Segelas kopi yang menemani sejak sore tadi telah lama habis. Tapi diri ini masih belum menemukan ide menulis di sela-sela pekerjaan desk research yang menumpuk setelah petualangan di Lampung berakhir. Bagaimanapun, saya masih harus menulis untuk Ruangobrol.id, meski terkadang harus jeda lama karena pekerjaan di lapangan.
Karena hampir sebulan berkutat dengan pekerjaan yang menyita waktu, tenaga, dan pikiran, saya jadi agak malas menulis yang berat-berat seperti analisis atau opini. Maka saya mencoba menghibur diri sekaligus mencari ide dengan melihat-lihat album foto digital hasil dokumentasi pribadi selama bekerja di lapangan. Cara ini biasanya cukup ampuh melahirkan ide penulisan tentang pelajaran atau inspirasi dari sebuah peristiwa.
Benar saja, tadi malam saya mendapatkan inspirasi dari sebuah foto lama. Foto seorang perempuan berjilbab yang sedang menerima microphone clip on dari Mas mato ketika proses pengambilan gambar di Lapas Salemba Jakarta Pusat. Foto itu saya ambil pada 28 Januari 2019. Dan foto itu sekarang menjadi istimewa, karena saat itulah pertama kalinya saya bertemu dan langsung bekerja bareng dengan sosok perempuan dalam foto itu.

Awal Pertemuan
Pagi itu saya dan almarhum Mas Hakiim menunggu kedatangan Mas Mato di masjid depan Lapas Salemba. Saat itu Mas Hakiim menyampaikan, bahwa nanti ada satu orang lagi yang akan ikut membantu pengambilan gambar.
“Namanya mbak Ani. Orang Jawa Timur juga cak, dari Jombang. Dia ini kemarin pas kita pemutaran film Pengantin di Festival Film Madani tertarik dengan kerja-kerja kita. Pengin gabung. Nah, ini adalah kerja pertamanya dengan kita”, begitu Mas Hakiim memperkenalkan secara singkat.
Tak lama kemudian Mas Mato datang dan kami pun kemudian sarapan di kantin depan Lapas. Tepat setelah kami selesai sarapan, datanglah seorang perempuan berjilbab berwarna terang yang sewarna dengan baju atasan yang dipakai, dipadukan dengan bawahan berwarna gelap, ditambah tas selempang di pinggang berwarna biru muda. Dalam hati saya bergumam, “pilihan warnanya kok sama dengan saya yang senang memilih warna yang kontras antara atasan dan bawahan”.
Dari ekspresi wajahnya, Mbak Ani terlihat energik namun agak canggung. Maklum itu pekerjaan pertamanya bersama kami, dan satu-satunya perempuan di antara kami. Ditambah lagi, saat itu kami mau ambil gambar di dalam penjara. Mungkin itu pertama kalinya dirinya masuk ke dalam penjara.
Setelah briefing sebentar kami menunggu sampai kami dipersilahkan masuk ke dalam Lapas. Tidak banyak yang kami obrolkan karena lebih sibuk mempersiapkan peralatan yang akan digunakan. Selepas pengambilan gambar di Lapas Salemba selama 2 hari berturut-turut itu, saya pun kembali pulang ke rumah dan melanjutkan pekerjaan menulis untuk Ruangobrol.id. Selama proses pengambilan gambar kami belum terlibat obrolan yang lama selain diskusi soal adegan dan spot-spot yang diambil gambarnya.
Mantan Pekerja Migran? Sebuah Transformasi Yang inspiratif
Pada bulan Maret 2019, saya diundang Mas Noor Huda Ismail untuk hadir di acara Post Course Australian Award 2019 di Surabaya. Sambil jogging di pagi hari, Mas Huda bercerita lebih lanjut tentang sosok Mbak Ani. Ternyata Mbak Ani adalah mantan pekerja migran yang pernah memenangkan Piala Citra untuk salah satu film dokumenter yang disutradarainya. Saat itu saya juga menerima buku dari beliau berjudul “Once Upon A Time In Hongkong” tulisan Mbak Ani. Dari buku itulah saya baru tahu nama lengkapnya, Ani Ema Susanti.
