Tiga Alasan Bahaya Terorisme Dibanding Pidana Lain

News

by Akhmad Kusairi

Head of Advisor International Assciation for Counter Terrorism and Security Professionals (IACSP), Haryoko Wirjosoestomo, menjelaskan bahwa terorisme masih sangat berbahaya di tahun 2021. Lebih lanjut sosok yang akrab disapa Mas Koko ini menyebutkan tentang alasan kelompok teroris dianggap lebih berbahaya dibanding dengan kasus pidana lainnya.

Pertama karena kelompok teroris itu mempunyai daya resiliensinya yang sangat tinggi. Misalnya, mereka bisa bertahan dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak ramah. Selain itu, mereka bisa membangun organisasi yang bersifat clandestine atau rahasia. Setiap pergarakan atau aktivitas mereka tidak muncul di publik.

Kedua, orang-orang yang berkutat dalam jaringan terorisme, mereka mempunyai visi jangka panjang. Yaitu, mereka ingin mendirikan negara sendiri dengan tata nilai atau ideologi agama tertentu yang mereka yakini. “Visi jangka panjang ini hanya dapat dilaksanakan bilamana mereka konsisten menyiapkan generasi penerus,” kata Haryoko dalam diskusi Terorisme dalam Spektrum Keamanan Nasional Indonesia 2021 yang diadakan oleh Kagama Tangerang Selatan dan IACSP pada Rabu (20/1/2021)

Ketika, terorisme berbahaya karena kelompok itu dinamis dan mudah berubah bentuk. Bahkan mereka bisa menghadapi tekanan keras dari aparat keamanan, khususnya unit-unit kontra teror. Mereka secara cepat mampu mengubah diri, strategi, dan taktik agar sulit diidentifikasi. “Cara terakhir yang ditempuh adalah membangun wajah ganda, legal di permukaan namun tetap membangun dan memperkuat organisasi klandestin berikut sayap militer. Misalnya dulu sumber dana hanya berasal dari infak atau mereka harus melakukan perbuatann criminal dulu, misalnya. Sekarang mereka galang dana melalui yayasan Amal yang terdaftar resmi di Pemerintah,” kata Haryoko

Lebih lanjut, Haryoko menjelaskan bahwa terkait Pandemi COVID-19, kelompok radikal memiliki tiga macam respon. Pertama meyakini bahwa COVID-19 adalah ujian. Sehingga mereka berusaha agar tidak terkena Virus yang sudah mematikan jutaan orang di seluruh belahan dunia itu.  Kedua adalah menganggap bahwa COVID-19 merupakan azab. Sedangkan ketiga adalah menggunakan pandemi sebagai waktu yang tepat untuk melakukan aksi amaliyah (melakukan serangan).

“Mereka pikir inilah saat yang tepat untuk amaliyah. Karena mereka pikir para aparat kemananan sedang sibuk mengatasi Pandemi,” kata Haryoko

Sedangkan Direkutr SeRve Siti Darajatul Aliah dalam kesempatan tersebut lebih banyak berbicara soal evolusi perempuan ektremis Jamaah Islamiyah (JI) dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Menurut sosok yang akrab disapa Dete tersebut perempuan di masa JI cenderung ditolak untuk terlibat aktif dalam kegiatan teror. Sedangkan pada kelompok ISIS, perempuan justru ada yang menjadi pelaku utama. “Evolusi perempuan ekstremis Indonesia dari JI ke ISIS. Dulu Noodin M Top menolak Perempuan menjadi pelaku teror. Namun sekarang di jaman ISIS, perempuan malah jadi pelaku,” imbuh Dete

Lebih lanjut, ada banyak cara perekrutan perempuan dalam kelompok ekstremis. Yaitu melalui pernikahan, pertemanan dan keluarga. Bahayanya menurut Dete, perempuan lebih mudah dipengaruhi dan dicuci otaknya. Di sisi lain, perempuan juga sulit diajak keluar dari kelompok ektremis. “Perempuan mudah dipengaruhi tapi sulit diubah atau diradikalisasi. Semoga ada langkah konkrit yang bisa kita lakukan. Perempuan-perempuan ini, bukan hanya menjadi pelaku tapi juga korban. Kalau dia masuk, anak-anaknya akan jadi korban. Di Madiun, ada seorang ibu meninggalkan anak dan suami karena memenuhi panggilan jihad ke Suriah,” tutur Dete

Dete menambahkan, jika ingin melakukan kontra narasi terhadap kelompok ektremis perlu menggunakan narasi yang sesuai dengan cara pandang mereka. Karena kesesuaian itu akan mengurangi resistensi mereka. “Saya coba counter narasi sesuai yang mereka pikirkan. Karena mereka berpandangan semakin tinggi apa yang mereka alami maka semakin tinggi pahalanya nanti,” pungkas Dete

Sedangkan Hasan Aoni mengusulkan pendekatan kebudayaan dalam melakukan konter narasi terhadap ideologi ektremis. Apalagi, menurut Hasan, Indonesia sangat kaya dengan kebudayaan. Misalnya dengan wayang atau dongeng. “Pendekatan kebudayaan perlu dilakukan. Misalnya dengan dongeng,” kata Hasan

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar