Baku Tembak Teroris JI Lampung dengan Densus 88: Sebuah Pembuktian?

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Baku tembak aparat Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri saat menangkap tersangka terorisme kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di Lampung pada 12 April 2023 mengejutkan banyak pihak.


Saya jadi salah satu orang yang terkejut dengan baku tembak tersebut. Sebabnya, kurang lebih 8 bulan terakhir saya melakukan program pendampingan kepada para mantan anggota JI Lampung yang telah cabut baiatnya dan ikrar setia NKRI.

Menarik sekali untuk menganalisis kenapa ada anggota JI yang melawan ketika hendak ditangkap di saat banyak anggota JI lainnya "menyerah"?


Penangkapan terduga teroris dari kelompok JI memang mulai mendominasi dalam operasi penegakan hukum yang dilakukan Densus 88 sejak 2019. Tepatnya sejak penangkapan terhadap amir (pemimpin tertinggi) kelompok JI Para Wijayanto pada Juli 2019.


Setelah tertangkapnya Para Wijayanto, penangkapan terduga teroris dari kelompok JI terus berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia hingga hari ini. Beberapa di antaranya ada yang cukup menyita perhatian publik. Seperti penangkapan Upik Lawanga (buronan kasus kerusuhan Poso) dan Zulkarnaen (buronan kasus bom Bali 2002) di Lampung termasuk pengungkapan adanya puluhan ribu kotak infak yang terindikasi sebagai salah satu sumber pendanaan kelompok JI.


Dari semua rangkaian operasi penegakan hukum pada anggota JI itu, nyaris tidak ada perlawanan dari para tersangka. Kecuali pada penangkapan dokter Sunardi pada Maret 2022 di Sukoharjo dan yang terakhir di Lampung kemarin.


Balada Jamaah Jihad


JI di bawah kepemimpinan Para Wijayanto sejak 2009 memutuskan untuk sekuat tenaga menjaga agar tidak ada lagi anggota JI yang terlibat aksi teror. Semua aksi teror bom dari tahun 2000-hingga 2009 memang bukan kebijakan resmi JI, tetapi mengakui bahwa sebagian besar pelakunya adalah kader-kader JI.


Para pelaku aksi teror dari JI itu terpengaruh narasi jihad global ala Al Qaeda. Sementara secara resmi JI menganggap fase perjuangan mereka belum memasuki fase jihad. Tetapi JI masih ingin menjadi jamaah jihad sebagaimana cita-cita para pendirinya dulu.


Cita-cita JI adalah iqomatuddin (menegakkan Islam) dengan jalan dakwah dan jihad. Ini tidak berubah sejak dulu. Yang berubah hanyalah implementasinya di lapangan. Misalnya dulu jihadnya adalah dengan mengirimkan para anggotanya ke wilayah konflik di Filipina Selatan dan Ambon-Poso. Kemudian di era Para Wijayanto jihadnya adalah terlibat dalam jihad global di Suriah.


Sedangkan di bagian dakwah JI sangat aktif dan semakin meningkat dari masa ke masa. Di mana dakwah mengambil porsi paling banyak dan dampaknya bisa dirasakan oleh semua orang. Termasuk bagian dakwah adalah upaya-upaya penyelesaian persoalan sosial di masyarakat.


Dakwah di masyarakat yang dilakukan oleh para kader-kader JI, telah turut serta menciptakan masyarakat yang berakhlak. Sementara lembaga layanan sosial JI telah membantu banyak masyarakat yang tidak mampu dalam mengakses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang layak. Yang seperti ini tidak melanggar hukum, hanya perlu pengawasan dan pembinaan lebih intensif.


Hal yang menjadi masalah selama ini adalah bagian jihadnya. Karena di bagian ini JI melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di Indonesia. Meskipun tidak melakukan serangan teror di Indonesia, namun mereka masih melakukan i’dad (persiapan menuju jihad) dengan membuat senjata, berhubungan dengan kelompok teroris internasional, dan melakukan pelatihan militer. Semua ini merupakan pelanggaran yang menjadikan kelompok JI bermasalah dengan negara.


