Dengan mengendarai sepeda motor bututnya, Satrio pergi ke rumah teman yang dikenalnya ketika sama-sama menjalani pidana di sebuah Lembaga Pemasyarakatan di Jakarta. Sebut saja namanya Wawan. Kebetulan Wawan berasal dari kampung yang tidak jauh dari kampungnya. Sekitar 15 menit naik motor. Kali ini dia hendak berkonsultasi soal spesfikasi laptop yang bisa digunakan untuk menjadi admin mitra salah satu marketplace.
Sejak Wawan bebas, Satrio memang sering main ke rumah Wawan. Bagi Satrio, Wawan adalah orang yang paling bisa mengerti akan dirinya. Setiap kali sedang suntuk karena masalah pekerjaan hingga percintaan, Wawan selalu menjadi salah satu teman curhat terbaik. Mungkin karena sama-sama pernah dipenjara. Meskipun berbeda kasus, Wawan kasus terorisme dan dirinya kasus narkoba, tapi keduanya sempat menghadapi persoalan yang serupa dalam proses reintegrasi.
Dalam perjalanannya, Wawan lebih beruntung karena lebih diperhatikan oleh pemerintah. Bisa mendapatkan bantuan modal melalui upaya BNPT, didekati oleh aktivis LSM, bisa berteman dengan pejabat pemerintah setempat, dan lain-lain. Terlebih lagi secara personal Wawan mampu memanfaatkan peluang yang ada dengan sangat baik.
Sementara dirinya harus berjuang sendiri sejak bebas. Melawan stigma buruk di masyarakat dan berusaha menjauhi circle pengedar narkoba menjadi kisah tersendiri dalam perjalanan hidupnya. Menjadi agen/mitra marketplace merupakan pekerjaan kesekian kalinya yang coba ia geluti setelah sempat berganti-ganti pekerjaan sebelumnya.
Pertama kali yang ia lakukan selepas keluar dari penjara adalah menjauhi lingkungan di mana ia dulunya pernah hidup sebagai pengedar narkoba, yaitu kota Jakarta yang menurutnya adalah kota dengan 1000 dilema. Ia memilih untuk pulang ke kampung halamannya.
Di Jakarta hidup lebih keras dan biaya hidupnya sangat tinggi sehingga peluang untuk tergoda menjadi pemain narkoba lagi akan sangat besar. Sedangkan di kampung ia masih belum tahu mau kerja apa, tetapi aman dari pergaulan yang bisa membuatnya tergoda untuk jadi pemain narkoba lagi.
Di kampung halamannya ia memulai hidup barunya dengan bekerja serabutan pada orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja sampai kemudian muncul ujian pertama, yaitu ia mendengar ada sebagian orang yang saling berbisik agar jangan dekat-dekat dengan dirinya. Dibilangnya dirinya itu sangat mungkin sedang mencoba mengembangkan jaringan narkoba di daerahnya.
Dia sangat shock mengetahui hal itu. Dan kecurigaan mereka itu semakin menjadi-jadi ketika kemudian di daerah itu -kebetulan- peredaran narkoba semakin meluas. Dia benar-benar tak menyangka di kampung halamannya pun ia masih dicurigai dan kembali merasakan stigma yang negatif.
Ia jadi tak bersemangat lagi dalam bekerja dan mulai galau dengan kondisinya. Ia mulai merasa tidak nyaman.
Akhirnya ia memutuskan untuk ikut bekerja sebagai kuli batu pada proyek pembangunan perumahan di Surabaya. Di Surabaya itulah ia kemudian mengenal banyak teman baru di mana beberapa di antaranya sangat mendukung usahanya untuk meniti hidup baru yang lebih berkah. Termasuk ada yang menawarkan berbagai peluang pekerjaan.
Ketika ia sudah mulai bisa hidup tenang, tiba-tiba datang ujian yang baru yang datang melalui perantara media sosial. Di media sosial (Facebook) ia dihubungi oleh kawan lamanya yang dulu sama-sama menjadi pemain di bisnis narkoba. Sudah bertahun-tahun tidak ada kontak tiba-tiba menghubunginya.
Awalnya menanyakan kabar tapi setelah tahu kalau dirinya tinggal di kota besar (Surabaya), kawannya itu lalu menawarkan peluang untuk jadi agen narkoba lagi. Diiming-imimgi fasilitas motor dan rumah kontrakan serta peluang besar karena kawannya itu punya akses ke sumber yang besar.
Satrio sempat menyesal kenapa ia masih menggunakan akun Facebook yang lama sehingga kawannya itu masih bisa menemukannya. Tapi ia akhirnya bisa menolak dengan tegas tawaran dari kawannya itu. Ia sudah menutup rapat pintu untuk kembali ke jalannya yang lama.
Ia hanya tak menyangka godaan untuk kembali ke jalan lama itu masih saja ada meskipun sudah tidak bergaul dengan teman-teman lamanya. Media sosial memang terkadang bisa menjadi celah atau perantara berkembangnya jaringan kejahatan.
Sebelumnya yang selalu ia posting di status Facebook-nya adalah seputar pekerjaannya sebagai salah satu marketing sebuah perusahaan, yaitu seputar menawarkan produk-produk dari perusahaan tempatnya bekerja.
Ia kemudian berfikir, mungkin kawannya yang mengajak untuk kembali bergabung itu menganggapnya masih belum mapan dalam ekonomi sehingga coba dirayu untuk bergabung kembali. Akhirnya ia mulai memposting kutipan-kutipan tausiyah dari para ustadz yang terkenal di wall Facebooknya. Dengan begitu ia berharap teman-temannya dari dunia hitam tidak lagi tertarik untuk merekrutnya.
Kemudian sejak wabah Covid-19 melanda, Satrio memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Kembali bekerja serabutan sambil menjaga ibunya yang mulai sering sakit-sakitan. Kali ini sudah tidak ada lagi stigma negatif dari masyarakat. Tidak ada lagi masyarakat yang memandangnya dengan tatapan sinis atau curiga. Dia telah dianggap sebagai anak yang berbakti pada orangtuanya yang tinggal ibunya saja. Buktinya, banyak yang membantu mencarikan pelanggan atau peluang kerja lepas yang bisa dikerjakannya.
[Sebuah kisah nyata yang diilustrasikan kembali]
Komentar