Melanjutkan kisah sebelumnya: Empati, Sebuah Titik Balik Menuju Resiliensi
Pada malam berikutnya saya membeli sebungkus rokok, sebuah korek api, dan beberapa bungkus keripik singkong melalui tamping lalu saya minta teman sebelah sel untuk membagikannya kepada yang lain.
Luar biasa, ucapan terimakasih mereka dan canda tawa mereka setelah menerima pemberian saya itu terasa sangat menyenangkan jiwa saya. Ada kebahagiaan tersendiri yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Saya hampir menangis saat itu.
Hari-hari berikutnya jika saya ada lauk atau nasi yang berlebih maka saya akan menawarkannya kepada para tetangga dan semuanya akan menerima dengan senang hati. Nasi dan lauk yang mungkin di luar saya tidak doyan memakannya, bisa sangat berarti bagi mereka. Kapan lagi saya bisa bersedekah dengan sesuatu yang sedikit dan sederhana tetapi memiliki dampak yang luar biasa bagi orang lain seperti saat itu. Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan kesempatan kepada saya untuk berbuat baik dan bisa bermanfaat bagi sesama di tengah kondisi yang sulit seperti saat itu.
Di kemudian hari saya selalu menggunakan pendekatan seperti itu untuk menjalin hubungan dengan para warga binaan yang lain. Pendekatan dari jalan menyentuh sisi kemanusiaan. Dan dengan cara itu saya mendapat banyak kawan dari berbagai golongan. Dari yang muslim tapi tidak pernah ke masjid sampai para tamping Gereja dan tamping Vihara.
Bagi saya saat itu urusan agama adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya, tapi urusan perut lapar dan hiburan berupa perkataan yang menguatkan adalah urusan sesama manusia. Dan subhanallah…betapa senangnya hati ini ketika dihormati oleh orang lain bukan karena status keagamaan atau status sosial, melainkan karena saya bisa menerima dan menghormati mereka.
Sejahat-jahatnya mereka di luar sana, tapi ketika saya bisa membantu mereka, menghormati mereka, mereka juga bisa menghormati saya. Buktinya, alhamdulilah selama saya di lapas saya tidak pernah dipalakin oleh napi umum atau dijahatin atau dimanfaatkan oleh mereka.
Pernah salah satu kawan sesama napiter mengingatkan saya agar saya jangan terlalu baik kepada napi umum di penjara, khawatir akan dimanfaatin oleh para napi umum. Saya mengiyakan, tetapi saya punya keyakinan tersendiri: tidak mungkin kebaikan yang ikhlas kita lakukan akan mendapat balasan keburukan dari Allah SWT.
Dalam pergaulan dengan sesama napi dan para petugas lapas saya membuang identitas – identitas ya, bukan status- saya sebagai muslim, saya hanya menggunakannya ketika beribadah, ketika berada di masjid atau sedang mengajar ngaji dan ilmu agama Islam. Saya lebih sering menggunakan identitas saya sebagai fans Liverpool atau pecinta kucing atau penggemar tanaman hias atau orang yang suka humor untuk memulai sebuah obrolan. Dan ternyata itu lebih mudah dan lebih menyenangkan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari di dunia nyata, pada dasarnya kita juga memerlukan beberapa identitas untuk mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitar kita. Dan itulah sebenarnya fungsi dari identitas, yaitu untuk dapat diterima dan mendapat pengakuan di sebuah lingkungan. Semakin spesifik sebuah identitas yang dibutuhkan pada sebuah lingkungan, biasanya semakin sempitlah lingkungan yang tercipta.
Contoh sederhana:
Jika saya mencari kawan yang harus memiliki identitas yang sama dengan saya, yaitu ia harus: manusia, Muslim, warga negara Indonesia, bersuku Jawa, warga Muhammadiyah, mantan anggota Jamaah Islamiyah, fans Liverpool, dan harus mantan narapidana kasus terorisme, maka sampai mati mungkin saya tidak akan menemukan kawan dengan kriteria seperti itu. Mungkin pula saya akan menjadi satu-satunya orang yang memiliki semua identitas itu.
