Para Peserta IVLP: Harus Ontime yah!

Tokoh

by Eka Setiawan Editor by Arif Budi Setyawan

Petualangan di Amerika Serikat (AS) para peserta IVLP 2025 itu dimulai dari Washington DC. Wilayah yang merupakan Ibu Kota AS itu beriklim sejuk. Tak terlalu panas, namun juga tak sampai membuat peserta kedinginan.

Setelah kami berkenalan dengan Teh Keke, kami juga berkenalan dengan 2 penerjemah bahasa dan budaya lainnya, yakni Charles Ariwijaya (Charles) dan Izmyr Katoppo (Izzy).

Di hotel tempat kami menginap, Charles menemui kami lebih dulu. Membagikan sebuah buku tebal, berisi panduan kami – para peserta IVLP 2025 – tentang agenda kurang lebih 3 minggu ke depan.

Kalau mungkin ada kebiasaan-kebiasaan molor waktu acara, ilangin ya! Di sini, harus gercep, ontime. Karena kalau molor di awal, kalian sendiri yang rugi, agendanya jadi berkurang waktunya, juga agenda selanjutnya bisa ikut molor juga. Jadi ontime ya!” begitu kira-kira Charles memberi kami wejangan.

Di DC, waktu Magrib sekitar pukul 21.00. Ini salah satu yang membuat kami – saya – harus menyesuaikan. Sebab, artinya sebelum pukul 21.00, hari masih terang. Berbeda dengan di Indonesia bagian barat, yang biasanya menjelang pukul 18.00 hari baru mulai gelap. Ritme sirkadian di tubuh perlu penyesuaian tersendiri untuk ini.

Santapan pertama begitu sampai DC yang kami makan – sebagian dari kami, karena beberapa peserta memilih istirahat atau memilih menu lain – adalah sebuah tempat makan bernama Arepazone. Jaraknya hanya beberapa blok dari hotel tempat kami menginap. Di sana menjual menu makanan Venezuela.

Shock culture pertama ditemui di makanan itu. Selain ada lauk daging, ternyata pisang goreng dan buah alpukat juga jadi lauk nasi. Bagi kami yang orang Indonesia, tentu saja ini aneh! Nyaris tak pernah ditemui menu seperti itu.

Ini alpukat kok jadi lauk ya? Ada juga pisang goreng dicampur nasi? Hehehe” kekeh salah satu kawan saat makan di sana.

Biarpun aneh, karena perut keroncongan, menu itu akhirnya kami lahap juga. Selain itu, ada pula kebiasaan di AS, harus beres-beres sendiri wadah bekas makanan, dibuang ke tempat sampah, juga memberikan uang tips jika ada pelayan. Misalnya; pesan ke kasir, kemudian membayar, makanannya diantar pelayan, maka ada semacam “kewajiban” memberikan uang tips. Ada yang dihitung sekian persen dari total pembayaran, namun itu juga tak jadi patokan wajib.

Baca juga: Kesempatan Menginjakkan Kaki di AS Lewat Program IVLP 2025

Jalan-jalan di DC juga sangat nyaman bagi pejalan kaki. Sebab, selain trotoar luas, lalu lintasnya juga tertib. Kendaraan semuanya patuh rambu. Jadi kami para pejalan kaki merasa nyaman ketika menyeberang jalan.

Oiya, ketika hari mulai petang, cukup banyak homeless alias gelandangan yang kami temui. Mereka duduk-duduk di pinggir jalan, di dekat taman. Biasanya ada asap berbau menyengat. Ternyata yang mereka hisap adalah ganja. Di sini, ganja dilegalkan, jadi orang bebas saja menghisap ganja di jalanan.

Selain toko-toko makanan, ada juga semacam minimarket tak jauh dari tempat kami menginap. Namanya Wawa. Di sana juga menjual makanan berat, misalnya burger atau semacam kebab. Cukup untuk ganjal perut kala keroncongan. Di dekat tempat kami menginap juga ada CVS Pharmacy, selain menyediakan obat-obatan hingga kosmetik, di sana juga menjual makanan minuman.

