Perjodohan Tidaklah Salah, Hanya Saja ...

Analisa

by Rizka Nurul

Lika-liku mencari pasangan hidup memang memiliki banyak jalan. Salah satu jalannya adalah melalui perjodohan. Perjodohan bisa dilakukan oleh orang tua, kerabat, atau bahkan teman dekat. Orang tua seringkali menjadi pelantara paling sering dan bakti kepada orang tua juga sering jadi latar belakang menerima perjodohan tersebut. Mereka percaya bahwa cinta akan hadir karena terbiasa.

Mereka yang memilih perjodohan juga merasa bahwa ada kecocokan dalam proses perkenalan. Misalnya yang dialami oleh Hadi (bukan nama sebenarnya) yang merasa bahwa calon pasangannya akan jadi ibu yang baik dan berpendidikan. Alasan lainnya karena itu merupakan permintaan dari ibunya. Proses jatuh cinta justru ia rasakan perlahan dan semakin berkembang pasca kelahiran anak pertama. Ia merasa semua kehidupannya berubah. Sang istri pun sangat suportif akan karier dan cita-citanya.

Bagi sebaian orang, perjodohan dianggap kuno. Apalagi dongeng Siti Nurbaya selalu menjadi momok menakutkan yang menggambarkan perjodohan. Banyak yang beralasan akan hak untuk memilih jalan hidup sendiri sehingga jodoh harus memilih sendiri. Selain itu, khawatir pasangan tidak bisa menerima kekurangan kita atau bahkan ia memiliki perangai buruk juga jadi alasan lainnya.

Tak jarang yang berhasil dengan perjodohan, tetapi ada juga yang gagal. Lala (bukan nama sebenarnya), seorang ibu satu orang anak bercerita tentang kegagalan pasca ia dijodohkan oleh orang tuanya. Sang mantan suami merupakan anak dari teman dekat orang tuanya dan sangat agamis. Awalnya ia cukup baik hingga anaknya belum genap berumur 1 tahun, sang suami mulai kasar dan sering pulang malam. Belakangan diketahui bahwa ia telah menjalin hubungan dengan perempuan lain satu tahun terakhir.

Belakangan tren ini kembali hits di kalangan anak muda Indonesia. Hal ini diiringi dengan dua hal, tren menikah muda dan trend kaum hijrah. Jika sebelumnya seringnya orang terdekat jadi perantara, kali ini ada istilah mediator atau bahas islaminya: murabbi. Bahkan sebuah seminar diadakan besar-besaran dalam proses jodoh-jodohan ini. Lagi-lagi banyak kisah sukses dan tidak dalam proses ini.

Menikah dengan pilihan orang lain mungkin juga pilihan. Baik pilihan sendiri atau dijodohkan, keberhasilan pernikahan dilandasi oleh penerimaan dan bagaimana kedua belah pihak menjaga komitmen. Lalu adakah perjodohan yang salah? Tentu tidak untuk pernikahannya, tapi mediator juga memiliki peran penting dan sangat berkaitan dengan masa depan pasangan yang akan menikah ini.

Tentu tak jarang kita mendengar pernikahan atas dasar politik atau ekonomi. Sang anak dijodohkan dengan rekanan orang tua karena kepentingan posisi politik atau bahkan ekonomi orang tua. Sering juga dijodohkan karena berkaitan menjaga keturunan dari ras yang sama. Ini sering banget ada di Drama Korea atau kisah Zaenab dan Hendri di film Si Doel.

Dalam beberapa kasus di kelompok ekstrimis, orang tua yang bergabung dalam sebuah kelompok akan memilihkan suami untuk putrinya yang berasal dari kelompoknya juga. Cerita lain juga terjadi ketika pemuda yang dianggap potensial akan ditarik oleh sesepuh kelompok untuk kemudian ia menawarkan putrinya. Pemuda tersebut kemudian dilatih perlahan agar semakin terlibat dalam kelompok tersebut.

Ini dialami oleh HF (inisial seorang narapidana teroris) yang menikah dengan NK. NK merupakan anak dari tetua di Jamaah Islamiyah yang kemudian belakangan menjadi anggota Jamaah Anshorut Tauhid. HF yang bersemangat jihad diajak ke dalam berbagai jaringan oleh sang bapak mertua. Kemudian, HF berkenalan dengan jaringan yang berafiliasi ke ISIS dan terkoneksi dengan Bahrun Naim. Perlahan HF menjadi sosok penting diberbagai aksi bom di Indonesia sebagai pemberi dana, pemasok senjata termasuk menggalang dana. Meski sudah ditangkap dan menjadi narapidana, HF tak kehilangan dukungan bahkan dianggap tokoh oleh pendukung ISIS.

Komentar

Tulis Komentar