Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri menangkap seorang pria berinisial AW di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Minggu (22/1/2023). AW diketahui residivis kasus penyalahgunaan narkotika, pernah ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan.
Densus juga mendapati ada 2 bom rakitan siap ledak. Oleh tim Gegana Satuan Brimob Polda DIY, bom itu didisposal.
Pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan menyebut ada pihak yang ingin Indonesia terjadi chaos alias kacau jelang perhelatan akbar Pemilu 2024 terutama pemilihan Presiden.
“Jika dua bom itu tidak ditemukan, akan sangat berbahaya. Jika berhasil diledakkan oleh kelompok teror itu akan membuat situasi tidak kondusif,” kata Ken Setiawan pada keterangannya.
Ken menambahkan, tujuan kelompok teroris sudah jelas membuat kegaduhan. Menurut Ken mereka biasanya menggunakan cara-cara seperti menyebarkan ujaran kebencian, membuat teror, demontrasi brutal yang disertai pengerusakan. Itu ciri khas mereka mengacaukan suasana.
“Setiap aksi teror sudah pasti diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin massif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku,” imbuhnya
Masih kata Ken, aksi para teroris bukan semata kejahatan sesaat. Melainkan biasanya terjadi secara sistematis, terorganisir dan diorientasikan pada efek domino pasca-kejahatan itu dilakukan. Oleh karenanya, menurut Ken teror yang dibuat oleh kelompok teroris merupakan pesan yang dikonstruksi.
“Biasanya melalui pengemasan kematian yang dibuat sangat sadis, dramatis, chaos dan dapat menyebabkan situasi traumatik. Bagi para pelaku, bukan hanya sekadar meledaknya bom dan jatuhnya banyak korban melainkan lebih dari itu yakni publisitas teror melalui media massa dan perbincangan publik,” lanjutnya.
Sehingga hal tersebut memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan dunia internasional dan situasi yang serba tidak menentu. Selain itu aksi teror biasanya mengacu pada aktualisasi kebencian, frustrasi, disorientasi sosial, atau mungkin juga cara pandang yang keliru mengenai implementasi ideologi tertentu.
Pada praktiknya, dia membutuhkan sebuah panggung pertunjukkan untuk memalingkan perhatian publik pada tindakannya itu. Panggung yang memungkinkan tindakannya menjadi kejadian sangat luar biasa.
“Dengan demikian, teroris selalu menjadikan praktik terornya sebagai praktik menciptakan popularitas melalui kejadian sangat luar biasa. Mereka sangat sadar, bahwa setiap kejadian luar biasa dengan sendirinya akan diliput media massa. Aspek dramatis dan berdarah-darah yang ditampilkan oleh media itulah, yang menjadi publisitas teror sekaligus menebar horor, tak hanya di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional,” kata Ken.
Sementara itu, Densus menduga AW terpapar paham radikal ketika menjalani pidana penjara di Nusakambangan. AW bebas pada tahun 2020 lalu. AW yang masuk Jamaah Anshor Daulah (JAD), kelompok teror pendukung ISIS, kerap menggunakan Facebook dan Telegram dalam menyebarkan konten-konten radikalnya.
(Editor: Eka Setiawan)