Awal Mei 2022, saya berada di sebuah hotel di Jakarta, usai menjadi pembicara dalam workshop bertema pendanaan terorisme yang digelar oleh PPATK. Diskusi berlangsung serius. Tentang bagaimana uang mengalir ke jaringan-jaringan yang bergerak di bawah tanah. Tapi pikiran saya sudah melompat ke kota lain—Bandar Lampung—tempat saya merencanakan perjalanan berikutnya: penelitian awal tentang eks anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang melepaskan baiat.
Panitia setuju mengganti tiket kepulangan saya ke arah sebaliknya. Bukan ke Surabaya, tapi ke tanah Siger.
Pesawat mendarat tenang di Bandar Lampung. Kota ini menyambut saya dengan wajah yang berbeda dari yang saya bayangkan. Jalan-jalan mendaki dan menurun, bukit-bukit menyambut mata. Di sepanjang perjalanan dari bandara ke penginapan, saya menjumpai lambang Siger di banyak tempat—di gapura, taman kota, dan bahkan halte. Siger bukan sekadar hiasan. Ia terasa seperti pernyataan identitas: bahwa modernitas dan budaya bisa berjalan beriringan.
Saya membawa kontak Kompol Sumarna, Kanit Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Satgaswil Lampung. Nomornya saya dapat dari rekan-rekan peneliti yang pernah mendalami studi tentang perempuan dalam jaringan radikalisme. Saya hendak menghubunginya sore itu. Tapi sebelum jemari menyentuh layar ponsel, panggilan masuk lebih dulu. “Assalamualaikum, saya Marna,” katanya, suara hangat di ujung telepon. “Ngopi sore, yuk. Kita ngobrol-ngobrol soal rencana kegiatan sampeyan di sini.” Rupanya, koordinasi sudah lebih dulu dilakukan oleh rekan dari Satgaswil Jatim. Koordinasi rupanya telah berjalan cepat, bahkan lebih cepat dari rencana saya.
Sore itu kami bertemu, minum kopi sambil membicarakan rencana saya. Dari diskusi itulah saya mendapat cerita yang kelak menjadi inti dari perjalanan ini—tentang bagaimana eks anggota JI di Lampung melepaskan baiat mereka.
Melepas Baiat, Mencari Jalan Pulang
Kisah itu bermula dari kegelisahan seorang anggota JI. Ia merasa was-was melihat gelombang penangkapan terhadap para tokoh JI. Bukan karena ia tokoh besar, tapi karena ia merasa bisa terseret. Ia bukan pengambil keputusan, hanya pengikut. Tapi rasa takut itu justru memicunya untuk melakukan hal yang tak biasa: menyerahkan diri.
Ia menyampaikan niatnya kepada aparat setempat, berharap bisa dipertemukan dengan Densus 88. Tapi ia tak hanya ingin menyerahkan diri—ia ingin islah. Rekonsiliasi. Sebuah permohonan yang, kalau diterima, berarti membuka jalan baru: bukan penindakan, tapi pembinaan.
Densus 88 Satgaswil Lampung menyambut niat itu dengan kehati-hatian. Ada proses, ada diskusi, ada kesepakatan. Salah satu syaratnya: ia harus mengajak rekan-rekan yang punya niat serupa. Mereka lalu dikumpulkan, didata, dan diseleksi.
Namun di dalam institusi sendiri, diskusi tak mudah. Ada suara mendukung, menganggap ini sebagai bentuk pencegahan yang progresif. Tapi ada pula yang curiga, mengingat reputasi JI yang lihai menyusun strategi dan menyembunyikan agenda. Akhirnya, keputusan diambil oleh Kadensus saat itu: proses islah disetujui.
Saya menyimak kisah itu sambil sesekali mengangguk. Bagi saya, ini bukan sekadar cerita. Saya pernah berada di sisi yang sama. Sebagai mantan binaan, saya tahu betul bahwa keluar dari jaringan bukan perkara satu malam. Ini soal kepercayaan, rasa aman, dan keberanian untuk membuka diri.
Masih Sepi Pembinaan
Dalam hari-hari berikutnya, saya melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan. Densus 88 menjadi pihak paling aktif, tapi pembinaan yang mereka lakukan masih bersifat insidental. Tidak ada panduan baku. Tidak ada sinergi antar-lembaga. Tidak ada peta jalan yang jelas.
Proses pembinaan pasca-islah belum menjadi gerakan kolektif. Para eks anggota JI yang ingin lepas dari jaringan ini tidak cukup hanya diberi label “aman.” Mereka membutuhkan pendampingan psikososial, keterlibatan masyarakat, tokoh agama, pemerintah daerah, bahkan sektor swasta.
Dari hasil diskusi dan observasi singkat itu, kami menyimpulkan bahwa islah hanyalah pintu masuk. Perjalanan masih panjang. Harapan bisa tumbuh, tapi hanya jika ada tangan yang menyambut dan sistem yang mendukung.
Bandar Lampung, dengan segala keramaiannya, menjadi saksi proses ini. Kota yang pernah hanya saya kenal dari peta, kini memberi pelajaran tentang bagaimana ruang bisa membuka kemungkinan baru. Bahwa bahkan di tempat yang jauh dari pusat kekuasaan, inisiatif damai bisa tumbuh.
Siger, lambang budaya yang saya lihat sepanjang jalan, kini mendapat makna baru. Ia bukan hanya simbol mahkota. Tapi juga simbol harapan: bahwa kepala yang pernah tertunduk karena jalan gelap, bisa diangkat kembali dalam cahaya.
Foto: Gapura Selamat Datang Bandar Lampung.[Dok. Pribadi]
Komentar