Sebagai penggemar life history sejak dari penjara, kisah transformasi Mbak Ani sangat inspiratif. Dari buku itu pula saya tercerahkan, bahwa kisah proses transformasi sesorang dari negatif ke positif itu bisa bermanfaat bagi orang lain. Di kemudian hari hal ini kami sebut sebagai positive narrative yang menjadi ciri khas gerakan kami melalui Ruangobrol.
Dari tahun 2019 hingga akhir 2021 saya belum banyak bekerjasama dengan Mbak Ani selain diskusi konten media sosial Ruangobrol yang dibuat berdasarkan artikel yang saya tulis. Baru di awal tahun 2022 kami banyak bekerja bersama di lapangan. Ada 2 proyek film dokumenter yang saya banyak terlibat dalam proses pembuatannya karena melibatkan beberapa credible voices. Di mana laporan hasil riset saya tentang para credible voices yang akan jadi karakter film, menjadi dasar utama penyusunan alur cerita.
Tidak hanya itu, saya juga dilibatkan dalam proses produksi di lapangan. Meskipun hanya bantu-bantu angkat peralatan dan memastikan tidak ada salah paham dalam komunikasi dengan credible voices selama proses produksi, tapi saya benar-benar belajar banyak tentang produksi film dokumenter. Mulai dari diskusi alur cerita, menyusun materi wawancara untuk pengambilan voice over, hingga tantangan dalam proses taping di lapangan.
Selain semakin akrab dan lebih mengenal sosok Mbak Ani, dari proses produksi film yang saya ikuti itu ada satu pelajaran terpenting yang saya dapatkan. Bahwa sebuah film yang bagus berawal dari riset yang mumpuni dan penulisan skenario yang bagus.
Dan ketika film itu jadi, saya baru menyadari, ternyata hasil riset itu bisa divisualisasikan. Padahal isu risetnya berkaitan dengan persoalan radikalisme-terorisme. Kuncinya ada pada proses transfer knowledge antara peneliti dengan produser dan sutradara film. Sampai hari ini proses transfer knowledge di antara kami masih terus berlangsung.
Sosok Ibu Yang Luar Biasa
Dalam dunia kerja tim, penting bagi saya untuk mengetahui sedetail mungkin kondisi teman-teman di tim. Mengetahui riwayat sakit, kondisi keluarganya, cita-cita, prinsip hidupnya, dst, itu semua penting agar ketika dalam bekerja kami bisa saling mendukung dan saling memperkuat. Agar tidak ada yang ingin menang sendiri. Agar bisa saling memahami batasan beban kerja yang bisa dilakukan oleh masing-masing. Karena semua bekerja demi keluarga dan cita-citanya.
Salah satu caranya adalah silaturahmi berkunjung ke rumah mereka. Berkenalan dengan keluarganya dan menyerap informasi sebanyak-banyaknya tentang seberapa besar peran mereka di keluarganya. Di antara teman-teman di Ruangobrol, 80 % sudah saya kunjungi rumahnya. Termasuk ke rumah Mbak Ani di akhir 2023.
Dari kunjungan singkat itu saya jadi tahu, bahwa salah satu beban terberat Mbak Ani ketika bekerja di lapangan adalah kerinduan dengan anak-anaknya. Rasa bersalahnya tidak bisa mendampingi anak-anaknya seringkali lebih dominan membuat stress daripada beban pekerjaan. Sejak saat itu saya selalu berusaha sesegera mungkin memenuhi permintaan mbak Ani dalam hal pekerjaan tim. Karena dengan begitu, saya ingin membantunya untuk memiliki lebih banyak waktu untuk keluarganya, terutama untuk anak-anaknya.
Demikian pula sebaliknya, Mbak Ani juga telah membantu saya berkembang menjadi sosok ayah yang dibanggakan oleh anak-anak saya. Melihat ayahnya menjadi karakter utama dalam 2 film dokumenter yang digarap oleh Mbak Ani dkk menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak-anak saya.
(Bersambung)
Komentar