Merekam Jejak Perjuangan Abu Bakar Baasyir (2)

Tokoh

by Kharis Hadirin

Seiring dengan perkembangan Ponpes Al Mukmin, nama Ustad Abu Bakar Baasyir juga semakin populer di kalangan aktivis gerakan. Kedekatan Ustad Abu dengan Abdullah Sungkar yang selama ini menjadi rivalnya, ikut memperteguh pengaruh dia di kancah dunia dakwah.
Sebelumnya Merekam Jejak Perjuangan Abu Bakar Baasyir (1)

Semakin populernya Ustad Abu dan Abdullah Sungkar ternyata juga semakin menguatkan prasangka dari rezim yang berkuasa kala itu. Duo tokoh ini dianggap sebagai ancaman baru yang mampu membangkitkan gerakan kaum puritan Islam melawan pemerintah. Maka, pilihan alternatif untuk membungkam gerakan ini yaitu dengan melabeli mereka sebagai pelaku makar. Sehingga menjelang tahun 1983, Pemerintah menangkap Ustad Abu bersama Abdullah Sungkar dengan tuduhan menghasut publik untuk menolak Asas Tunggal Pancasila. Keduanya juga dituduh sebagai bagian dari kelompok Hispran (Haji Ismail Pranoto), tokoh organisasi Darul Islam (DI) wilayah Jawa Tengah.

Adanya sikap represif dari pemerintah itu tentu saja menghambat laju perjalanan dakwah Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Karenannya, tepat pada 11 Februari 1985, keduanya memutuskan untuk melarikan diri ke Malaysia dengan status sebagai tahanan rumah. Hampir seluruh personal yang tergabung dalam jama’ah di bawah bimbingan Ustad Abu dan Abdullah Sungkar menerima isyarat hijau agar segera meninggalkan Indonesia menuju Malaysia.

Jadi kita menyusul (Abdullah Sungkar) ke Malaysia untuk hijrah (dari Indonesia),” terang Yusuf Anis, mantan kombatan Afghanistan asal Lamongan. Kepada Tim Ruangobrol yang mengunjungi kediamananya di Lamongan, Jawa Timur, Yusuf menjelaskan bahwa pilihan untuk pergi Malaysia karena wilayah itu dianggap aman. Selain itu, masyarakat lokal (Malaysia) juga dipandang bisa bekerjasama dan mau menerima keberadaan mereka. Situasi inilah yang kemudian membuat Malaysia menjadi “titik perjumpaan” yang menghubungkan Abdullah Sungkar dengan kelompok-kelompok jihad transnasional dan global.

Pada waktu yang berdekatan dengan perpindahan Ustad Abu dan Abdullah Sungkar ke Malaysia, Afghanistan sedang dilanda konflik. Pintu jihad kemudian terbuka. Narasi berjihad membantu Muslim di Afghanistan yang kemudian gencar disebar di berbagai kalangan. Dalam catatan Lembaga Kajian SKSG UI, ada sebanyak 192 warga Indonesia yang mengikuti pelatihan militer dan berjihad di Afghanistan selama periode 1985 – 1992. Meskipun demikian, tidak ada catatan pasti soal jumlah sesungguhnya. Banyak kalangan menduga angka sesungguhnya jauh lebih besar. Karena ada mobiliasi mahasiswa Indonesia yang saat itu sedang belajar di Timur Tengah dan ikut terlibat dalam kancah jihad Afghanistan.
Jama’ah NII Infishol

Di saat Ustad Abu dan Abdullah Sungkar berhasil membangun hubungan dengan jaringan internasional, kelompok Negara Islam Indonesia (NII) lokal justru didera perpecahan. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa infishol.

NII pecah menjadi dua kubu, yaitu Kubu Ajengan Masduki dan Kubu Abdullah Sungkar. Ajengan tetap di NII, sementara Abdullah Sungkar memutuskan untuk keluar dan membuat organisasi baru dengan nama Jama’ah Islamiyah (JI) pada Januari 1993. Perpecahan di tubuh NII ini rupanya memberikan dampak bagi banyak pihak. Termasuk mujahidin asal Indonesia yang saat itu berada di Afghanistan.

Akibatnya, para anggota di bawah kendali Abdullah Sungkar terpaksa harus membuat pilihan. Mereka akan tetap bersama Abdullah Sungkar atau lompat pakar untuk bergabung bersama Ajengan Masduki. Mereka yang tidak mau memilih, dengan terpaksa akan dipulangkan ke tanah air. Termasuk salah satunya adalah Qudamah alias Imam Samudra yang kala itu menolak untuk memilih.

Saya pilih Abdullah Sungkar. Sejak saat itu, saya masuk JI, bukan NII. Abdullah Sungkar merasa ini jalur (ke Afghanistan) yang dia buka untuk mengirimkan orang Indonesia berlatih di Afghanistan (bukan Ajengan Masduki),” ujar Nasir Abbas dalam satu wawancara bersama Benar News (15/4/2015).

Berjalannya waktu, kelahiran JI berhasil memberikan nafas baru di kancah jihad tanah air. Jika organisasi di bawah Ajengan Masduki hanya sebatas gerakan politik Islam modern. Maka, Abdullah Sungkar membawa organisasinya dengan gerakan yang relatif berbeda. Di tangannya, JI bersublimasi ke dalam bentuk korporasi jihad qital (perang) dengan mengadopsi plot dari Al Qaedah di bawah Osama Bin Laden.

Sementara itu, keterlibatan para mujahidin asal Indonesia dalam konflik Afghanistan ini kelak akan mengubah peta jaringan kelompok jihad di tanah air. Dinamika kelompok ini yang nantinya berdampak pada serangkaian aksi teror yang berlanjut hingga hari ini.

- bersambung

Komentar

Tulis Komentar