kami sengaja mengisi waktu malam itu dengan bincang-bincang santai saat mengisi perut, selagi menantikan acara yang akan diadakan keesokan paginya. Acara pada Minggu 3 November 2024 yang difasilitasi Densus 88 Anti Teror Polri itu, diadakan dalam rangka sosialisasi pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) dengan tema “Dialog Kebangsaan: Dengan Ilmu Syar’i Kita Kembali ke Pangkuan NKRI.” Acaranya sendiri diadakan di Hotel Bumi Wiyata, Kota Depok,  Jawa Barat.

Ketiga mantan kombatan JI yang makan malam bersama kami pernah menempuh pendidikan militer di Afghanistan dan Moro, Filipina. Salah satunya, seorang mantan kombatan JI  asal Aceh berinisial ‘R’ duduk di sebelah saya, berbicara  santai sambil menyeruput secangkir teh tarik hangat. Dia berkisah tentang  pendidikan militer yang dijalaninya di Moro, Filipina, pada 1999/2000. Sekembali dari Moro, dia sempat kembali ke Aceh menjadi pengurus pondok pesantren selama belasan tahun, hingga sekarang menjadi koordinator sebuah pertambangan di daerah Paser, Kalimantan Timur.

Makan malam bersama Dr. Noor Huda Ismail dan mantan kombatan Jamaah Islamiyah [Dok. Pribadi]

Diskusi di warung makanan Aceh berlanjut dengan beberapa kali perbincangan pada hari-H kegiatan sosialisasi pembubaran Jamaah Islamiyah. Saya pun mendapati bahwa para mantan kombatan itu sebenarnya orang-orang biasa, warga negara Indonesia yang ingin menjadi pribadi Muslim yang lebih baik. Meskipun harus diakui, ada beberapa mantan anggota  yang melenceng dalam mengimplementasikan ajaran atau ilmu-ilmu mereka, sehingga menimbulkan kerugian serta melanggar norma-norma masyarakat.

Momen baik ketika mereka bersedia kembali ke NKRI serta berkomitmen mendukung perdamaian, layak diapresiasi dan didukung. Masyarakat harus menyadari bahwa  tidak ada orang yang sempurna, bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan. Kesempatan kedua sangatlah penting agar para mantan kombatan Jamaah Islamiyah tidak merasa termarjinalisasi dalam menjalani kehidupan baru pasca pembubaran kelompoknya.

Sebagaimana difirmankan-Nya dalam QS. Az-Zumar (39) ayat 53, ”… Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya….” Tuhan Yang Maha Kuasa dan paling berhak menghukum saja berkenan memaafkan dan memberikan kesempatan bagi setiap hamba-Nya yang bertaubat. Masa kita tidak? Sedangkan kita hanyalah sesama manusia yang juga tak luput dari khilaf dan dosa. [ ]

Komentar

Tulis Komentar