Ulama Ahlu Tsughur vs Fatwa MUI

Other

by Kharis Hadirin

Persoalan radikalisme dan terorisme bukanlah tanggung jawab individuatau kelompok tertentu saja. Tetapi merupakan tanggung jawab seluruh lapisanmasyarakat dan bangsa demi membangun negara yang aman sentosa.


Maka dilakukanlah berbagai kampanye damai. Mulai dari hastag Indonesia Damai, acara pengajiandamai, bahkan situs media pun harus bertajuk damai.


Meskipun dimana-mana ramai jualan isu damai, tapi nyatanyakasus terorisme masih saja nggak damai-damai.


Lalu, faktor apa yang menjadikan fenomena terorisme semacam ini terus berulang setiap kali pergantian tahun. Bahkan dari tahun ke tahun angkanya makin tinggi?


Paling tidak, ada kecenderungan yang menjadi latar belakangsehingga melahirkan aksi terorisme tersebut seolah seperti siklus tahunan.


Salah satunya, yaitu pentingnya memahami genealogi pemikiran yang dianut oleh kalangan jihadis ini (Red: Jihadis, kata yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang pernah terlibat dalam konflik sektarian atau agama).


Hal ini merupakan sebuah transformasi pemikiran dimana inilebih banyak diadopsi dari ulama-ulama yang pernah terjun di medan perang. Ulamaseperti ini disebut sebagai ulama ahlutsughur.


Ahlu tsughuradalah sebutan yang disematkan kepada para tokoh agamawan atau ulama Islam yangpernah berkecimpung dalam kancah pertempuran atau holly war.


Ketika ulama ahlutsughur ini menjadi sebuah referensi dalam menjalankan aksi, maka fatwa MUItidak akan memberikan pengaruh sama sekali. Sebab persepsi makna perang daridua elemen ini saling bertolak belakang.


Jadi kalau misalkan KH. Ma’ruf Amin, selaku ketua umum MUI (MajelisUlama Indonesia) mengeluarkan fatwa haram tentang jihad, yang terjadi justruhal ini akan menjadi lelucon saja.


Lah wong,ikut politik saja sudah diharamkan sama mereka. Bagaimana dengan Pak Yai Ma’rupyang malah maju mencalonkan diri jadi capres? Ya tambah haram jaddah. Ditolak mentah-mentah.


Tentu berbeda halnya jika yang mengatakan ini misalnyaSyaikh Mahcmudi Hariono, tokoh ulama yang banyak menghabiskan hidupnya di medanjuang membela agama. Maka ludahnya saja ibarat jilatan api. Manjur dan pastiditaati.


Karenanya, fatwa para ulama ahlu tsughur menjadi peran penting akan keberlangsungan jihaddimana pun dan kapan pun saja.


Masih ingat serangan bom di Bali pada Oktober 2002 lalu? Halini terjadi menyusul adanya fatwa dari Osama Bin Laden yang menyerukan untuk melakukanserangan dengan manargetkan orang-orang Barat dimana pun mereka berada. DipilihBali, ya karena disanalah para bule ini berpesta pora.


Atau barangkali fenomena ISIS. Ratusan WNI berebut mencaripengakuan sebagai warga Daulah Islamiyahdi Suriah dan meninggalkan tanah moyangnya di Indonesia. Ini terjadi menyusuladanya fatwa dari Abu Bakar Al-Baghdady, selaku pimpinan tertinggi ISIS untukhijrah ke Suriah dan bergabung bersama mereka.


Ramai-ramailah orang Indonesia boyongan pindah warga negara.


Jauh hari, master psikologi, Carl Rogers pernah dawuh tentang pentingnya konsep Fully Function Personality, yaituindividu yang bisa berfungsi secara utuh. Konsepnya, ya kalau jadi Muslim,jadilah Muslim betulan bukan kaleng-kaleng.


Jika dengan melakukan aksi teror tersebut bisa membawa si individu pada puncak kenikmatan spiritual atau merasa dekat dengan Tuhan, maka mereka akan tetap memilih cara seperti ini meski beresiko kehilangan nyawa.


Maka lahirlah slogan, “Jikahidup itu hanya sekali, maka matilah sebagai syuhada.


Jadi, jangan pernah bilang orang-orang seperti ini konyol dan bodoh karena melawan polisi cuma modal belati. Lah, tujuannya kan mereka memang mencari mati. Kalau pun ketangkap, berarti mereka kurang beruntung dan barangkali nanti bisa dicoba lagi.



Link foto: http://religiopoliticaltalk.com/2013/12/page/7/

Komentar

Tulis Komentar