Tidak Ada Seorang pun Ingin Jadi Pengungsi

Other

by nurdhania 1

[caption id="attachment_7242" align="aligncenter" width="768"]pengungsi-kamp-al-hol-al-roj-covid-19-ruangobrol pengungsi-kamp-al-hol-al-roj-covid-19-ruangobrol[/caption]

Tak ada seorang pun yang ingin dilahirkan sebagai pengungsi. Tak ada juga yang bercita-cita untuk tinggal di negara-negara maju lewat “jalur pengungsi”. Sebagai seseorang yang pernah ke kamp penampungan pengungsian selama dua bulan di salah satu negara di Timur Tengah, saya banyak belajar, dan secara perlahan mulai bisa memahami para pengungsi yang saya temui.


Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi mendefinisikan pengungsi sebagai: "Orang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu, berada di luar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara tersebut. Termasuk karena peperangan, perang saudara, kejahatan HAM, bencana alam, dan krisis kelaparan. Seperti perang yang terjadi di Timur Tengah dan menyebabkan gelombang pengungsi ke Eropa sangat tinggi, Genosida yang dilakukan Junta militer Myanmar terhadap etnis Rohingya, dan lain-lain."


Sebelum perang pecah, dulunya mereka merupakan orang-orang yang sama dengan kita. Pergi ke sekolah, bekerja, punya keluarga, jalan-jalan ke taman, punya mimpi, dan lain-lain. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman dan Tanah Air mereka dengan harapan mendapatkan kehidupan yang aman, lebih baik, dan dapat melanjutkan mimpi-mimpi mereka.


Penolakan terhadap pengungsi sempat terjadi di beberapa negara di Eropa. Karena ditemui kasus tindakan kriminal, membuat keributan, bahkan pelecehan. Namun, apakah perbuatan kriminal dari beberapa pengungsi tersebut bisa jadi dasar acuan kita untuk menggeneralisasi semua pengungsi berperilaku sama?


Dari pengalaman saya, saat bertemu dan berinteraksi dari mereka juga ditemui beberapa kasus serupa. Mulai dari berantem antar sesama, bersikap kasar, keras, saling berteriak, memukul, serta melempar batu yang memang terkadang bikin kesal.


Saat melihat hal ini yang saya lakukan adalah jika masih bisa ditegur, saya akan coba menasihati dan meluruskan. Jika tidak, maka akan coba langsung melapor ke pihak keamanan atau aparat yang bertanggung jawab di kamp tersebut agar segera ditangani. Tak dapat dihindari, saya pun pernah terlibat dalam perdebatan dengan mereka.


Apakah semuanya seperti itu? Tentu tidak. Alhamdulillah saya banyak menemui dari mereka yang sangat ramah. Tiap saya melewati warung seorang bapak, dia selalu melayangkan senyuman dan mendoakan dengan menunjukan gestur jari ke atas. "Semoga Allah memberkahimu," katanya.


Kemudian, mengobrol dan minum teh bersama. Ada yang menawarkan saya untuk mencuci pakaian dengan persediaan air yang mereka punya. Ikut membantu mengisikan air, berbagi, bercerita tentang masa lalu sebelum perang pecah, membeli dagangan mereka, bermain bareng, dan lain-lain. Ada kalanya pun kita harus menjaga jarak, karena kita tak bisa memaksakan jika mereka tidak suka.


Awalnya tentu kesal saat melihat perlakuan di antara mereka. Namun, perlahan saya sadar dan sedikitnya memahami mereka. Ingat, dengan catatan saya tidak menjustifikasi tindakan kriminal yang mereka lakukan.


Mereka merupakan korban perang bertahun-tahun lamanya. Tidak bisa menempuh pendidikan yang baik dalam kurun waktu cukup lama. Rumah, kota, dan sekolah mereka hancur oleh bom. Teman, kerabat, dan keluarga mereka meninggal karena bom atau dibunuh. Di kamp pengungsian terdapat sanitasi yang buruk, makanan seadanya, serta tenda-tenda yang tak cukup memberikan kenyamanan saat empat musim.


Para pengungsi yang kabur juga rentan terkena PTSD atau gangguan trauma lainnya, yang dapat menyebabkan perilaku disfungsional dan mengganggu kemampuan mereka dalam menghadapi kehidupan sosial dan/atau keluarga.
(Psychosocial problems in traumatized refugee families: overview of risks and some recommendations for support services) .


Kabur dari wilayah konflik dan masuk kamp pengungsian juga tidak selalu mulus. Ada yang ditangkap pihak otoritas dan terkena ranjau.


