Bagaimana jika pemerintah mengabaikan upaya-upaya yang telah kami lakukan?”
Pertanyaan di atas merupakan salah satu pertanyaan menarik yang diajukan oleh salah satu peserta acara bertajuk “ASASI Sabah Youth Roundtable 2022”. Pertanyaan itu menanggapi paparan action plan salah satu kelompok diskusi di sesi terakhir acara.
Saya kebetulan menjadi salah satu pemateri dan pemantau di acara yang digagas oleh Pusat Hak Asasi & Keselamatan Komuniti Sabah itu. Senang sekali selama dua hari bisa menyaksikan betapa hebatnya energi positif yang dimiliki oleh anak-anak muda peserta kegiatan tersebut. Salah satu buktinya adalah munculnya pertanyaan di atas.
Bagi saya pertanyaan itu lahir dari semangat ingin berkarya untuk bangsa tetapi sekaligus kekhawatiran akan diabaikan oleh pemerintah. Bagi anak-anak muda itu, pengakuan dan apresiasi dari pemerintah masih dianggap penting. Kondisi psikologis mereka memang berada di tahap itu. Belum banyak mengalami kekecewaan dalam hidupnya.
Sebelum saya menuliskan jawaban dan saran saya terkait pertanyaan di atas, saya akan cerita sedikit tentang kegiatan “ASASI Sabah Youth Roundtable 2022” itu.
Tentang ASASI Sabah Youth Roundtable 2022
Tujuan acara ini adalah untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang ekstremisme kekerasan dan militansi dari sudut pandang ahli. Dan juga tentang berbagai titik pemicu radikalisasi dan kejahatan rasial dari berbagai perspektif geografis dan komunal dengan fokus khusus serta upaya praktik terbaik yang dilakukan oleh masyarakat di negara masing-masing.
Hasil dari program ini adalah untuk menciptakan basis dukungan dan jaringan untuk membantu badan keamanan Malaysia khususnya Komando Keamanan Sabah Timur (ESSCOM: Eastern Sabah Security Command) untuk mencegah segala bentuk eksploitasi dan keterlibatan masyarakat rentan dengan elemen kekerasan dan militan dari wilayah tersebut.
Peserta kegiatan merupakan anak-anak muda dari berbagai penjuru negara bagian Sabah dengan komposisi berimbang antara peserta pria dan wanita. Narasumber ahli yang diundang berasal dari tiga negara, yaitu dari Malaysia, Filipina, dan Indonesia dengan memanfaatkan jaringan sesama anggota SEAN-CSO. Saya diundang sebagai praktisi dari Kreasi Prasasti Perdamaian.
Konsep acaranya cukup asyik. Setelah pemateri selesai dengan presentasi dan tanya jawab, dilanjutkan dengan diskusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil terdiri dari 4-5 orang. Setelah diskusi, semua kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya untuk ditanggapi semua peserta dan pemateri.
Sesi presentasi hasil diskusi inilah yang paling berkesan bagi saya. Semangat mereka untuk berkarya bagi bangsa dan negara bisa dilihat dari antusiasme mereka dalam diskusi dan presentasi hasil diskusi mereka.
Beberapa Hasil Diskusi yang Menarik
Sebagai salah satu ahli atau praktisi yang diundang, salah satu tugas saya adalah membantu menyimpulkan dan mengarahkan ide-ide atau temuan dalam diskusi para peserta.
Di hari pertama saya bersama mereka, saya diminta memberikan arahan dan membantu menyimpulkan temuan-temuan dalam diskusi terkait sebab-sebab anak muda rentan tertarik bergabung dengan kelompok ekstremisme kekerasan. Dari semua presentasi kelompok diskusi, secara garis besar apa yang mereka sampaikan itu merupakan penjelasan dari teori Arie Kurglanski. Yaitu tentang proses seseorang itu sampai menjadi bagian dari kelompok ekstremisme kekerasan. Teori itu terkenal dengan 3N, yaitu: Need, Narrative, dan Network.
BACA JUGA: Menelisik Keunikan Kota Tawau
Di hari kedua lebih seru lagi, karena setiap kelompok diskusi diminta membuat action plan untuk dipresentasikan. Action plan mengenai bagaimana pencegahan ekstremisme kekerasan di wilayah masing-masing.
Beberapa ide menarik yang muncul antara lain: penguatan peran pemuda dan komunitas ibu-ibu, meningkatkan kerjasama dengan stakeholder (pejabat pemerintah) terkait, program edukasi masyarakat, dan menciptakan community resilience.
Presentasi mereka itu lalu ditanggapi oleh peserta yang lain. Salah satu tanggapan yang paling menarik adalah pertanyaan di awal tulisan, yaitu “Bagaimana jika pemerintah mengabaikan upaya-upaya yang telah kami lakukan?”.
Saya ingat pertanyaan itu muncul menanggapi ide perlunya menciptakan community resilience dan meningkatkan kerjasama dengan stakeholder terkait. Kelompok yang mempresentasikan terlihat kesulitan menjawab pertanyaan ini. Maka kemudian saya bantu menjawabnya.
“Persoalan ini menjadi tanggungjawab kita semua. Semua pihak harus berusaha maksimal sesuai dengan kemampuan masing-masing. Adapun jika ada pihak yang seharusnya bisa melakukan lebih tapi tidak melakukannya, maka setidaknya kita telah melakukan kewajiban kita. Soal hasilnya serahkan kepada Tuhan. Selama berurusan dengan manusia, kekecewaan itu pasti akan ada. Jadi, tetap semangat dan terus bekerja”.
Sebagai penutup, kepada mereka saya juga berpesan agar bekerjalah berdasarkan panggilan hati. Bukan karena diajak siapa atau karena dibayar oleh sebuah lembaga. Karena bekerja di isu perdamaian ini membutuhkan energi yang besar dan waktu yang panjang. Bila bukan karena panggilan hati, yakinlah kita tidak akan bertahan lama. (*)
Komentar