“Yang penting jangan sampai hanya ada satu narasi tunggal, bahwa orang pergi ke Suriah bergabung dengan ISIS karena alasan ideologi, “ demikian Direktur Kreasi Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menekankan salah satu tantangan upaya pemulangan WNI dari Suriah.
Hal itu disampaikannya saat hadir dalam acara pemutaran film Road to Resilience yang diproduksi Kreasi Prasasti Perdamaian. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama Ruangobrol.id dan BNPT di Auditorium Pascasarjana Fikom Unpad, Kamis (13/3/2025), sekaligus menjadi ajang diskusi buku karya Noor Huda Ismail, Anak Negeri di Pusaran Konflik di Suriah.
Pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) dari negara Suriah sampai hari ini memang masih menjadi perdebatan berbagai pihak. Program yang direncanakan demi menjunjung tinggi asas kemanusiaan itu mau tak mau terganjal isu radikalisme, menjadikan pemerintah belum secara terang-terangan menerima WNI yang berada di Suriah untuk kembali ke Tanah Air.
Noor Huda Ismail mengatakan, lewat film dokumenter Road to Resilience yang dibuatnya tahun 2017 lalu itu, dia ingin menyampaikan pesan soal kesempatan kedua yang layak diberikan kepada WNI eks ISIS. Menurut pria yang akrab disapa Huda ini, mereka pergi ke Suriah tidak seluruhnya atas dasar ideologi ekstrem. Ada juga yang terpaksa pergi karena sekadar ingin berkumpul dengan anggota keluarga, seperti yang dialami Febri, tokoh utama Road to Resilience.
"Alasan ke Suriah itu macam-macam, dan jangan bayangkan pemeran utamanya hanya kaum laki-laki berjanggut yang memanggul senjata. Banyak juga perempuan dan anak-anak. Dan tentunya sangat jelas, anak adalah korban ideologi orangtuanya," papar Huda.

Tantangan Berat WNI eks ISIS
Huda yang juga akademisi Universitas Teknologi Nanyang Singapura ini mengungkapkan, stigma masyarakat atas WNI yang pulang dari Suriah masih jadi tantangan terberat. Mereka erat dikaitkan dengan paham radikalisme yang dikhawatirkan menyebar di Indonesia.
"Latar belakang mereka pergi ke Suriah itu harus diklasifikasikan. Pertama, mereka yang beralasan ideologi contohnya teman-teman JI (Jemaah Islamiyah). Lalu ada JAD (Jamaah Ansharut Daulah), yang berangkat ke sana dan pindah kewarganegaraan karena khilafah."
"Ketiga, orang-orang yang dulunya korban. Perempuan misalnya, suaminya berangkat (ke Suriah), masa gua nggak ikut. Jadi jangan disamaratakan," tambahnya lagi. Menurut Huda, sejumlah WNI yang sudah kembali ke Indonesia bisa kembali ke masyarakat dan beradaptasi dengan baik. Mereka bahkan kerap dijadikan contoh sebagai individu yang tulus meyakini NKRI. "Semuanya kembali ke masyarakat dan produktif," imbuhnya.
Pemantauan BNPT
Sementara itu, Kasubdit Kerjasama Regional BNPT RI, Yaenurendra Hasmoro Aryo Putro menambahkan, pemerintah turut melakukan pemantauan terhadap WNI yang dipulangkan dari Suriah. Pemantauan ini untuk memastikan WNI kembali ke masyarakat dengan paham ideologi yang sesuai.
Pejabat BNPT itu juga menuturkan, sampai hari ini masih ada sekitar 400-an WNI di Suriah yang belum kembali ke Indonesia. Selain proses pemulangan mereka yang sulit, kondisi di negara berkonflik itu juga kian memprihatinkan.
"Sejak pergantian kepemimpinan di Suriah, upaya pemulangan di-hold, jadi kondisi mereka terus terang memang kurang layak secara kemanusiaan," ujarnya.
Yaenurendra menuturkan, pemerintah berkewajiban menjaga dan memastikan kehidupan yang baik untuk warga negaranya, termasuk mereka yang “terdampar” di Suriah. Diakuinya, situasi di sana sangat jauh dari kata aman, hingga pihaknya terus mengupayakan supaya WNI di Suriah bisa pulang ke Indonesia. "Kita ada upaya untuk melaksanakan kewajiban memulangkan mereka. Memang bukan menjadi upaya yang didukung semua pihak, karena masih ada stigma," ungkapnya.
Film Road to Resilience
Mengiringi diskusi, film dokumenter Road to Resilience mengangkat perjalanan seorang remaja Indonesia yang terjebak dalam janji-janji manis ISIS dan akhirnya menemukan jalan kembali ke tanah airnya. Film dimulai dengan pengenalan masalah yang lebih luas, mengangkat isu perang saudara di Suriah dan kebangkitan ISIS yang menarik ribuan orang dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Ketika Febri dan rombongannya akhirnya berhasil kembali ke Indonesia, mereka menghadapi kenyataan pahit berupa penolakan dan stigma dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai pengkhianat. Selama satu bulan, mereka menjalani berbagai pelatihan dan interogasi dari BNPT dan Densus 88.
Meskipun begitu, Febri dan keluarganya tidak menyerah. Mereka memulai hidup baru di Depok, Jawa Barat, berusaha menata kembali kehidupan mereka dari awal.
Febri menuturkan, kepergiannya ke Suriah bukanlah tanpa alasan. Pergulatan hatinya membawa Febri akhirnya pergi menemui ibunya di negara berkonflik itu.
"Waktu itu, di Indonesia saya tidak memiliki siapa-siapa. Karena ibu ikut bersama kakak ke Suriah, sedangkan saya menolak ikut," ucap Febri. Karena ingin berbakti kepada orangtua, Febri ingin lebih dekat dengan ibunya. Dia pun terbang ke Suriah dengan segala ancaman yang diterimanya. "Karena saya merasa durhaka tidak mengikuti ibu, akhirnya mau menyusul ke Suriah. Ibu bagi saya adalah segalanya, dia wanita hebat," tuturnya.
Setibanya di Indonesia, Febri dan ibunya mulai menata hidup. Selama setahun keduanya mengisolasi diri dan tidak berkomunikasi dengan keluarga besar. Ketakutannya akan stigma buruk dari keluarga, membuat ibu dan anak itu berjuang sendirian.
Produser Film to Resilience, Ani Ema Susanti mengaku, butuh waktu 7 tahun untuk timnya memproduksi film dokumenter ini. Dari kacamata mantan pekerja migran, Ani cukup terkejut saat mengetahui kenekatan Febri pergi ke Suriah. "Kami mendokumentasikan repatriasi Febri dan keluarga, bagaimana cara mereka bisa pulang dari camp di Suriah," ujar Ani.
Pakar Komunikasi Unpad, Ari Agung Prastowo mengatakan, komunikasi yang baik sangat diperlukan dalam menyampaikan edukasi kepada masyarakat luas. Terlebih, terorisme merupakan isu sensitif di Indonesia. "Film ini tepat, pesannya tersampaikan. Kita bisa melihat adanya resiliensi komunikasi menghadapi tekanan komunikasi yang ada," ucapnya.
Menurut Ari, film juga menyuguhkan kegagalan komunikasi pada Febri yang tidak mampu menyampaikan alasannya pergi ke Suriah. "Ini terjadi kegagalan komunikasi, berangkat ke Suriah bukan karena alasan ideologi. Meyakinkan bahwa mereka pergi bukan semata-mata ideologi, tetapi pergi karena tanggung jawab (keluarga)," ungkap dosen di Fikom Unpad itu. [ ]
Komentar