Sore itu di sebuah warkop yang berada di bawah pepohonan yang rindang, seorang kawan bercerita panjang lebar mengenai kendala pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di daerahnya. Sambil menikmati segelas jahe panas di tengah cuaca yang masih mendung setelah turun hujan deras, saya asyik mendengarkan pemaparannya. Dia banyak memaparkan soal potensi bisnis yang bisa digarap untuk mengatasi kendala itu. Seperti biasa, saya selalu lebih banyak mendengar dan menganalisis sambil menikmati suasana.
Ngomong-ngomong soal Makan Bergizi Gratis, saya adalah salah satu alumni program “makan bergizi gratis” versi yang lain. Selama 3 tahun dan 4 bulan pernah merasakan “makan bergizi gratis” di penjara. Dulu di masa itu (2014-2017) anggaran untuk “makan bergizi gratis” di penjara kalau tidak salah Rp. 15.000 per hari per orang. Artinya Rp. 5.000 per porsi makan untuk setiap narapidana.
Dengan anggaran itu kami mendapatkan nasi dengan lauk ikan asin, tempe orek, tempe goreng, dan telur rebus. Sayurnya ada sop minimalis, cah kangkung, tumis kol, atau acar labu. Dua kali dalam seminggu ada tambahan buah pisang kualitas terendah (tapi masih enak), dan sekali ubi rebus atau kolak kacang ijo bening. Jadi ada tiga kali jatah tambahan gizi dalam seminggu. Cukup bervariasi sih sebenarnya, cuma kualitasnya saja yang ala kadarnya.
Tulisan ini bukan hendak membahas soal perbandingan menu makan bergizi gratis kami saat itu dengan menu program MBG. Tapi ingin menceritakan sebuah kisah tentang salah satu pelajaran penting dalam hidup saya. Kisah ini terjadi di awal saya masuk penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba Jakarta Pusat.
Hari Senin tanggal 24 Agustus 2015 saya dipindahkan dari Rutan Mako Brimob ke Lapas Kelas 2A Salemba Jakarta Pusat untuk menjalani sisa masa pidana saya. Setelah selesai menjalani serangkaian prosedur registrasi dan pemeriksaan keamanan serta setelah mendapat pengarahan tantang prosedur yang harus dilewati oleh seorang narapidana baru di Lapas itu, saya kemudian diantarkan ke sel isolasi.
Malam pertama saya berada di sel isolasi saya menyaksikan bagaimana solidaritas para penghuni sel isolasi saling bantu mengatasi kekurangan masing-masing. Suatu hal yang sangat berkesan bagi saya. Sesusah-susahnya saya ketika menjadi tahanan di Rutan Mako Brimob tidaklah sesusah mereka yang ada di sel isolasi itu. Saya perlu menceritakan hal ini karena apa yang saya saksikan di malam itu sangat berkesan bagi saya dan merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Sebuah pelajaran yang kemudian menjadi pondasi saya dalam menentukan cara bergaul dengan para napi umum di lapas.
Orang-orang yang berada di sel isolasi itu adalah orang-orang yang melanggar peraturan lapas. Mereka itu orang-orang kriminal yang berulah di lapas. Jadi bisa dibilang mereka itu orang nakalnya para kriminal di lapas yang berarti mereka adalah orang yang berada pada kondisi terendah dari para napi lainnya. Mereka ini tidak boleh menerima kunjungan keluarga dan sama sekali tidak bisa berinteraksi dengan warga binaan (sebutan kehormatan bagi narapidana) yang lain. Jadi kalau sudah tidak punya uang ya tidak bisa beli apa-apa dan tidak bisa minta kepada napi yang lain. Bagi yang masih punya uang simpanan bisa beli jajan atau rokok lewat tamping (tahanan pendamping) yang bertugas membantu petugas melayani para napi. Tapi kalau sudah habis ya sudah tidak punya apa-apa lagi.
Malam itu saya menyaksikan bagaimana sebatang rokok bisa dihisap bergantian dan berpindah sampai 4 orang dan bagaimana sebungkus kecil keripik bisa dimakan oleh penghuni dua sel yang berbeda. Cara mereka memindahkan rokok atau keripik juga butuh perjuangan yang ‘luar biasa’. Misalnya rokok atau keripik itu berasal dari sel nomor 2 lalu mau diberikan kepada orang di sel nomor 6, maka rokok atau keripik itu dilempar dari lubang tempat memasukkan nasi cadong ke arah sel yang dituju. Jika tidak sampai akan meminta bantuan penghuni sel ke 4 atau ke 5 untuk dilempar lagi ke sel tujuan. Lalu setelah sampai depan sel tujuan si penghuni akan mengambilnya menggunakan kain sarung atau pakaian (karena tangan tidak bisa menjangkaunya) lalu menariknya ke dalam melalui celah di bawah pintu sel.
Cara perpindahan barang seperti itu juga berlaku untuk korek api, sabun deterjen, pasta gigi, dll. Jika hanya berpindah dari satu sel ke sel sebelahnya biasanya kami cukup menggunakan kantong plastik yang diikatkan pada seutas tali yang terbuat dari sobekan kain sarung atau anyaman dari kantong plastik bekas, lalu kami lempar ke arah sel sebelah. Jika terlewat pun akan mudah menepatkannya dengan jalan menarik tali sampai pas bisa dijangkau oleh si penerima.
Melihat betapa berharganya sebatang rokok, sebungkus kecil keripik harga seribuan, sebuah korek api, dan satu sachet kecil deterjen, serta bagaimana perjuangan mereka untuk bisa memberi dan mengambil barang-barang itu membuat hati kecil saya begitu tersentuh. Ya Rabbi…sejahat-jahatnya mereka ketika di luar sana tapi di saat seperti ini ternyata rasa lapar dan kesusahan bisa menyatukan mereka. Mereka bisa saling bantu tanpa pamrih. Tak peduli latar belakang mereka, apa agamanya, apa kasusnya, dst. Mereka hanya peduli pada rasa lapar dan kesusahan yang sama-sama mereka rasakan.
Hal ini bahkan tidak saya temukan di Rutan Mako Brimob yang isinya adalah orang-orang yang lebih berilmu dari mereka ini. Di Rutan Mako Brimob masih banyak yang berbuat baik berdasarkan kesamaan pemikiran dan golongan. Masih ada yang ketika punya sulit untuk berbagi dan cenderung menjauh tapi ketika susah akan mendekat. Tapi mungkin juga karena di Rutan Mako Brimob kami belum mengalami kondisi sesusah orang-orang di sel isolasi itu.
Mungkin itulah salah satu kebaikan yang masih tersisa pada diri mereka (orang-orang di sel isolasi), atau bisa juga itulah salah satu bentuk pengajaran dari Sang Pencipta tentang betapa kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu dan bahwa semua makhluk punya jalan rezekinya masing-masing.
Satu lagi pelajaran berharga bagi saya malam itu adalah bahwa sejahat-jahatnya orang ketika sedang susah atau lapar ia akan sangat menghargai orang yang menolong atau meringankan kesusahan mereka itu tanpa peduli apapun latar belakang dari si penolong.
Foto: Suasana salah satu sudut LP Kedungpane Semarang (Eka Setiawan/ruangobrol.id)
Komentar