Menumbuhkan harapan di wilayah yang selalu dekat dengan kematian adalah hal tak mudah. Namun, manusia hidup dari harapan-harapan yang terus ada. Melalui film, salah satunya, realitas coba disajikan kepada masyarakat di waktu, tempat dan situasi berbeda.
Hal itu diungkapkan Amir Masoud Soheili film maker berusia 33 tahun asal Iran. Dia berbagi pengalaman tentang pembuatan film di daerah konflik, Minggu 28 November 2021 malam di kanal YouTube Madani Film Festival.
Sebagai outsiders, Masoud berbagai pengalaman membuat film di Afghanistan. Wilayah di mana, dalam pandangan mayoritas dan media, merupakan negara yang penuh konflik. Pada perjalanannya di Afghanistan, Masoud bertemu seniman Afghanistan bernama Aman, satu dari segelintir manusia yang percaya bahwa harapan selalu ada di tengah ketertindasan.
Aman ingin tetap bertahan di negaranya, meskipun Taliban mengambil alih pada Agustus lalu. Namanya sudah masuk dalam daftar nama orang yang akan dipindah ke negara lain. Namun, Aman percaya adanya harapan untuk tetap bertahan di Afghanistan, tanah kelahirannya.
“Pada film yang sedang digarap ini, dibantu masyarakat lokal Afghanistan. Ini untuk mempermudah mobilitas saat proses pembuatan film. Tentu, masyarakat Afghanistan lebih paham bagaimana kondisi di sana,” kata Masoud pada diskusi tersebut.
Teknis seperti ini pula dilakukan Masoud dalam pembuatan film pendek bertajuk Elephant Bird (2018). Berdurasi 15 menit, bercerita tentang keinginan seorang kakek di Afghanistan memberikan “burung gajah” alias kalkun kepada cucunya. Di wilayah normal, keinginan itu sangat mungkin dilakukan, tetapi di wilayah konflik keinginan sederhana ini sangat sulit diwujudkan.
Film-film karya Masoud sendiri telah diputar di 300 festival di dunia dan memenangkan lebih dari 40 penghargaan. Kekuatan utamanya, salah satunya, bisa menangkap fenomena Afghanistan dari sisi orang luar, mengemasnya dalam film yang menarik.
Menggunakan orang lokal dalam proses pembuatan film di daerah konflik ini juga dilakukan Garin Nugroho. Film maker berusia 60 tahun ini bercerita saat membuat film di Papua pada tahun 2000. Ketika itu Papua dalam konflik politik kongres Papua.
Garin berbagi cerita bahwa penting bagi pembuat film memiliki koneksi yang kuat dan memahami budaya tempat tersebut sehingga dapat meyakinkan masyarakat bahwa dirinya datang dengan niat baik.
“Dengan harapan dapat membuat film yang membangkitkan rasa kemanusiaan,” kata Garin yang juga jadi narasumber selain Masoud malam itu.
Pengalamannya yang lain, kata Garin, pembuat film sebagai “orang luar” akan dihadapkan dengan situasi tak terduga. Ini membuat mereka harus fleksibel dan kreatif dalam setiap prosesnya.
Sejalan dengan itu Garin mengungkapkan bahwa tradisi lisan yang fleksibel dalam pembuatan film di daerah berkonflik lebih diutamakan dari pada script atau naskah.
“Ketika ingin membuat film tentang harapan, kunjungilah daerah-daerah konflik. Itu dapat membuat rasa kemanusiaan kita bangkit,” lanjut pria asli Yogyakarta itu.
Pada Madani International Film Festival 2021 ini, memang selain menghadirkan puluhan film juga digelar berbagai diskusi untuk membahas isu-isu yang relevan dengan tema festival tahun ini. Tema besar tahun ini adalah Light atau Cahaya diartikan sebagai harapan.
Madani International Film Festival 2021: Menumbuhkan Harapan di Tempat yang Dekat dengan Kematian
Newsby Ari Vardhana 1 Desember 2021 10:42 WIB
Komentar