Secara umum, tercatat lebih dari 30 ribu sampai 42 ribu orang yang berasal dari 110 negara telah datang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Data yang dihimpun oleh The Soufan Center mencatat negara-negara penyumbang FTF terbesar ialah Rusia dan negara-negara bekas Uni Soviet sebanyak 8.717 orang, sementara Timur Tengah 7.054 orang, Eropa Barat 5.356. Sementara Indonesia menyumbang sebesar 1.580 yang pernah mencoba berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung bersama ISIS.
Para pengungsi ini tersebar di tiga kamp pengungsian yakni di Al Roj, Al Hol, dan Ainisa di Suriah. Mereka berstatus imigran legal, dan mencoba melarikan diri, mencari suaka untuk menghindari konflik dan perang, kekerasan kelompok, terorisme, bencana alam, dan keadaan lain yang mengancam nyawa mereka.
Berkaitan dengan jumlah WNI eks ISIS ini harus diakui sangat sulit untuk diverifikasi. Hal ini dikarenakan pemerintah kesulitan dalam mengakses hingga ke dalam kamp- kamp pengungsian. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) saat itu, Suhardi Alius bahwa “dari sekian ratus yang teridentifikasi, tapi kita belum tahu posisi di mana. Kita enggak punya akses di sana”. (Sumber: Kompas.com)
Akan tetapi berkat upaya pemerintah Indonesia, baik melalui pertukaran informasi yang dilakukan oleh BNPT RI dengan beberapa lembaga intelijen Timur Tengah dan Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC), BNPT memverifikasi terdapat 639 orang WNI yang tersebar di tiga kamp yakni, Al Roj, Al Hol, dan Ainisa. Jumlah ini belum diklasifikasi sebab diantara mereka ada FTF dengan keluarganya, dan mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.
Pada tahun 2017 lalu, ada sekitar 113 WNI perempuan simpatisan ISIS yang berada di Irak dan Suriah (Reuters.com). Sementara yang berstatus sebagai anak-anak juga berjumlah ratusan yang berada di Irak dan Suriah.
Selain dari pada itu, situasi di kamp- kamp pengungsian sangat buruk dan memprihatinkan. Sejumlah laporan yang mengutip International Rescue Commitee menyebutkan bahwa setidaknya 100 balita meninggal dunia selama pengungsian atau saat tiba di kamp, diantaranya akibat diare dan malnutrisi. Bantuan makanan, fasilitas rehabilitasi psikologi, fasilitas kesehatan seperti obat-obatan pun tidak selalu tersedia. Kondisi para pengungsi semakin memprihatinkan ketika musim dingin tiba.
Belum lagi, di kamp-kamp pengungsian dimana pengungsi ini bermukim telah melebihi kapasitas. Kamp pengungsian Al-Hol ialah yang memiliki pengungsi terbanyak. Padahal Al-Hol dirancang hanya untuk menampung 20.000 orang, namun sejak Desember 2018, telah disesaki lebih dari 60.000 orang (BBC.com).
Selain dari itu, kamp-kamp pengungsian dimana simpatisan ISIS termasuk WNI eks ISIS tinggal ini rentan konflik karena ada tiga otoritas kekuasaan yakni Syrian Democratic Forces (SDF), pemerintah Kurdistan, dan pemerintah Suriah. Situasi yang memprihatinkan ini kemudian mendorong beberapa negara untuk berinisiatif melakukan repatriasi.
AS misalnya pada 2019 memulangkan warga negaranya sebanyak 8 orang yang terdiri dari 2 perempuan dan 6 anak-anak. Di saat yang sama, Otoritas Kurdi juga menyerahkan 5 anak-anak kepada pemerintah Norwegia. Begitu pula dengan Uzbekistan, Otoritas Kurdi menyerahkan sebanyak 58 perempuan dan 90 anak-anak untuk dipulangkan ke negara asal mereka. Pemerintah Khazakstan juga merepatriasi sebanyak 231 yang sebagian besar adalah anak- anak (156) untuk kembali ke negara asal.
Komentar