Masih ingat dongeng tentang malaikat yang dihukum turun ke Bumi, dan hanya bisa kembali ke langit setelah menemukan tiga kebaikan? Andai saya jadi malaikat yang terhukum itu, lomba pidato para pekerja migran di Singapura baru-baru ini akan saya masukkan sebagai satu di antara tiga kebaikan tersebut.
Suasana yang penuh semangat dan kasih persahabatan memenuhi DBS Auditorium di Marina Bay Financial Centre (MBFC), di tengah acara bertajuk Speech Competition 2025 yang diselenggarakan Friendship Club Indonesia. Bertema Living Abroad, para pekerja migran Indonesia (PMI) di Singapura menunjukkan kemampuan berbicara dalam Bahasa Inggris, menyampaikan pengalaman hidup mereka dengan percaya diri dan penuh inspirasi. Sungguh pemandangan yang membanggakan dan menghangatkan hati.
Tak kurang Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, Bapak Suryo Pratomo yang langsung membuka acara itu, menyampaikan apresiasi yang tinggi atas inisiatif para PMI dalam membangun kapasitas dan kepercayaan diri mereka melalui kegiatan-kegiatan positif dan edukatif. “Kompetisi seperti ini menunjukkan bahwa pekerja migran bukan hanya tulang punggung keluarga, tetapi juga duta budaya dan kebanggaan bangsa,” ujar beliau.
Speech Competition, yang disponsori CDE (Centre for Domestic Worker) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura (KBRI), menghadirkan 20 peserta. Mereka semua adalah peserta didik kelas Bahasa Inggris yang diadakan FCI setiap hari Minggu. Lomba pidato ini merupakan salah satu ajang bagi peserta didik untuk menguji hasil belajar yang mereka jalani. Banyak peserta kompetisi ini, sebenarnya kesulitan berkomunikasi saat mereka pertama sekali bekerja di Singapura. Melihat keinginan belajar dan semangat gotong royong mereka yang kuat, FCI pun memberi ruang untuk meningkatkan kompetensi para pekerja migran dengan memboyong semboyan Lift up Each Other to Shine Together.
Kegiatan ini hanyalah satu dari banyak inisiatif luar biasa FCI. Komunitas ini didirikan Mbak Nur Aini, yang sehari-hari bekerja di sebuah keluarga Singapura, namun tetap mampu menggerakkan banyak pekerja migran untuk bersama-sama meningkatkan kompetensi diri dalam berbahasa Inggris dan penggunaan komputer. Jadilah komunitas FCI yang beranggotakan para pekerja rumah tangga perempuan asal Indonesia, secara rutin menyelenggarakan kelas gratis Bahasa Inggris dan Komputer dari, oleh, dan untuk mereka sendiri. Proses belajar dilakukan secara mandiri dan mereka yang sudah lebih mahir menjadi pengajar bagi teman-temannya yang lain.

Kegiatan yang sangat positif ini, telah mendapatkan apresiasi positif dari Centre for Domestic Employees (CDE), lembaga di bawah NTUC Singapura. Dari yang semula belajar bersama di bawah pohon, kini mereka bisa belajar dengan nyaman di ruangan ber AC yang difasilitasi CDE. Termasuk dukungan untuk kompetisi pidato ini, terlaksana menggunakan ruangan Auditorium DBS yang disediakan CDE, demikian pula piala bagi para juara.
Dewan juri lomba yang terdiri dari Michael Tan (Deputy Director of CDE), Rima Diniah (Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura), dan Semuel Kuriake Balubun (Kepala Sekolah Indonesia Singapura), menunjukkan betapa ketat tantangan yang harus dihadapi setiap peserta. Tampak sekali dalam penampilan pidato mereka, motivasi yang kuat untuk meningkatkan dan menambah kapasitas berbahasa Inggris.

Selama lebih dari dua jam kompetisi berlangsung, diwarnai suasana yang sesekali serius namun juga tak kurang dengan kegembiraan dan tawa ceria. Acara pun dilanjutkan dengan Hari Raya Celebration yang dihadiri oleh kurang lebih 350 anggota FCI. Lagi-lagi dalam acara perayaan Idhul Fitri ini tampak suasana kekeluargaan dan persahabatan yang tulus tanpa sekat di antara hadirin. Mereka bahkan memilih sistem potluck, membawa makanan dari rumah masing-masing untuk dinikmati bersama, meskipun sebenarnya CDE telah menyediakan konsumsi untuk mereka semua.
Sungguh pemandangan langka yang menghangatkan hati, parade keramahan, kasih sayang dan kebaikan yang membersihkan jiwa. Saya yakin, andai belum kembali naik ke langit, malaikat yang terhukum itu akan mencatatnya. [ ]
*Eko Kusuma Suryanzah, seorang profesional di Singapura
Komentar