Tur Keliling Kota

Setelah kami menghabiskan malam pertama di DC dengan tidak bisa tidur – sebab masih jetlag – esok paginya, hari Minggu 11 Mei 2025 adalah agenda kami yang pertama: Tur Kota DC.

Menjelang siang, bus sudah menjemput kami. Selain ditemani Teh Keke, Charles dan Bang Izzy, ada juga seorang tour guide namanya Andrew. Dia memakai kaus oblong dan celana pendek, bersepatu. Rata-rata peserta ketika itu memakai kacamata hitam, sebab suasana memang cukup terik.

Kami senang sekali mendapat agenda itu. Beberapa tempat ikonik kami kunjungi. Sebut saja di antaranya; White House alias Gedung Putih, tempat Presiden AS berkantor. Kemudian ada juga Gedung Capitol, tempat berkantornya Senator dan Dewan.

Saat kami ke Gedung Putih, hanya sampai pelataran pagar. Di sana tampak aparat keamanan berjaga, termasuk mobil-mobilnya yang diparkir. Di sana kami melihat ada poster-poster yang dipasang di sekitar pagar, berisi nada protes. Salah satunya poster yang berisikan seruan untuk menutup Guantanamo, fasilitas penjara militer AS yang terletak di Pangkalan Angkatan Laut Teluk Guantanamo, Kuba.

 Gedung Capitol dari salah satu sudut jalan.(Dok. Eka Setiawan)

Kami juga bergerak ke Gedung Capitol. Dari informasi guide tour, Senator masa jabatannya 6 tahun, sementara Dewan hanya 2 tahun. Jadi seringkali ketika anggota Dewan baru saja menjabat, juga mereka sudah bersiap untuk kampanye pemilihan untuk periode selanjutnya. Ini berbeda dengan masa jabatan di Indonesia yang 5 tahun per periode.

Tak jauh dari sana, ada juga Washington Monumen, berupa tugu menjulang tinggi yang satu garis lurus dengan Memorial Lincoln dan Gedung Capitol. Memorial Lincoln sendiri adalah monumen nasional AS yang dibangun untuk menghormati Presiden ke-16 AS Abraham Lincoln.

Washington Monument dari kejauhan.(Dok. Eka Setiawan)

Lokasinya ramai dikunjungi wisatawan. Saya menebak mereka berasal dari berbagai negara. Misalnya ada yang memakai baju sari – khas India. Tampak juga pria dan perempuan muda berkostum sama, kemudian menari ala Korea (K-Pop) kemudian direkam video. Gerakannya enerjik dan kompak mengikuti dentum musik yang diputar menggunakan pengeras suara. Ini membuat yang melihatnya senang dan memberikan tepuk tangan panjang begitu mereka selesai perform.

Kami juga mengunjungi Martin Luther King Jr. Memorial. Sama seperti lokasi lain yang saya kunjungi, di sana ramai wisatawan.

Suasana Martin Luther King Jr. Memorial yang terik.(Dok. Eka Setiawan)

Kami juga sempat mampir masuk ke Hotel Willard, yang lokasinya tak jauh dari gedung putih. Kami memasukinya, karena konon katanya di situlah awal mula adanya lobi-lobi politis.

Dari beberapa literasi yang saya baca, di lobi hotel tua yang masih megah sampai sekarang, itu di sekitar tahun 1870, banyak orang mendatanginya. Sebab, pejabat pemerintah, terutama Presiden AS Ulysses S. Grant sering mengunjungi hotel ini selepas bekerja. Menikmati cerutu sambil minum brendi.

Orang-orang kerap menemuinya di lobi hotel itu, untuk meminta bantuan atau pengaruh. Dari sinilah sejarah lobi-lobi atau pelobi bermula. (bersambung)

Depan Lobby Hotel Willard. (Dok. Eka Setiawan)





Foto Utama: Suasana depan White House (Dok. Eka Setiawan)

Komentar

Tulis Komentar