85 Persen Milenial Terpapar Radikalisme

News

by Akhmad Kusairi

Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan menyebut 85 persen milenial berpotensi terpapar radikalisme. Angka sebesar itu menurut Ken berasal dari survei yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Banyaknya generasi milenial yang terpapar karena usia muda rentan dan labil. Mereka pada fase pencarian jati diri. Hal itu ditambah dengan media sosial yang gencar dimanfaatkan kelompok radikal. Lebih lanjut Ken menjelaskan jika jumlah kelompok radikal tidak banyak. Tapi mereka 24 jam bergerak dan aktif.

“Sementara kita yang mayoritas diam, kita yang waras diam, jadi seolah oleh kelompok radikal mendominasi media sosial. Di grup Whatsapp misalnya 257 orang, yang radikal paling hanya 2-3 orang saja, tapi yang 2-3 orang itu berisik sekali mengirimkan terus menerus konten hoaks, karena dibiarkan ya mereka semakin merajalela,” kata Ken dalam acara Webinar Nasional dalam rangka menghalau radikalisme yang merambah dikalangan mahasiswa yang diselenggarakan Divisi Hukum HAM dan Advokasi HMP Hukum Keluarga Islam UIN Raden Intan Lampung pada Rabu, (07/7/2021).

Karena itu Ken mengajak masyarakat agar hendaknya kritis dan selalu tabbayun, cek dan ricek terhadap informasi yang diterima. Dia mewanti-wanti agar jangan sampai menjadi korban hoaks atau bahkan menjadi penyebar hoaks karena turut menyebarkan informasi yang belum jelas sumbernya.

Lebih lanjut dia meluruskan anggapan sebagian orang yang menyebutkan jika paham terorisme tidak di monopoli oleh satu agama tertentu, kelompok atau sekte. Akan tetapi bahwa radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan perubahan sosial politik dengan cara yang keras atau drastis. Dia juga mengatakan bahwa radikalisme atas nama agama sudah masuk ke semua lini masyarakat. Tidak pandang sisi ekonomi, pendidikan dan status sosial, bahkan artis dan kalangan aparatur sipil negara (ASN) Serta aparat TNI/Polri juga ditenggarai sudah banyak termasuk kepada milenial.

“Mungkin karena di Indonesia mayoritas beragama Islam dan pelaku teroris banyak yang beragama Islam maka tercipta stigma seolah radikalisme dan terorisme identik dengan Islam. Padahal radikalisme dan terorisme sejatinya adalah fitnah untuk agama Islam, karena rata rata pelaku teroris mengaku beragama Islam,” pungkas Ken

Hal senada disampaikan Kabid Penelitian dan Pengkajian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Lampung Dr. Abdul Qodir Zaelani. Dia menjelaskan karakteristik kelompok radikal bersikap eksklusif, intoleran, memonopoli kebenaran, playing victim, pandai bertaqiyyah, dan menyebar hoaks, ujaran kebencian, provokasi bertujuan untuk memecah belah dan mengadu domba.

Dia mengamini apa yang disampaikan oleh Ken. Bahwa radikalisme sudah menyasar berbagai kalangan, termasuk mahasiswa yang sudah dibuktikan dengan berbagai penelitian dari lembaga negara ataupun lembaga riset lain.

Dia menjelaskan radikalisme menyasar mahasiswa karena mahasiswa adalah representasi dari rakyat. Menurutnya, penyebaran ideologi membutuhkan orang-orang pintar bukan hanya pintar secara akademik, namun juga memiliki soft skill dalam membuat konten sesuai dengan keinginiannya. Sarana media sosial dianggap efektif, karena terdapat 150 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, sebagian besar merupakan generasi muda.

Karena itu dia menawarkan solusi agar paham radikal tidak terus berkembang di kalangan mahasiswa dengan berbagai cara yakni penguatan wawasan keagamaan yang berciri khas keindonesiaan, yaitu paham moderat (wasathiyyah), inklusif, damai, toleran dan rahmatan lil alamin.

“Penguatan nilai-nilai kebhinnekaan dan toleransi, meningkatkan jiwa nasionalisme, membangun rasa persatuan dan kesatuan, saling hormat, saling sayang, dan saling menjaga. Tidak saling membenci dan tidak menyukai kekerasan. Menanamkan ukhuwwah islamiyah, wathanoniyyah, insaniyyah/basyariyyah,” pungkas Abdul.

Komentar

Tulis Komentar