Dengan kondisi kamp pengungsian yang ada saat itu terdapat sekitar 10 ribu orang lebih, dinaungi tenda kamping yang sangat rapat antar tetangganya, di padang pasir yang luas dan gersang, tidak bisa sekolah, sering terjadi keributan, dan sulit memenuhi kebutuhan hidup.


Akhirnya, tidak sedikit dari mereka yang terpaksa meninggalkan kamp pengungsian karena sudah hilang harapan sehingga rela merogoh kocek lebih dalam untuk membayar penyelundup agar anak atau keluarganya bisa punya masa depan yang cerah, yaitu dengan pergi ke negara penerima suaka. Ke Eropa misalnya.


Tak sedikit juga yang jadi korban penipuan. Sudah bayar mahal-mahal, eh smugglers-nya kabur. Ada yang dijanjikan perjalanan aman dan mematok harga mahal, eh gak taunya tertangkap otoritas perbatasan. Diiming-imingi tempat tujuan yang bagus, eh malah ditinggal saja sendiri di tengah jalan. Ada juga yang tenggelam saat menempuh perjalanan laut.


Setelah beberapa tahun memulai hidup baru di negara ketiga dan atau negara penerima suaka, para pengungsi ini juga berkontribusi dengan bekerja atau menempuh pendidikan, serta membantu memberdayakan pengungsi yang bernasib sama. Mereka juga ikut mengadvokasi hak-hak pengungsi dan menyuarakan perdamaian dengan harapan konflik di kampung halamannya segera berhenti.


Suatu kali saya bertemu seseorang dari London. Sebelumnya yang bersangkutan adalah pengungsi dari Somalia. Ia dan rekannya saat ini membangun sekolah serta pusat layanan kesehatan di desanya, Desa Ba-ad, Somalia.


Menolak


Jika kita tidak berkenan menerima pengungsi yang datang, tidaklah masalah. Apalagi jumlahnya sampai ratusan, sungguh sangat sulit. Rakyat Indonesia sendiri pun masih membutuhkan perhatian penuh dari negara, dan kita juga tidak meratifikasi konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi. Meskipun tidak meratifikasi, ada yang namanya prinsip Non-Refoulment. Para pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara asalnya yang akan mengancam nyawa dan kebebasan mereka.


Pada dasarnya, para pengungsi ini sangat berharap bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya jika sudah aman, damai, dan kondusif. Tanah air sendiri adalah sebaik-baik rumah.


Namun, melemparkan ujaran kebencian, menyebarkan hoaks, disinformasi, dan fitnah tentang mereka, harus dihentikan dan diluruskan. Tidak sedikit saya temui narasi atau komentar berupa ujaran kebencian dari warganet terkait pengungsi asal Rohingya. Mulai dari berita tentang mereka minta tanah di Malaysia, padahal itu berita tahun 2017 saat mereka sedang demo terkait kejahatan dan genosida terhadap etnis Rohingya di depan kantor kedutaan Myanmar. Bukan minta tanah!


Ada akun-akun bodong di tiktok yang mengatasnamakn UNHCR Indonesia. Selain itu, saya juga melihat komentar rasis dan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap para pengungsi.


Mungkin kita bisa merenung sebentar, penduduk Indonesia mencapai 270 jutaan jiwa. Warga negaranya beraneka ragam. Ada yang alim, kriminal, pelit, sombong, baik, rendah hati, zolim, dan lain-lain. Kemudian Ada bencana (Na'uduzubillah, jangan sampai) dan kita terpaksa harus mengungsi. Apa yang terjadi di dalam kamp pengungsian tersebut, yang berisikan orang- orang dengan latar belakang dan watak yang berbeda-beda?


Kita terus berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil langkah tegas dan bekerja sama dengan lembaga internasional. Selain untuk menghindari konflik dengan warga, karena kasihan juga pemerintah daerah dan warga Aceh. Kita juga berharap agar ASEAN bisa menekan serta tegas terhadap Myanmar untuk menghentikan genosida terhadap rakyatnya.


Buat sobat Ruangobrol yang ingin tahu terkait sejarah Rohingya, pernyataan dan kisah dari pengalaman seseorang yang pernah berinteraksi dengan mereka, bisa baca dan dengarkan di sini:


Space Twitter Muslim Gaze "Ada Apa dengan Rohingya?"


Pengungsi Rohingya oleh UNHCR


Sejarah penindasan etnis Rohingya yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar dari Neo Historia

Komentar

Tulis Komentar