Lampung, Tempat Luka Menyembuh dan Harapan Bertunas

Tokoh

by Arif Budi Setyawan Editor by Redaksi

Di balik gemuruh tepuk tangan dan tatapan haru dalam rangkaian acara “Diskusi Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah dan pemutaran film Road to Resilience” yang digelar di Bandar Lampung pada akhir April lalu, ada kisah panjang yang berakar dari satu tekad: menjadi jembatan bagi kerja-kerja perdamaian. Bukan sekadar acara, bukan pula panggung seremonial, tapi penanda dari perjalanan panjang tentang kepercayaan, kerjasama, pengorbanan, dan persaudaraan.

Kisah itu bermula bukan dari sebuah lembaga atau rencana besar, melainkan dari penjara—tempat di mana mimpi saya sebagai manusia justru menemukan bentuk yang lebih tajam dan jernih. Dari balik jeruji besi itulah saya pernah berjanji pada diri sendiri: jika kelak bebas, saya ingin menjadi penghubung. Antara mereka yang pernah terjerumus dan mereka yang menanti untuk diberi kesempatan kedua. Antara negara dan warga yang sempat merasa tercerai.

Maka ketika saya bisa keluar masuk kantor pemerintahan di Provinsi Lampung, menyuarakan gagasan dan dilibatkan dalam diskusi kebijakan, saya tahu: ini bukan semata pencapaian pribadi. Ini adalah bukti bahwa kepercayaan bisa dibangun kembali—meski dari reruntuhan masa lalu. Saya, mantan narapidana teroris, diterima dan bahkan didukung. Tidak hanya didengar, tapi diikutsertakan.

Saat banyak kawan sesama mantan napiter masih berjibaku menembus dinding tebal stigma dan ketidakpercayaan, pengalaman ini terasa bagai cahaya yang nyala. Sebuah harapan bahwa jalan keluar memang ada, jika ditekuni dengan ketulusan dan integritas.



Titik Awal: Dari Sebuah Video YouTube

Perkenalan saya dengan Lampung sebagai ladang kerja-kerja reintegrasi dimulai dari sebuah video. Di kanal YouTube Cek Ombak, saya melihat liputan kegiatan pelepasan baiat 120 anggota Jamaah Islamiyah (JI) di Lampung, yang digelar pada 25 Februari 2022. Mereka berdiri dalam barisan mengenakan baju putih berlogo merah putih dan burung Garuda. Pemandangan yang bagi saya, dan mungkin bagi banyak orang, sangat tidak biasa.

Mereka mengucap ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka menolak radikalisme dan terorisme. Padahal, JI bukan kelompok sembarangan. Ditetapkan sebagai organisasi terlarang sejak 2008, JI punya struktur rapi, sistematis, dan jaringan luas yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Ini bukan kelompok sporadis seperti Jamaah Anshar Daulah. JI punya arah perjuangan yang terencana, dan karena itu pula perubahan di tubuh mereka patut dicermati.

Video itu bukan sekadar informasi. Ia mengetuk nurani dan rasa penasaran saya sebagai peneliti sosial. Apa yang membuat 120 orang ini rela melepaskan identitas lamanya? Bagaimana prosesnya? Siapa yang terlibat? Apa respons masyarakat dan pemerintah daerah?



Riset Pendahuluan: Menyusuri Jejak Perubahan

Pada akhir April 2022, saya mengajukan proposal riset pendahuluan kepada Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP)—organisasi masyarakat sipil yang saya percaya memiliki visi dan pengalaman dalam kerja-kerja reintegrasi. Proposal itu saya tujukan untuk menelusuri lebih dalam dinamika pelepasan baiat anggota JI di Lampung. Saya ingin tahu: apakah ini murni perubahan dari dalam? Ataukah ada tekanan dari luar?

KPP menyambut baik proposal itu. Mereka memahami urgensinya, terlebih karena Lampung belum memiliki ekosistem penanganan eks ekstremis yang memadai. Yang lebih membuat mereka bersemangat: riset ini akan dijalankan oleh saya, yang juga merupakan mantan anggota JI. Bagi KPP, ini bukan sekadar simbolik. Ini adalah pendekatan “dari dalam”, pendekatan yang lebih empatik dan partisipatif.

Informasi awal yang kami dapat menunjukkan bahwa pelepasan baiat bukan semata karena tekanan aparat. Ini bermula dari kegelisahan internal: para anggota JI mulai mempertanyakan arah dan manfaat dari komitmen lama mereka. Apalagi setelah gelombang penangkapan besar-besaran terhadap pimpinan mereka oleh Densus 88. Banyak yang merasa mereka hanya mengikuti arahan, tanpa benar-benar memahami konsekuensinya.

Dalam satu wawancara, Ustaz Sofyan Tsauri—juga mantan napiter dan salah satu tokoh yang hadir dalam acara pelepasan baiat—menceritakan bahwa perubahan itu murni lahir dari bawah. Beberapa anggota JI menyerahkan diri lebih dulu, lalu mengajak yang lain untuk mengikuti. Dari bawah ke atas. Dari kesadaran ke ikrar.



Dari Lampung ke Nasional: Harapan yang Menular

Kini, apa yang saya dan teman-teman lakukan di Lampung bukan sekadar riset. Kami merangkai kepercayaan, menjahit kembali relasi antara negara dan warganya yang pernah berseberangan. Melalui diskusi buku, pemutaran film, dialog dengan pemerintah, dan pelibatan aktif para mantan ekstremis, kami membuktikan satu hal: rekonsiliasi itu mungkin. Bahkan indah.

Lampung telah menjadi saksi dari bagaimana upaya kecil yang konsisten bisa membuahkan hasil besar. Sebuah daerah yang dulu hanya jadi catatan pinggiran kini berubah menjadi laboratorium perdamaian.

Dan bagi saya pribadi, Lampung bukan sekadar lokasi kerja. Ia telah menjadi bagian dari perjalanan batin dan transformasi hidup. Di sana, saya belajar bahwa luka masa lalu bisa berubah menjadi jembatan penghubung—asal ada kemauan untuk menyembuhkan dan membangun ulang.

Cerita ini belum selesai. Masih banyak nama yang belum disebut. Masih banyak peristiwa yang ingin saya kenang dan bagikan. Tapi satu hal yang pasti: di Lampung, saya menemukan arti baru dari menjadi manusia bebas.




Foto: Dokumentasi Densus 88 Satgaswil Lampung (Februari 2022)

Komentar

Tulis Komentar