Kesempatan Menginjakkan Kaki di AS Lewat Program IVLP 2025

Tokoh

by Eka Setiawan Editor by Redaksi

Menjadi salah satu dari 12 dari peserta yang terpilih mengikuti International Visitors Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat, nyaris tak pernah terbayangkan dalam perjalanan hidup saya.

Sebab, melalui program itu, saya akhirnya dapat kesempatan mengunjungi Paman Sam! Gratis pula! Karena ini jalur undangan dari US. Department of State. Program IVLP sendiri, merupakan program tertua di sana. Dimulai sejak tahun 1940. Angkatan saya jadi angkatan ke-85 program itu, tema ketika itu “Advancing Security”.

Sejak kecil, nama Amerika Serikat memang kerap terngiang dalam benak. Bukan karena ada sanak famili yang bekerja di sana, apalagi kenalan di sana. Tapi, ketika sekolah dasar mulai kerap membaca buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), satu-satunya koneksi saya dengan AS hanya di tanggal 4 Juli.

Ya, saya lahir tanggal 4 Juli dan saya baca di RUPL, Kemerdekaan AS juga ada di tanggal 4 Juli, tahun 1776. Sama kan tanggalnya! Tapi (mungkin) sangat jauh berbeda.

Saya lahir dan besar di pesisir pantura Jawa Tengah, Indonesia, tepatnya di Kota Tegal. Sehari-hari, selain sekolah, saya mandi di laut, mengaji di TPQ kampung yang kini kerap banjir karena rob, mancing di sungai atau tambak dan bermain sepakbola tanpa alas kaki di lapangan bekas tambak yang diuruk. Histori saya nyaris biasa-biasa saja. Sementara, 4 Juli-nya AS, tentu punya sejarah peradaban panjang yang sampai saat ini negara itu nyaris jadi impian siapapun orang bisa menginjakkan kaki di sana.

Ketika sekolah makin naik, termasuk ke SMP, SMA, pergaulan mulai bertambah, banyak teman yang ketika tanggal 4 Juli mengucapkan selamat ulang tahun sembari menagih “makan-makan lah!”

Tapi, saya menimpali guyon. “Ultahku sudah dirayakan di AS, makan-makannya di sana” canda saya ke teman-teman. Jawaban itu sebenarnya untuk “menghindari” traktir teman. Bukan karena tidak mau apalagi pelit, karena memang saya tidak punya uang ekstra untuk traktir teman ketika itu.

Kembali ke IVLP. Akhir tahun 2024, selepas Magrib, saya mendapat telepon dari seorang staf Kedutaan AS di Jakarta, memberi kabar sekaligus selamat saya lolos seleksi IVLP dan akan berangkat ke AS mengikuti program itu.

Saya saat itu sedang berada di ruang wartawan Pemprov Jateng, menerima telepon setengah tak percaya. “Nanti akan dikabari lagi untuk teknisnya, tahun depan berangkatnya. Enjoy aja, intinya jalan-jalan aja kok di Amerika! Selamat!” kira-kira begitu kabar yang saya terima.

Ada beberapa teman wartawan di kanan kiri saya ketika itu. Saya ceritakan informasi apa yang baru saya terima, mereka ikut girang luar biasa. Mungkin ikut bangga, teman satu kerjaan yang biasa keliling di jalanan, tiba-tiba “naik kelas” bisa berangkat ke Amerika. Selepas lulus kuliah di Semarang, saya memang bekerja sebagai wartawan, yang kemudian bertranformasi jadi peneliti di bidang terorisme, termasuk menulis buku bersama tim dan mengelola media alternatif kontra-terorisme https://ruangobrol.id/ pimpinan Mas Noor Huda Ismail.

Kabar itu juga langsung saya informasikan ke Mas Huda-demikian saya memanggilnya-selain mengabarkan ke istri dan keluarga. “Wow! Melu seneng banget, very proud of you! Ini lompatan dahsyat dalam hidupmu!” respons Mas Huda ke saya.

