Tantangan Memutus Mata Rantai Pendanaan Teror

Analisa

by Abdul Mughis

Aturan hukum di Indonesia sangat memanjakan lembaga-lembaga amal?


Fenomena “donasi sosial” melalui media sosial hingga saat ini masih bertebaran. Ini patut untuk diwaspadai. Sebab, aksi berkedok donasi sosial ini rentan dimanfaatkan oleh jaringan teror untuk penggalangan dana.

Ini menjadi tantangan untuk memutus mata rantai pendanaan teror. Baik tantangan dari dalam pemerintah maupun tantangan dari luar pemerintah.

Peneliti dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, M. Taufiqurrahman menyebut, penegakan hukum di Indonesia terkait Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini masih sangat lemah.

“Faktanya, banyak lembaga amal pendukung ISIS atau Al Qaeda bertebaran di media sosial. Tidak terdaftar atau ilegal. Mereka dengan bebas menggalang dana. Pertanyaannya, mengapa aparat kita seperti Densus 88 tidak menangkap mereka?,” katanya dalam diskusi “EU-Indonesia On Preventing and Countering Violent Extremism For Instructors Of Indonesian Migrant Workers” yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pada Jakarta 29-30 Agustus 2022 lalu.

Penegakan Hukum Lemah

Hal ini menunjukkan bahwa penanganan terhadap pendanaan terorisme ini masih lemah. Taufiq menyontohkan, berita di televisi ramai memberitakan Densus 88 menangkapi anggota JI saat menggalang dana menggunakan kotak amal beberapa waktu lalu.

“Sebetulnya, penggalangan dana oleh Syam Organizer itu sudah berlangsung sejak 2013, tapi baru bisa dilakukan penegakan hukum oleh polisi pada 2022. Jadi, butuh menunggu berapa tahun itu?” ujarnya.

Seharusnya, menurut Taufiqurrahman, begitu ditemukan indikasi, idealnya langsung dilakukan penanganan. Agar tidak banyak masyarakat tertipu.

“Cara mereka menggalang dana pun hampir sama dengan penggalangan dana sosial lain. Misalnya melalui platform kitabisa.com, mereka menggalang dana dengan menggunakan isu-isu umum, misalnya Bantu Penanganan Covid-19. Tetapi uangnya belum tentu untuk penanganan Covid-19, melainkan untuk membiayai operasional kegiatan mereka,” katanya.

Memanjakan Lembaga Amal

Taufiqurrahman menyebut, banyaknya lembaga amal yang beroperasi hingga saat ini tidak diikuti dengan pengawasan dan regulasi secara jelas dan tegas.

“Bahkan aturan hukum di Indonesia ini sangat memanjakan lembaga-lembaga amal,” katanya.

Undang-Undang (UU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme masih memiliki sejumlah kelemahan, yakni hanya menyasar pendanaan untuk kegiatan serangan terorisme secara langsung.

“Sedangkan pendanaan untuk rekrutmen anggota kelompok radikal, maupun pendanaan untuk lembaga sekolah milik pendukung ISIS misalnya, belum bisa dikenai oleh UU tersebut,” beber dia.

Pasal 8 dalam UU tersebut misalnya, hanya memberikan ancaman pidana kurungan maksimal tiga bulan atau denda paling tinggi Rp 10.000.

“Hukuman itu terlalu ringan dan tidak mempertimbangkan dampak penyalahgunaan dana publik bagi keamanan masyarakat. Tentu saja tidak membuat efek jera,” terang dia.

Padahal kalau pengurus lembaga amal ini menggelapkan uang donasi dari warga—menurut aturan pemerintah boleh mengambil 10-13 persen, tapi kalau lebih dari itu belum ada hukum yang tegas.

“Apa hukumannya apabila dia mengambil lebih dari apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah?,” ujarnya.

Kurangnya Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah

Selama ini, koordinasi antar lembaga pemerintah sangat minim. Lembaga keamanan seperti TNI dan Polri sebetulnya memiliki informasi mengenai keberadaan dan aktivitas individu maupun kelompok radikal.

“Namun mereka tidak melakukan koordinasi atau share data kepada lembaga lain, misalnya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” katanya.

