SLEMAN -- Dua kakak beradik MR (42 tahun) dan PP (36) menuturkan kisah ibundanya yang hingga hari ini belum bisa pulang dari Suriah. Keduanya masih berusaha mencari cara agar TW (66 tahun) yang sempat bergabung dengan organisasi teroris ISIS bisa kembali ke Indonesia setelah kurang lebih sembilan tahun terakhir ini hidup berpindah-pindah bersama empat cucu perempuannya.
"Entah gimana caranya nanti, yang penting bagi saya sekarang ibu bisa pulang dulu," kata PP, anak bungsu TW, saat menuturkan kisahnya di sela-sela acara Focus Group Discussion (FGD) Komunikasi Strategis dan Rehabilitasi eks Teroris dan Returni di Omah Betakan, Moyudan, Sleman, Yogyakarta, Selasa (12/11/2024).
PP mengisahkan, perkenalan ibunya dengan kelompok yang kemudian dikenal dengan Faksi Abu Hamzah (FAH) tersebut dimulai pada awal 2000-an saat sang ibu gemar menghadiri pengajian di kompleks dekat tempat tinggalnya di bilangan Depok, Jawa Barat. Saat itu, PP yang masih remaja sempat kesal karena terdapat agenda rutin yang wajib diikuti oleh ia dan kakak-kakaknya.
"Saya merasa terkekang karena ada agenda pengajian yang gak boleh di-skip. Maklum usia saya saat itu tengah beranjak remaja," kata PP. Apalagi kondisi keluarganya saat itu tidak terlalu harmonis di mana kekerasan sering terjadi di dalam rumah tangga TW saat itu.
Saking seriusnya sang ibu mengikuti pengajian tersebut, yang bersangkutan sampai rela keluar dari pekerjaannya yang nyaman di PT Jasa Marga. TW bahkan sampai keluar dari pergaulannya sehari-hari di lingkungan sosial masyarakat. "Arahnya memang lebih berlepas diri dari pemerintah. Kegiatan-kegiatannya kebanyakan adalah ekonomi dan kewirausahaan," kata MR.
Berbeda dengan PP yang cenderung berontak, MR sebagai anak tertua cenderung patuh kepada perintah sang ibu. Meskipun memiliki background sebagai anak bandel, beranjak dewasa ia banyak juga terlibat dalam komunitas pengajian, meskipun awalnya yang diikutinya adalah halaqah kelompok Tarbiyah yang terafiliasi kelompok Ikhwanul Muslimin.
"Namun pada akhirnya saya juga ikut (ibu) ke komunitas pengajian tanpa nama tersebut, yang sebagian anggotanya adalah eks-NII. Saya bahkan tidak diperbolehkan keluar dari kelompok tersebut," tutur MR.
Keduanya sempat memiliki asa kala TW memutuskan pindah ke Yogyakarta pada tahun 2005. Ia dan MR, sang kakak tertua, serta satu kakak perempuannya pun mengikuti sang ibu pindah. Namun ternyata kelompok pengajian yang diikuti sang ibu ternyata memiliki cabang di Yogyakarta. Keikutsertaan keluarga tersebut di kelompok pengajian tersebut pun terus berlanjut.
Karena tidak tahan dengan perilaku sang ibu yang tipikal petualang, ditambah kondisi keluarga yang kurang harmonis, PP pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang broken home. Ia kerap menghabiskan waktu di jalanan, tidur di kampus, hingga kenakalan remaja lainnya.
Sementara MR, yang tumbuh menjadi pemuda yang alim, tetap mengikuti pengajian tersebut sampai 2014, saat terdapat titik balik di mana sang ayah meninggal dunia. Selain itu, keinginannya melepas masa lajang dan konflik dengan salah seorang anggota yang membuatnya keluar dari kelompok tersebut.
"Saya memutuskan keluar (dari kelompok pengajian) dan gak ikut (ke Suriah) karena ingin menikah," kata MR yang bersama PP sama-sama putus kuliah tersebut.
Namun berbeda dengan sang ibu dan saudara perempuannya yang tetap melanjutkan 'mengaji' di kelompok tersebut. Sampai suatu saat pada 2015 sang ibu terbujuk sang anak perempuan untuk menjual rumah pertamanya di Depok sebagai biaya perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
"Waktu itu sempat bujuk ibu agar gak berangkat. Namun kakak (perempuan) justru merengek-rengek agar rumah dijual supaya bisa berangkat. Apalagi ibu memang punya impian menghabiskan masa tua di Madinah," kata PP.
Keluarga besar pun tidak tahu jika Suriah menjadi tujuan TW kala itu. Mereka mengira bahwa TW dan anak serta menantunya pergi menjalankan ibadah umrah. Mereka baru curiga setelah berita-berita mengenai ISIS mulai beredar di Indonesia.
Awalnya, kepada PP dan MR, sang ibu banyak menceritakan hal-hal positif tentang Suriah. Bagaimana aktivitas sehari-hari dan perniagaan di sana berjalan seperti keadaan normal.
Namun keadaan kemudian mulai berubah beberapa saat setelah terjadi invasi besar-besaran Suriah. TW kehilangan anak perempuan dan menantunya akibat tertembak dalam sebuah pertempuran antara ISIS melawan tentara Suriah. Kini, sang ibu yang tinggal ditemani empat cucunya (putri-putri sang anak perempuan) pun terpaksa tinggal di kamp pengungsian.
MR dan PP kini hanya berharap bisa membawa TW kembali ke Indonesia. Apalagi banyak orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya yang bersedia menerima TW lagi
"Ibu pun sudah bersedia pulang, walaupun sekarang kami belum tahu caranya gimana. Yang jelas ibu sudah bilang pengen tinggal sama saya. Gak tau kenapa. Mungkin karena saya anak bontot," kata PP dengan suara bergetar.
Pengamat terorisme sekaligus pendiri Kreasi Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menyimpulkan kisah yang terjadi pada keluarga TW adalah bukti bahwa radikalisasi juga bisa menyasar keluarga kelas menengah. Apa yang terjadi pada keluarga tersebut adalah contoh kesekian karena sebelumnya FAH juga menyasar para keluarga kelas menengah seperti keluarga ASN, pengusaha, dan lain sebagainya.
Huda juga menekankan bahwa peran perempuan dalam kasus ini merupakan tokoh kunci. Hal itu terlihat dari sang ibunda, TW, dan anak perempuannya yang lebih memiliki dedikasi untuk pergi berjuang ke Suriah dibandingkan dua anak lelakinya yang sebenarnya juga terpapar sejak remaja. "Hal itu sekaligus membuktikan bahwa perempuan, walaupun terlihat dari luarnya innocence, tapi bukannya tidak bersalah," kata Noor Huda.
[Laporan Fernan Rahadi untuk Ruangobrol.id]
Foto: Dokumentasi Ruangobrol.id
Komentar