Perusahaan swasta, BUMN, tidak memiliki data informasi individu dan kelompok teror—yang seharusnya dishare oleh aparat dari lembaga keamanan. Akibatnya, ada bank, perusahaan BUMN, ‘dirampok’ oleh kelompok teroris di Indonesia,”
Geliat pengumpulan dana oleh jaringan teror hingga kini masih terus bergerak secara terselubung. Keberadaannya sulit dibedakan oleh masyarakat awam, sebab mereka bertransformasi secara halus menggunakan organisasi sosial, yayasan, hingga pegiat lingkungan.
Aksi ini dikenal dengan istilah Neo Fa’i atau perampokan model baru dengan pola program Corporate Social Responsibility (CSR), dan pengajuan kredit. Sasarannya dana bank, perusahaan BUMN hingga pinjamanan online (Pinjol).
“Zaman dahulu, mereka merampok secara fisik dengan cara mendatangi lokasi dengan kekerasan. Tetapi sekarang ini operasi perampokan bank dilakukan dengan cara CSR dan mengajukan kredit,” ungkap peneliti dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, M. Taufiqurrahman dalam diskusi “EU-Indonesia On Preventing and Countering Violent Extremism For Instructors Of Indonesian Migrant Workers” yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pada Jakarta 29-30 Agustus 2022 lalu.
Aksi Neo Fa’i dengan modus CSR terjadi di salah satu BUMN di Bali, beberapa waktu lalu. Modusnya, mereka mengirimkan proposal pendanaan CSR dengan alasan untuk pelestarian lingkungan.
“Perusahaan BUMN tersebut menyetujui sebanyak dua kali pada 2018 dan 2019, yakni senilai Rp 147 juta,” ujarnya.
Mereka menggunakan perwajahan yayasan yang bergerak dalam kepedulian terhadap sosial dan lingkungan. Memang, lanjut Taufiq, sebagian dananya digunakan untuk pelestarian lingkungan.
“Tetapi sebagian besar dananya digunakan untuk sarana dan prasarana persiapan jihad. Baik mendanai pelatihan beladiri, pelatihan militer, kegiatan perekrutan anggota, serta bakti sosial yang sasarannya adalah kelompok mereka sendiri,” kata Taufiq.
Sedangkan temuan di salah satu bank di Bandung, mereka beraksi dengan cara mengajukan kredit sebesar Rp 9,6 juta. Pada saat yang sama, kelompok Bandung itu juga merampok pinjaman (Pinjol).
“Kelompok teror tersebut mungkin berpikir bahwa fenomena Pinjol ini banyak ditentang karena merugikan masyarakat. Ini Pinjol bikin sengsara, ya udah dirampok aja. Duitnya dipakai beli pistol. Untung itu airsoft gun. Tak terbayang kalau itu dibelikan senjata asli, bisa untuk membunuh berapa polisi itu?” katanya.
Menurutnya, hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, bank dan lain-lain, terkait informasi individu maupun kelompok teror ini terbatas.
“Perusahaan swasta, BUMN, tidak memiliki data informasi individu maupun kelompok teror yang seharusnya dishare oleh aparat dari lembaga keamanan. Akibatnya, ada bank, perusahaan BUMN, ‘dirampok’ oleh kelompok teroris di Indonesia,” katanya.
BACA JUGA:
Tren Pendanaan Terorisme di Indonesia
Menurutnya, seandainya perusahaan BUMN tersebut mengetahui data kelompok radikal, seharusnya menolak pengajuan proposal pengajuan dana tersebut.
“Bayangkan, dana Rp 147 juta itu bisa digunakan untuk merakit berapa bom atau beli senjata. Untungnya, mereka belum pada tahap aksi penyerangan, melainkan masih dalam tahap persiapan jihad,” terangnya.
Semua orang mengetahui bahwa BUMN memiliki sistem yang baik. “Nah, kalau perusahaan BUMN saja bisa tertipu, lantas bagaimana para pekerja migran?” katanya. (*)
Komentar