Hal itu mengakibatkan perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, bank dan lain-lain tidak memiliki pengetahuan mengenai informasi individu maupun kelompok radikal. “Dampaknya, ada bank, perusahaan BUMN, ‘dirampok’ oleh kelompok teroris di Indonesia melalui pengajuan kredit danCorporate Social Responsibility (CSR),” katanya.

Menurutnya, seandainya perusahaan BUMN tersebut mengetahui data informasi kelompok radikal, seharusnya bisa menolak pengajuan proposal pengajuan dana tersebut.

Minimnya Sumber Daya Manusia

Densus 88 sejuah ini memiliki kinerja baik dalam membongkar jaringan terorisme. Tetapi diakui atau tidak, mereka masih belum memiliki orang di dalam kelompok-kelompok teror yang tersembunyi seperti Jaringan Islamiyah (JI) ini.

“Akibatnya, mata rantai pendanaan terorisme ini belum bisa dibongkar,” bebernya.

Hal tersebut merupakan beberapa tantangan dari dalam pemerintah yang perlu mendapatkan evaluasi. Sedangkan tantangan dari luar pemerintah, sedikitnya ada empat hal.

Di antaranya tekanan dari pendukung atau simpatisan kelompok radikal, pandainya kelompok radikal dalam operasi menggalang dana, rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pendanaan terorisme, serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan individu dan kelompok radikal.

Serangan Narasi Islamophobia

Para simpatisan kelompok radikal ini melakukan serangan narasi kepada pemerintah. Mereka akan selalu menuduh pemerintah  ketika ada penegakan hukum terhadap pendanaan terorisme sebagai Islamophobia.

“Orang menyumbang kok dilarang. Orang nyebarin kotak amal kok dituduh terorisme. Ini pasti bentuk kebencian terhadap Islam,” ungkapnya mengekspresikan narasi yang dilakukan oleh kelompok teror.

Selain itu, adanya narasi dari sejumlah politisi yang secara langsung maupun tidak langsung melakukan dukungan kepada kelompok teror.

“Misalnya, mereka sering menyuarakan pembubaran Densus 88, pembubaran BNPT dengan narasi bahwa pemerintah sekarang ini memerangi para ulama Islam,” terangnya.

BACA JUGA: Neo Fa’i Kelompok Teror Incar Bank dan BUMN  

Kelompok pendukung ISIS juga melakukan penyebaran kampanye negatif menggunakan narasi tuduhan bahwa Densus 88 sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Jadi, jika ada penindakan hukum terhadap kegiatan penggalangan dana (untuk membiayai terorisme), maka tindakan Densus itu disamakan dengan tindakan PKI dahulu terhadap umat Islam,” katanya.

Tantangan lain, pandainya kelompok radikal atau teroris ini beroperasi dalam penggalangan dana menggunakan yayasan-yayasan. Paling sulit adalah penggalangan dana secara konvensional. Ini biasa dilakukan oleh kelompok JI dan NII.

“Artinya, dana itu digalang atau dikumpulkan dari anggota. Misalnya seusai pengajian, para anggota memberikan infaq antara 2,5 persen hingga 10 persen. Nah, yang seperti ini sulit dilacak,” katanya.

Pemerintah tidak bisa memperoleh data bahwa kelompok teror tersebut memiliki dana berapa, termasuk penggunaannya untuk apa. “Apabila aparat keamanan tidak memiliki orang di dalamnya, tentu saja akan sulit melacak pendanaan mereka,” katanya.

Kurangnya Pendidikan Masyarakat

Tantangan lain adalah kurangnya pendidikan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat menyumbangkan uang ke lembaga yang salah. Masyarakat berpikir membantu anak yatim, tetapi mereka tidak mengetahui dana itu digunakan untuk membiayai pesantren ISIS.

“Sebaiknya, masyarakat kalau mau menyumbangkan dana melalui organisasi yang jelas saja. Misalnya, NU dan Muhammadiyah yang sudah terbukti uangnya tidak untuk membiayai terorisme,” ungkapnya. (*)

Komentar

Tulis Komentar