Jelang Keberangkatan

Tahun 2025 menyapa. Saya makin debar-debar, karena dari informasi staf Kedutaan AS, program IVLP akan digelar di bulan Mei, dan awal Juni baru kembali ke Indonesia.

Komunikasi via WA maupun email jadi makin intens. Saya membaca betul informasi yang ada. Apa saja syaratnya saya coba penuhi. Lebih ke administratif, soal kelengkapan dokumen.

Bagi saya, salah satu yang cukup mendebarkan ketika mengisi syarat pengajuan VISA secara online. Saya ingat, hampir belasan jam dari dini hari sampai siang hari setelah Zuhur, akhirnya bisa mengisi lengkap dan menerima notifikasi untuk menunggu panggilan wawancara VISA di Kedutaan AS di Jakarta, lokasi yang saya pilih.

Saya mengisi kelengkapan syarat pengajuan VISA penuh “dinamika”. Salah satunya, seringkali saya terlempar keluar dari aplikasi sebelum selesai mengisi semuanya, sehingga harus login lagi mengisi dari awal. Salah satu sebabnya, saya cari tahu, ternyata koneksi internet harus stabil dan juga hanya diberikan waktu 20 menit untuk mengisi kelengkapan dokumen yang begitu banyaknya. Lebih dari tenggat waktu, akan logout otomatis dan harus mengisi lagi.

Persyaratan foto juga cukup mendebarkan. Saya sudah siapkan file foto, ternyata ketika diupload terbaca sistem tidak layak soal kualitas dan pencahayaan. Saya kemudian meminta tolong ke istri untuk memotret menggunakan kamera ponsel.

Latar belakang warna putih, saya pakai tembok tetangga depan rumah. Ternyata file hasil jepretan istri saya memakai ponsel, bisa diterima aplikasi VISA online itu. Alhamdulillah!

Beres urusan pengajuan, kira-kira kurang dari 1 bulan sebelum keberangkatan, saya diundang ke Kedutaan AS di Jakarta untuk wawancara VISA. Di sana, saya baru bertemu orang-orang lain satu rombongan saya IVLP 2025 berkenalan.

Wawancara VISA per peserta tak lama, mungkin dari awal antre sampai selesai wawancara tak sampai 1 jam. Kelar di situ, kami baru dapat informasi jika VISA ke AS disetujui! Wah senang sekali rasanya.

Kami -para peserta IVLP 2025 setelah saling berkenalan singkat- sempat mengobrol sebentar di bawah jembatan dekat kantor Kedutaan AS di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, tak jauh dari Stasiun Gambir.

Di situ baru saya jadi lebih tahu sedikit, apa latar belakang mereka. Kebanyakan aktivis kemanusiaan, seperti Bang Fadhel dari Aceh, Bang Azam dari Medan, Fitri dari Palu, Fina dari Jakarta, Kang Aceng Husni dari Jakarta, Nana dari Aceh. Ada pula yang dosen, yaitu Pak Muhandis dari UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan. Ada dari NU muda, M. Abdullah Syukri (Abe). Dari situ ada juga peserta IVLP yang ternyata posisinya di Auckland (New Zealand). Namanya Santi. Sedang berkuliah di sana. Sehingga dia tak bisa hadir di Jakarta, langsung terbang dari New Zealand ke US.

Di antara peserta, ada pula polisi, namanya Kadek Widya, jebolan Akpol 2022. Selain itu juga ada Mbak Barty (Leebarty) dari BNPT. Mbak Barty ini saya sering dengar namanya. Saat itu saya bilang ke dia “Istri saya suka baca buku tulisan Mbak”, “Oh iya, terimakasih!” timpalnya. Mbak Barty ini aktif menulis buku, khususnya tentang perempuan dan lingkaran terorisme. Tulisannya berbasis data dan enak dibaca dengan sentuhan akademik. Mbak Barty ini seorang doktor.

Sejurus kemudian, “Ka, kamu adiknya Mas Huda (Noor Huda Ismail) yo?” tanya Mbak Barty. “Wah bukan Mbak, saya kebetulan kerja bareng sama Mas Huda untuk riset,” jawabku.

