Persoalan radikalisme dan terorisme bukanlah tanggung jawab individu atau kelompok tertentu saja. Tetapi merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat dan bangsa demi membangun negara yang aman sentosa.
Maka dilakukanlah berbagai kampanye damai. Mulai dari hastag Indonesia Damai, acara pengajian damai, bahkan situs media pun harus bertajuk damai.
Meskipun dimana-mana ramai jualan isu damai, tapi nyatanya kasus terorisme masih saja nggak damai-damai.
Lalu, faktor apa yang menjadikan fenomena terorisme semacam ini terus berulang setiap kali pergantian tahun. Bahkan dari tahun ke tahun angkanya makin tinggi?
Paling tidak, ada kecenderungan yang menjadi latar belakang sehingga melahirkan aksi terorisme tersebut seolah seperti siklus tahunan.
Salah satunya, yaitu pentingnya memahami genealogi pemikiran yang dianut oleh kalangan jihadis ini (Red: Jihadis, kata yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang pernah terlibat dalam konflik sektarian atau agama).
Hal ini merupakan sebuah transformasi pemikiran dimana ini lebih banyak diadopsi dari ulama-ulama yang pernah terjun di medan perang. Ulama seperti ini disebut sebagai ulama ahlu tsughur.
Ahlu tsughur adalah sebutan yang disematkan kepada para tokoh agamawan atau ulama Islam yang pernah berkecimpung dalam kancah pertempuran atau holly war.
Ketika ulama ahlu tsughur ini menjadi sebuah referensi dalam menjalankan aksi, maka fatwa MUI tidak akan memberikan pengaruh sama sekali. Sebab persepsi makna perang dari dua elemen ini saling bertolak belakang.
Jadi kalau misalkan KH. Ma’ruf Amin, selaku ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa haram tentang jihad, yang terjadi justru hal ini akan menjadi lelucon saja.
Lah wong, ikut politik saja sudah diharamkan sama mereka. Bagaimana dengan Pak Yai Ma’rup yang malah maju mencalonkan diri jadi capres? Ya tambah haram jaddah. Ditolak mentah-mentah.
Tentu berbeda halnya jika yang mengatakan ini misalnya Syaikh Mahcmudi Hariono, tokoh ulama yang banyak menghabiskan hidupnya di medan juang membela agama. Maka ludahnya saja ibarat jilatan api. Manjur dan pasti ditaati.
Karenanya, fatwa para ulama ahlu tsughur menjadi peran penting akan keberlangsungan jihad dimana pun dan kapan pun saja.
Masih ingat serangan bom di Bali pada Oktober 2002 lalu? Hal ini terjadi menyusul adanya fatwa dari Osama Bin Laden yang menyerukan untuk melakukan serangan dengan manargetkan orang-orang Barat dimana pun mereka berada. Dipilih Bali, ya karena disanalah para bule ini berpesta pora.
Atau barangkali fenomena ISIS. Ratusan WNI berebut mencari pengakuan sebagai warga Daulah Islamiyah di Suriah dan meninggalkan tanah moyangnya di Indonesia. Ini terjadi menyusul adanya fatwa dari Abu Bakar Al-Baghdady, selaku pimpinan tertinggi ISIS untuk hijrah ke Suriah dan bergabung bersama mereka.
Ramai-ramailah orang Indonesia boyongan pindah warga negara.
Jauh hari, master psikologi, Carl Rogers pernah dawuh tentang pentingnya konsep Fully Function Personality, yaitu individu yang bisa berfungsi secara utuh. Konsepnya, ya kalau jadi Muslim, jadilah Muslim betulan bukan kaleng-kaleng.
Jika dengan melakukan aksi teror tersebut bisa membawa si individu pada puncak kenikmatan spiritual atau merasa dekat dengan Tuhan, maka mereka akan tetap memilih cara seperti ini meski beresiko kehilangan nyawa.
Maka lahirlah slogan, “Jika hidup itu hanya sekali, maka matilah sebagai syuhada.”
Jadi, jangan pernah bilang orang-orang seperti ini konyol dan bodoh karena melawan polisi cuma modal belati. Lah, tujuannya kan mereka memang mencari mati. Kalau pun ketangkap, berarti mereka kurang beruntung dan barangkali nanti bisa dicoba lagi.