Klinik Pancasila, Efektifkah?

News

by Akhmad Kusairi

Baru-baru ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menginisiasi Program Klinik Pancasila. Program yang yang menjadi bagian dari upaya deradikalisasi terhadap narapidana terorisme (napiter) itu mengedepankan pembinaan wawasan kebangsaan terhadap nilai-nilai Pancasila.

Cara kerja Klinik Pancasila dimulai dari memberikan pemahaman dan pembelajaran terkait nilai-nilai Pancasila kepada napiter. Kemudian, napiter yang akhirnya menerima, mengerti dan mau mengamalkan nilai-nilai Pancasila akan ditunjuk menjadi "Dokter Pancasila" di Klinik Pancasila. Selanjutnya mereka akan mengajarkan dan memberi pengertian terkait Pancasila ke napiter lain. Inilah yang disebut dengan deradikalisasi proxy.

Sebagai langkah awal BNPT memilih lima orang napiter yang menjadi "Dokter Pancasila". Mereka adalah napiter yang yang sudah ikrar kembali ke NKRI. Seperti layaknya seorang dokter, Kelima Dokter Pancasila tersebut juga diberikan jas. Mereka kemudian nanti akan menjelaskan jenis-jenis penyakit dan solusinya dalam berbangsa.

"Saya sudah mengerti pentingnya kita menjaga Pancasila. Pancasila harus kita terima, jangan ditolak. Saya ingin ngajarin Pancasila ke teman-teman saya sesama narapidana. Saya bangga menjadi Dokter Pancasila," kata napiter yang enggan disebut namanya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas 1 Cipinang, Jakarta pada Rabu (2/6/2021).

Meskipun demikian, mantan napiter dari jaringan Bahrun Naim, Munir Kartono, masih ragu dengan efektifitas klinik ini. Menurutnya, secara kapasitas dia tidak bisa memastikan apakah para dokter itu mendapatkan pembinaan Pancasila yang intensif seperti dirinya di Pusat Deradikalisasi BNPT. Selain itu, dengan menyebut sebagai dokter, maka geraknya akan cenderung pasif. Padahal untuk mengubah napiter itu harus aktif dan didekati.

"Kalo pake definisi dokter kan mereka menerima pasien. Nah kalo dokter Pancasila itu Pasiennya kan Napiter. Kalo pakek istilah dokter yang pasif, ya gak akan efektif. Karena Napiter itu harus didekati, harus efektif," kata Munir saat dihubungi Ruangobrol.

Sementara itu, Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris menjelaskan bahwa program ini merupakan inovasi yang dilakukan oleh BNPT.  “Warga binaan yang sakit-sakit sila Pancasila-nya akan dinasehati oleh mereka. Ini namanya deradikalisasi menggunakan proxy," katanya.

Menurut Irfan, napiter yang menjadi Dokter Pancasila secara tidak langsung diuji kemampuannya dan keseriusannya dalam menerima, mengerti dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Ikrar kepada NKRI bukan hanya tanda tangan saja tapi para dokter ini harus bisa menjelaskan, melaksanakan nilai-nilai Pancasila. "Ketika mereka jadi Dokter Pancasila secara otomatis kita bisa lihat seberapa jauh bagaimana mereka memahami Pancasila itu sendiri," ujarnya.

Program klinik Pancasila ini salah satunya dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Kelas 1 Sukamiskin, Kota Bandung pada Rabu (16/6). Kepala Sub Direktorat Teknologi Informasi Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Kombes Pol Astuti Idris, menjelaskan bahwa hadirnya Klinik Pancasila di lapas merupakan bagian dari pencegahan radikalisme dan deradikalisasi. Dia berharap program Klinik Pancasila dapat melahirkan duta-duta Pancasila yang menyebarkan semangat persatuan dan toleransi kepada warga binaan lapas yang lainnya.

Pada pelaksanaannya di Lapas Sukamiskin, para warga binaan diajak melakukan simulasi layaknya dokter dan pasien yang sedang berdialog. Kemudian mereka akan bergiliran bertukar peran menjadi dokter dan pasien dengan durasi kurang lebih 15 menit. Tiap Dokter dibagi menjadi lima orang yang mewakili lima sila dalam Pancasila.

Program Klinik Pancasila ini disambut baik oleh Kepala Lapas Sukamiskin, Elly Yuzar. Menurutnya warga binaan mempunyai hak dan kewajiban untuk diberi pemahaman sekaligus mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Selain itu Elly memuji cara pencegahan radikalisme dan deradikalisasi BNPT yang hadir dalam konsep Klinik Pancasila.

 

 

Komentar

Tulis Komentar