Kisah Jenderal Polisi Terpapar Paham Radikal Teror ketika Jabat Kapolsek

News

by Eka Setiawan

Setiap individu punya potensi terpapar paham radikal terorisme. Tidak memandang agamanya, statusnya ataupun tingkat intelektualnya. Bahkan seorang perwira polisi yang juga seorang kapolsek bisa terpapar paham radikal.

Hal itu diungkapkan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid. Dia menceritakan pengalamannya sempat terpapar paham radikal teror.

"Saya terpapar radikalisme saat pangkat Kapten (sekarang diganti Ajun Komisaris Polisi), jadi Kapolsek Banjarsari (Solo)," ungkap Jenderal Polisi Bintang Satu itu saat Diskusi Publik "Peran Masyarakat dalam Pencegahan Aksi Terorisme di Sulawesi Tengah" yang diikuti ruangobrol.id via Zoom, Minggu 4 Juli 2021. Diskusi ini digelar Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI Pusat.

Secara singkat dia menyebut kali pertama mulai terpapar ketika bertemu ustaz-ustaz yang berpaham radikal. Dari situ dia mulai rutin mengikuti liqo atau kajian-kajian hingga ikut i'dad, yakni lebih ke persiapan fisik. Ketika itu tahun 1995.

"Saya sudah belasan kali ikut i'dad dan sempat akan ke Afghanistan," lanjut alumni Akpol 1989 itu.

Dia bercerita, di tahun 1995 pemerintah saat itu belum terlalu waspada soal terorisme ini. Hal ini juga yang juga berdampak kepadanya. Karena hal itu, Ahmad Nurwakhid sempat ditahan 21 hari.

"Indispliner. Dianggap anak nakal, anak bandel," lanjut perwira tinggi Polri yang kenyang bertugas di Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri ini.

Saat ditanyakan apa yang menjadi titik baliknya, Ahmad Nurwakhid menjawab ada beberapa yang bisa jadi faktor. Pertama adalah hidayah Allah SWT, bertemu guru atau mursyid yang benar dan moderat tidak hanya mengajarkan syiah fiqih tetapi juga rohani spiritual sehingga tercabut akar ideologi takfiri dan tergantikan paham moderat.

Mantan Kadensus Polda DIY ini juga memaparkan beberapa indikator seseorang sudah terpapar paham radikal teror. Mulai dari anti Pancasila pro khilafah, anti NKRI dan ingin memisahkan diri atau ingin mengganti ideologi dan sistem negara, takfiri mulai dari eksklusif, intoleran cenderung menghalalkan segala cara atas nama agama, membenci pemerintahan dengan dekstruktif menyebar hoaks, fitnah dan adu domba yang ujungnya ingin membuat konflik untuk merebut kekuasaan yang sah.

Pada bagian lain, dia menyebut saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan Densus 88 untuk berbagai tindakan. Salah satunya disebut preventif strike artinya penangkapan untuk pencegahan tindakan yang lebih besar.

"Undang-undang kita memungkinkan untuk itu (UU5/2018) ada berbagai parameternya seperti pertimbangan analisa intelijen akan melakukan aksi teror," lanjutnya.

Sejak UU5/2018 itu diterapkan dia mengatakan bersama dengan Densus 88, sudah ada 1.200 orang yang ditangkap.

"Saat ini ada sekitar 12.000 orang yang high level baik dari kelompok JI, JAD, MIT termasuk keluarganya," tutup pria berusia 53 tahun kelahiran Sleman DIY itu.

 

FOTO: Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ahmad Nurwakhid

Komentar

Tulis Komentar