Kehilangan Rasa Kesadaran Soal Bubarkan Densus 88

News

by Administrator

oleh: Dr. Amir Mahmud (Direktur Amir Mahmud Center)

Narasi Direktur Pencegahan Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Kombes Pol M Rosidi yang menyebut kemenangan Taliban di Afghanistan dapat menginspirasi kelompok teroris di Indonesia, menurut hemat saya merupakan suatu kepastian. Bukan sesuatu yang mengada-ada.

Tentu, hal ini sudah melalui pendalaman kajian dari berbagai kasus terorisme di beberapa negara. Sebut saja seperti kelompok ISIS dan Jabha Nushro (JN) di Suriah yang berdampak pada hidupnya sel-sel tidur serta munculnya semangat kelompok-kelompok radikal ekstrim di Indonesia.

Pada konteks cultural activity sebagai loyalis terhadap pergerakan, di mana Islamophobianya? Tulisan ini merespons statemen anggota DPR Fadli Zon terkait keinginannya agar Densus 88 bubar.

Saya pikir, Fadli Zon kehilangan rasa kesadaran berbangsa dan bernegara. Di antaranya; karena pengalaman kekalahan masa Pemilu tahun 2019, yang sekarang hendak mencari dukungan kembali dari ormas Islam sebagai manuver politiknya untuk tahun 2024 nanti.

Densus 88 sebagai institusi yang diamanahkan Undang-Undang, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setidaknya telah menangkap 900 pelaku teror di Indonesia. Mayoritas adalah hasil penindakan pencegahan atau preventif strike.

Ini memberikan fakta bahwa kehadiran Densus dalam memperkecil ruang gerak teroris demi terciptanya keamanan dan kenyamanan di lingkungan masyarakat dikatakan sangat signifikan. Sebagai prestasi cemerlang.

Pasukan elite Polri berlogo burung hantu di masa kepemimpinan Irjen Pol Marthinus Hukom mengalami suasana yang penuh rasa damai dan tentang dalam melakukan sejumlah penangkapan para teroris tanpa perlawanan.

Tak hanya itu, sejumlah eks narapidana terorisme (napiter) yang berhasil dirangkulnya dengan pendekatan personil juga mengisyaratkan Irjen Marthinus berhasil dan berani mengambil peran dalam pencegahan perkembangan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Jika saja para politisi tidak memandang ke depannya Indonesia aman dan damai dengan tidak mengedepankan kepentingan golongannya, tentu tidak akan memberikan penilaian buruk ataupun justifikasi kepada lembaga negara yang selama ini berkonsentrasi dalam penanganan pencegahan dan penindakan hukum terhadap pelaku teror.

Melihat apa yang disampaikan Fadli Zon dengan kata bubarkan Densus 88 dalam akun Twitter @fadlizon, dan sebagaimana dikutip Arrahmahnews.com, yang menyebutkan bahwa narasi petinggi Densus 88 Kombes M Rosidi adalah Islamophobia adalah tidak benar apalagi dengan dalih dunia sudah berubah.

Fadli Zon dalam konteks ini telah kehilangan akal sehat di mana polarisasi perkembangan pergerakan ideologi di era globalisasi mengubah perilaku.

Kemampuan kelompok brutal Taliban yang dahulu pernah merebut  kekuasaan yang sah ditahun 1996-2001 dengan yel-yel agama dapat memberikan inspirasi bagi kelompok radikal dan imun sebagai ikon bagi para teroris di Indonesia.

Di sisi lain, berapa banyak eks napiter yang kambuh? Kembali melakkan aksi kejahatan kemanusiaan setelah lepas masa tahanan?

Upaya Direktur Pencegahan Densus 88, Kombes M Rosidi, dalam memberikan narasi tentang “Kemenangan Kelompok Taliban di Afghanistan  menginspirasi kelompok teroris di Indonesia meski memiliki paham berbeda soal agama”, saya katakan: sangat tepat.

Tidak ada pemaknaan secara eksplisit mengandung pengertian Islamophobia kecuali bagi mereka politisi busuk yang memiliki kepentingan dan tidak menginginkan Indonesia aman dan damai.

 

 

Komentar

Tulis Komentar