MENGASAH INSTING BERTAHAN HIDUP: CATATAN SCREENING FILM “ROAD TO RESILIENCE” DI MALAYSIA

News

by Febri Ramdani Editor by REDAKSI

Sepekan di negeri jiran Malaysia telah memberikan kesan sangat baik bagi saya. Selain menghadiri sebuah workshop, pertemuan dengan banyak orang di lingkup regional itu ternyata dapat meningkatkan insting untuk survive. Bagaimana bisa?

Salah satu contoh sederhana adalah masalah berbahasa. Sekalipun Bahasa Melayu cukup mirip dan memiliki beberapa kosakata yang relatif sama dengan Bahasa Indonesia, tetap saja perlu penyesuaian dalam melafalkan kata-katanya. Secara pribadi, rasanya lebih mudah dan lebih percaya diri menggunakan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi sehari-hari, demi menghindari miskomunikasi.

Tentu banyak hal-hal kecil lain yang juga membutuhkan penyesuaian dan menjadi concern untuk dapat beradaptasi dan survive di negara lain. Barangkali karena masih negara serumpun, tidak perlu waktu lama bagi orang Indonesia untuk menyesuaikan diri di Malaysia. Tapi apa jadinya jika berpergian ke negara yang budaya, bahasa, cara bersikap, pola pikir, aturan yang berlaku, atau bahkan perbedaan kurs mata uangnya sangat jauh berbeda? Pasti terbayang rasa insecure dalam diri.

“Wah, barang ini kemahalan jika dibandingkan ke mata uang Rupiah, mending tidak usah dibeli deh.”

“Peraturan di negara ini terlalu strict nih, kurang leluasa, masa nyebrang harus tunggu lampu hijau buat pejalan kaki, lewat zebra cross, atau ke jembatan penyeberangan.”

Itu beberapa contohnya. Perbedaan-perbedaan yang membuat kita “terpaksa” mengubah sikap demi bisa survive di tempat yang baru. Tak heran jika semakin sering seseorang berpergian ke suatu wilayah baru, daertah yang asing, dan berbeda dari wilayah tempat tinggalnya, akan semakin kuat mentalnya, dan semakin global pola pikirnya. Bepergian ke luar negeri, sama sekali bukan untuk menyombong, apalagi flexing, atau foya-foya. Travelling sangat penting untuk peningkatan kapasitas diri seseorang menjadi lebih baik dan kaya wawasan. Bukankah sejumlah ayat Al-Qur'an juga memerintahkan, "Jelajahilah Bumi dan perhatikan...."   

SCREENING FILM DI TOKO BUKU TINTABUDI & RIWAYAT 

Selain mengasah surviving skill dalam mengeksplorasi negara lain, baik itu dari segi bahasa maupun cara menghadapi sesuatu yang tidak biasa, saya juga melakukan sedikit riset wilayah dan audiens saat hendak mengisi acara screening film dadakan yang di-arrange oleh penulis terkenal Malaysia, Ibu Dina Zaman. Ibu Dina adalah co-founder  IMAN Research, lembaga think tank yang berfokus pada masalah sosial-politik dan keamanan, serta anggota pendiri Southeast Asian Women Peacebuilders.

Bertemu dan berkolaborasi dengan Ibu Dina Zaman untuk screening Road to Resilience di Kuala Lumpur [Dok.Pribadi]

Setelah berdiskusi dengan Ibu Dina Zaman, terpilihlah 2 tempat untuk melakukan screening film “Road to Resilience” (RTR) dari Kreasi Prasasti Perdamaian garapan sutradara Ridho Dwi Ristiyanto, yakni Tintabudi Bookshop dan Riwayat Bookstore, keduanya di Kuala Lumpur. Saya pun mencari-cari informasi tentang kawasan kedua venue tersebut, untuk memperkirakan animo masyarakat yang akan menyaksikan screening RTR. Akhirnya dipilihlah  tanggal 15 dan 16 Oktober 2024 untuk dua screening tersebut yang alhamdulillah berjalan lancar.

Audiens yang  menghadiri acara tersebut bisa dibilang minimalis lantaran beberapa faktor. Pertama, acara diadakan secara mendadak, dan dilaksanakan pada saat hari kerja, belum lagi hujan deras yang melanda  Kuala Lumpur dalam beberapa hari terakhir, menyebabkan banjir di beberapa titik jalan sehingga mempersulit akses masyarakat yang hendak beraktivitas. Saya dapat memaklumi beberapa hambatan tersebut, dan karenanya sangat bersyukur serta mengapresiasi semua upaya yang telah dilakukan hadirin, antara lain Ibu Dina Zaman, Pak Roestam (Riwayat) beserta tim, Mas Nazir (Tintabudi) beserta tim, dan tentu Dr. Noor Huda Ismail yang memberikan arahan dalam mengorganisir acara tersebut.

Sesi screening Road to Resillience di Riwayat Bookstore [Dok. Pribadi]

Seperti biasa setiap sesi screening dilanjutkan dengan diskusi dan dialog dengan audiens. Selama screening film, saya perhatikan ada saja penonton yang menangis -- upaya pengemasan cerita, arahan, serta pengaturan tata letak ditambah racikan audio visual dari para kru film RTR terbukti mampu memainkan emosi penonton. Memang, terus terang, saya pribadi pun masih sering tidak kuasa menahan rasa sedih setiap kali menonton film tersebut.

Yang agak mengejutkan, seorang penonton laki-laki dari Amerika Serikat  juga meneteskan air matanya pasca selesai menonton film RTR di Tintabudi Bookshop. Saya kira isu perceraian, keretakan rumah tangga, serta anak broken home sudah menjadi hal “biasa” di tengah masyarakat Barat seperti Amerika. Tetapi ternyata momen tersebut bisa menjadi trigger juga bagi mereka yang dari segi budaya, pola pikir, dan cara pandangnya berbeda dari masyarakat di wilayah Asia, terutama Asia Tenggara.

Sesi screening Road to Resilience di Tintabudi Bookshop: pengemasan cerita tim Kreasi Prasasti Perdamaian  yang menyentuh [Dok. Pribadi]

Berfoto bersama seusai screening RTR di Tintabudi Bookshop [Dok. Tintabudi]

Meski kecil, saya sangat berharap narasi alternatif dalam film-film seperti RTR ini dapat menyebarkan pesan-pesan positif dan berdampak kebaikan terutama bagi  generasi muda yang cenderung lebih mudah tertarik oleh suguhan audio visual dalam menyerap informasi. Bukan hanya film yang bertemakan isu intoleransi maupun radikalisme saja, tetapi film dengan isu-isu sosial lain yang bisa memberikan dampak dan membangun opini publik untuk lebihmenyadari ketidakharmonisan ekosistem di dunia ini, layak disebarluaskan. [ ]

Komentar

Tulis Komentar