Pada perkembangan selanjutnyapasca munculnya dua mainstream aliran‘eksperimen jihad’, di periode ini juga mulai terjadi beberapa amaliyah yangmengadopsi konsep ‘Lone Wolf’ (Serigala Sendirian), yaitu serangan yangdilakukan oleh perorangan, bukan oleh kelompok. Ciri khas serangan dengankonsep ‘Lone Wolf’ adalah serangannya berskala kecil menggunakan pistol atau peledak low esplosive berukuran kecil dan di-eksekusi oleh satu atau duaorang saja.
Sebut saja beberapa contohnyaadalah : serangan bom sepeda di Kalimalang Jakarta–yang gagal- di akhir 2010,rangkaian Bom Buku bom Mapolresta Cirebon dan penikaman seorang polisi yangsedang berjaga di Polsek Dolo Bima (2011), lalu penembakan dan pelemparangranat pada beberapa pos polisi di Solo ( Agustus 2012), dan rangkaianpenembakan polisi di Jakarta di akhir tahun 2013.
Walaupun nampaknya mencobamengadopsi konsep ‘Lone Wolf’ namun ternyata di kemudian hari terungkap bahwadi balik aksi itu ada sebuah kelompokatau jaringan yang terlibat. Puluhan orang ditangkap terkait kasus Bom Buku,belasan orang ditangkap terkait Bom Mapolresta Cirebon, dan Pondok PesantrenUmar bin Khaththab di Bima digerebek terkait kasus penikaman polisi di Bimayang dilakukan oleh salah satu santri pesantren tsb.
Jadi, boleh dibilang aksiserangan yang mengadopsi konsep ‘Lone Wolf’ saat itu tidak berjalan sukses,karena yang terjadi kemudian justru terungkapnya jaringan yang ternyata cukupbanyak anggotanya. Aksi kecil tapi dengan jaringan pelaku yang cukup banyak.Bagi sebagian aktivis jihadi hal ini dianggap sebagai sebuah kemunduran dankerugian.
Belum lagi pada kasus BomMapolresta Cirebon yang menggemparkan jagad aktivis jihadi karena menimbulkanpro dan kontra yang cukup sengit terkait target serangan yaitu polisi yangsedang shalat Jum’at di masjid. Berbagai argumen diajukan oleh pihak yang promaupun yang kontra. Saya melihat yang lebih ngeyeladalah pihak yang pro dengan aksi itu, dan pihak yang kontra akhirnyamengakhiri dengan pernyataan bahwa mereka berlepas diri dari aksi itu danmengecamnya.
Salah satu alasan terkuat orangyang kontra adalah bahwa pendapat tentang bolehnya menyerang polisi yang bukanpada kondisi melawan karena hendak ditangkap itu masih merupakan masalah yang diperdebatkan.Ini bila bicara polisi secara umum. Lah ini di masjid pula dan sedang shalatJum’at lagi. Ini sebuah tindakan kontra produktif terhadap jihad itu sendiri.
Menyerang polisi tentu berbedadengan melawan polisi. Jika pada kasus melawan polisi itu adalah berdasarkanijtihad dari pelaku yang sedang terkepung oleh polisi, dia harus memilih antaramelawan atau menyerah. Sedangkan pada kasus menyerang, kondisinya berbeda.
Sejak saat itu perlahan-lahanpara aktivis jihadi dan simpatisan mulai berkurang karena terpecah akibatkontroversi bom Mapolresta Cirebon. Ada yang setuju dijadikannya polisi sebagaitarget serangan, dan tidak sedikit pula yang tidak setuju. Hal ini bisa sayasaksikan terjadi baik di dunia online maupun offline.
Semakin banyaknya aksipenyerangan terhadap polisi yang terjadi setelah kejadian Bom MapolrestaCirebon itu membuat para simpatisan ‘eksperimen jihad’ semakin turun drastis.Hal ini disebabkan karena banyak yang menilai aksi penyerangan terhadap polisiyang melibatkan banyak anggota jaringan (meskipun terputus antara satu kelompokdengan kelompok lain) adalah sebuah kerugian besar.
Kerugian itu berupa tercorengnyacitra ‘eksperimen jihad’ yang konon membela kaum muslimin tetapi malahmenyerang polisi yang mayoritas secara dzhahiradalah muslim. Ummat tentu semakin tidak bisa menerima akan hal ini. Dan pihakyang menjadi target –dalam hal ini polisi- justru mendapat simpati dari masyarakat.
Kerugian lainnya yang tak kalahbesar adalah banyaknya orang yang ditangkap terkait sebuah aksi yang sebenarnyakecil dan kontroversial lagi. Terusirnya para ustadz dan santri Ponpes Umar binKhathab di Bima adalah salah satu contoh kerugian yang besar hanya karena ulahsalah satu santrinya.
(Bersambung, In sya Allah)
Komentar