Lebih rumitnya lagi, bagian jihad ada yang bersinggungan dengan bagian dakwah. Misalnya, dari para murid lembaga pendidikan JI ada sebagian kecil (sangat kecil) yang direkrut untuk dikirim ke Suriah. Atau ada sebagian kecil (lagi-lagi sangat kecil) dari dana lembaga sosial JI yang disalurkan ke bendahara JI yang kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan di bidang jihad.


Ramai-Ramai Lepas Baiat dan Barisan Sakit Hati


Hampir semua narapidana teroris dari kelompok JI melakukan ikrar setia NKRI ketika di penjara. Hanya hitungan jari yang tidak melakukannya. Dari wawancara saya dengan beberapa mantan napiter JI, rata-rata mereka menganggap ketika sudah tertangkap itu berarti jalan perjuangan yang melanggar hukum sudah selesai. Saatnya berjuang dengan cara baru yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.


Di luar penjara juga mulai ramai anggota JI yang melepaskan baiat dan berikrar setia pada NKRI. Tercatat di Lampung ada 171 orang yang melakukan pelepasan baiat pada Februari dan Mei 2022. Kemudian berturut-turut ada di Bengkulu 14 Juli 2022, di Surabaya Jawa Timur 8 Agustus 2022, Aceh Tamiang Nangroe Aceh Darussalam 11 Agustus 2022, di Kampar Riau 14 Oktober 2022, dan Ambon Maluku 30 Januari 2023.


Selama saya melakukan program pendampingan kepada para mantan anggota JI Lampung sejak Agustus 2022 yang lalu, saya mendapati banyak cerita dari mereka mengenai dinamika dan perkembangan terakhir JI di Lampung.


Salah satu cerita yang menarik adalah tentang adanya anggota JI yang mencela orang-orang yang melepaskan baiat dan berikrar setia pada NKRI. Menurut orang-orang ini, melepas baiat dan berikrar setia pada NKRI adalah bentuk pengkhianatan dalam perjuangan.


Kabar buruknya, di antara orang-orang yang berpikiran seperti itu ada yang memiliki kemampuan askari (militer) dan menguasai senjata api inventaris JI yang dulu digunakan untuk latihan. Para terduga teroris yang melawan ketika hendak ditangkap di Lampung kemarin adalah dari golongan ini.


Memanfaatkan Para “Mantan”


Dari kejadian penangkapan terduga teroris yang diwarnai baku tembak di Lampung kemarin, membuktikan bahwa di dalam tubuh JI ada yang kecewa atau sakit hati atas upaya reintegrasi teman-teman mereka, baik yang di dalam penjara maupun yang di luar penjara. Reaksi mereka bermacam-macam. Dari yang sekedar ungkapan verbal sampai yang merencanakan aksi teror sebagai bentuk “pembuktian eksistensi” seperti kelompok yang ditangkap terakhir di Lampung kemarin.


Potensi ancaman dari orang-orang yang kecewa ini di satu sisi harus menjadi perhatian aparat keamanan. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini melalui Densus dan BNPT perlu memberdayakan para mantan anggota JI untuk mereduksi keberadaan orang-orang yang kecewa itu. Para “mantan” ini bisa menjadi senjata yang efektif untuk menyadarkan teman-teman mereka yang masih belum paham urgensi keutuhan bangsa dalam memperjuangkan Islam.


Sejauh pengalaman mendampingi para mantan anggota JI di Lampung, progres terbaik yang saya dapatkan adalah: mereka berhasil bertransformasi dari memposisikan pemerintah sebagai musuh menjadi memposisikan pemerintah sebagai mitra dalam perjuangan mereka.

Komentar

Tulis Komentar