Untuk sebuah keunikan diri saya, saya perlu identitas-identitas itu, tapi untuk bisa bergaul dengan luas dan bisa berbuat baik dalam lingkup yang lebih luas, saya harus menggunakan identitas yang sesuai dengan medan amal yang ingin saya lakukan.
Berbeda jika saya hanya menggunakan identitas sebagai manusia, maka saya akan diterima oleh seluruh manusia di muka bumi ini dan memandang sama semua manusia di muka bumi ini sehingga di seluruh muka bumi ini adalah lingkungan bagi saya. Dengan identitas ini saya akan leluasa untuk berbuat baik dalam lingkup kemanusiaan, seperti menolong korban bencana alam, memberi makan orang kelaparan, dan seterusnya.
Tapi, ketika kita mulai menambahkan warna kulit dalam identitas kita dan memandang manusia berdasarkan warna kulit, maka mulailah ditemukan penyempitan lingkungan. Sebabnya tentu karena manusia memiliki warna kulit yang beragam. Ada kulit putih, cokelat, hitam, kuning, sawo matang dan sebagainya.
Demikian pula ketika kita menambahkan agama, ras, suku, golongan ataupun lainnya dalam identitas kita, maka akan kita dapati semakin banyak lingkungan yang tercipta di antara kita.
Ketika semakin banyak lingkungan yang tercipta akibat perbedaan –yang merupakan keniscayaan dari penciptaan manusia-, di satu sisi akan membuat dunia ini semakin berwarna. Namun, di sisi lain bisa jadi sebaliknya. Manusia bisa terkotak-kotak dalam lingkungan yang sempit manakala ia tidak bisa menerima perbedaaan identitas yang ada.
Betapa banyak kita temui dalam sejarah peradaban manusia, manusia saling berperang hanya karena ingin memaksakan sebuah identitas kepada golongan yang lain? Betapa banyak yang berperang hanya untuk menunjukkan keunggulan sebuah ras? Betapa banyak kegagalan yang terjadi pada sebuah kaum hanya karena tidak mau bekerja sama dengan kelompok lain padahal punya tujuan yang sama?
Ketika seseorang tidak bisa menghargai perbedaan dan cenderung menganggap dirinya atau kelompoknya lebih unggul dari kelompok –dengan identitas- lain, pada saat itulah pada dasarnya ia telah menutup diri dari salah satu pintu rahmat dan pertolongan Tuhan.
Mengapa ?
Karena manusia adalah makhluk sosial (tidak bisa hidup sendiri) yang lemah dan hanya akan kuat jika ia dikuatkan oleh Tuhannya melalui orang-orang di sekitarnya. Seorang pejuang tidak bisa berjuang sendirian. Sebuah ormas tidak bisa berjuang sendirian. Sebuah negara tidak bisa berdiri atau tegak sendirian.
Lalu mengapa kita sulit menerima dan menghargai perbedaan yang ada? Mengapa kita masih sering mengharapkan kelompok lain yang mengikuti jalan perjuangan kita, tetapi pada saat yang sama kita sebenarnya merasa perlu bekerja sama dengan mereka untuk mewujudkan cita-cita kita?
Bagi saya pribadi, jika ingin berbuat baik maka saya akan mengabaikan identitas-identitas yang bisa menjadi penghalang perbuatan baik itu. Tapi ketika ingin membahas atau terjun ke dalam suatu masalah yang spesifik, maka saya akan menggunakan identitas yang spesifik pula.
Misalnya membahas bola, pasti saya akan pakai identitas saya sebagai fans Liverpool. Ketika membahas masalah radikalisme tentu saya akan memakai identitas saya sebagai mantan napi terorisme.
Tapi ketika saya ingin berbagi makanan dengan sesama napi di Lapas, atau kepada orang-orang yang membutuhkannya, maka saya hanya akan menggunakan identitas saya sebagai manusia.
Foto: Salah satu sudut Lapas Kedungpane Semarang (Eka Setiawan/ruangobrol.id)
Komentar