Kali Pertama Menginjakkan Kaki di AS

Awal Mei 2025, setelah pertemuan di Kedutaan AS di Jakarta, kami terbang ke AS. Pertemuan di kedutaan, lebih ke “pembekalan singkat”. Diberi informasi tentang gambaran kehidupan di AS dan kultur di sana. Itu diingatkan betul berulangkali. Saya ingat ada Bu Jolita dari Kedutaan AS di pembekalan itu, sangat antusias sekali beliau.

Saya juga ingat, selain pernah berkomunikasi via WA, saya juga pernah bertemu beliau secara tak sengaja ketika tahun 2024 saya ke Omah Betakan, Sleman (DIY) yang juga jadi kantor ruangobrol.id. Ketika itu, Bu Jolita berkunjung ke sana, tampak mengobrol asyik dengan Mas Huda.

Hari Jumat 9 Mei 2025 pukul 17.30 WIB, kami terbang ke AS. Naik pesawat Qatar Airways. Sempat transit di Doha (Qatar), kami melanjutkan terbang ke AS. Tujuannya Washington DC.

Suasana Bandara Hamad, Doha, Qatar.(Dok. Pribadi Eka Setiawan)

Perjalanan terbang itu memakan waktu hampir seharian, 24 jam. Ini durasi penerbangan terlama saya. Hari Sabtu 10 Mei 2025 pagi hari, kami mendarat di Bandara Internasional Washington Dulles (kode: IAD) yang berlokasi di Virginia.

Meskipun saya terbang sampai 24 jam, namun waktu lokal di AS masih Sabtu pagi, karena ada perbedaan waktu 11 jam dengan Indonesia (WIB). Di DC, lebih lambat 11 jam.

Setelah urusan bagasi selesai, ambil koper dan melewati petugas Imigrasi AS dengan lancar, tibalah di pintu kedatangan. Teh Keke (penerjemah dan guide budaya IVLP) sudah menunggu kami. Dia pakai kaus Persib Bandung! Jadi mudah ditemui di antara banyak orang di sana.

Selamat datang di Amerika Serikat!” sapanya kepada kami.

Tiba di Bandara Washington Dulles, Virginia, Amerika Serikat, Sabtu 10 Mei 2025 pagi.(Dok. Pribadi Eka Setiawan)

Dipandu Teh Keke -yang orang asli Sunda- kami memasukkan koper ke mobil Limosin yang sudah menunggu. Apa yang kami lakukan pertama kali? Berfoto! Ya foto! Karena ini membanggakan betul. Saya juga memotret suasana luar bandara yang terlihat ada 2 bendera AS berkibar. Tentu saja saya memberi kabar ke istri dan keluarga kalau sudah mendarat dengan selamat.

Kami kemudian beranjak menuju tempat menginap yang sudah disiapkan Pemerintah AS. Hotel Homewood Suites Downton DC, 1475 Massachusetts Avenue NW, Washington DC, 20005. Kira-kira 1 jam perjalanan, tibalah kami di sana.

Satu orang diberi 1 kamar. Wah! Beruntung sekali. Hotelnya juga sangat nyaman. Setelah beristirahat, kami kemudian berjalan-jalan di sekitar hotel. Membeli makan sembari berfoto-foto.

DC suhunya tak terlalu dingin, tetapi juga tidak panas. Lalu lintas tak terlalu padat dan teratur. Trotoar jalan besar. Memudahkan kami pejalan kaki bergerak.

Menjelang kegiatan esok hari yakni city tour, ternyata rombongan kami mengalami hal yang sama. Tak bisa tidur. Oh ini yang namanya jetlag.

Kami saling kirim pesan di WA grup, tertawa, guyon, “mengeluhkan” kondisi ini. Kondisi badan yang kaget, memulai adaptasi dengan perbedaan zona waktu dari yang biasanya.

(Bersambung)

Foto Utama:

Pembekalan peserta IVLP 2025 di Kedutaan AS di Jakarta, Jumat 9 Mei 2025. (Dok. Pribadi Eka Setiawan)

Komentar

Tulis Komentar