MIT Bermutasi Jadi Ancaman Baru bagi NKRI

News

by Kharis Hadirin

Pasca tewasnya Santoso alias Abu Wardah, gembong pimpinan kelompok teroris paling aktif di Indonesia, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah, pada Senin (18/7/2016) silam, nama Ali Kalora yang semula senyap mendadak tenar. Pasalnya, Muhammad Basri alias Bagong yang sejak awal digadang bakal menggantikan peran Santoso, justru lebih dulu ditangkap.

Sementara perjuangan belum usai, sehingga kepemimpinan baru harus segera ditentukan agar organisasi tidak berjalan timpang. Dan dari disinilah muncul nama Ali Kalora.

Melalui sebuah rekaman video yang beredar pada pertengahan 2018, dengan gagahnya Ali Kalora menyatakan bahwa dirinya akan tetap melanjutkan jejak pergulatan yang telah diwariskan oleh Santoso. Bahkan tanpa ragu, dirinya juga para mujahidin agar menyegerakan aksi amaliyah dengan menargetkan markas-markas kepolisian yang selama ini menghalangi jalan jihad fie sabilillah.

Setelahnya, jalan jihad yang ditampilkan oleh Ali Kalora dan kelompoknya tak ubahnya sebagai tindakan penuh brutalitas nan keji dengan menumpahkan darah sesuka hati tanpa ada rasa belas kasih. Bahkan penduduk yang tak berdaya pun tak luput dari aksi sadis yang mereka klaim sebagai perintah Ilahi.

Ini adalah peristiwa nyata yang terjadi di tanah berjuluk Sintuwu Maruso, sebuah wilayah yang jauh dari pusat Ibu Kota Jakarta. Operasi penindakan dengan berbagai nama sandi pun sudah digelar berjilid-jilid, bahkan menghabiskan dana hingga ratusan milyar rupiah. Nyatanya, media-media lokal tak henti menampilkan berita korban kebiadaban kelompok ini lagi dan lagi.

Entah sampai kapan lagi bumi pertiwi merayakan ulang tahunnya ke sekian kali, persoalan Tanah Poso baru bisa teratasi?

Trend aksi penggal kepala   

Pasca tragedi pembantaian yang dilakukan oleh MIT terhadap 4 warga Sigi, 4 orang kembali lagi-lagi menjadi korban kebiadaban kelompok ini. Peristiwa ini terjadi pada Selasa (11/5) lalu sekitar pukul 08.25 Wita, tepatnya di Desa Kalemago, Kec. Lore Timur, Kab. Poso, Sulawesi Tengah.

Para korban yang diketahui berprofesi sebagai petani ini, ditemukan tewas di dua lokasi yang berbeda. Rata-rata korban meninggal dalam kondisi kepala telah terpisah. Aksi penggal kepala, agaknya sudah jadi trend bagi kelompok ini dalam menghabisi orang-orang yang dianggap sebagai musuhnya.

Berdasarkan pantauan lapangan reporter Kompas, Kamis (13/5), pelaku diketahui berjumlah 5 orang. Dan salah satu diantaranya adalah Qatar alias Farel alias Anas, DPO asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Mereka menyandera 3 orang, dan satu berhasil melarikan diri. Sementara 2 lainnya akhirnya ditemukan tewas. Dalam penelurusan yang dilakukan oleh Satgas Madago Raya, ditemukan 2 korban lain lagi yang juga dalam kondisi serupa. Sehingga total ada 4 orang yang tewas dalam peristiwa naas tersebut.

Menindak lanjuti persoalan ini, banyak kalangan yang mengeluarkan kritik tajam atas sikap diamnya pemerintah. Pasalnya, kebiadaban yang dilakukan oleh kelompok MIT ini seolah terlupakan seiring naiknya isu ketengangan antara Palestina dan Israel.

Banyak kalangan menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai cenderung lebih mementingkan urusan negara orang lain daripada rakyat sendiri.

Salah satu akun akun Twitter, Lin Aprilia (@Lin_Apr1lia) menuliskan dalam tweetnya. “Berita ttg tragedi Poso tengelam oleh konflik Palestina Israel. Kita peduli pada konflik nun di negeri jauh sana - yg sudah berkarat puluhan tahun di era sejarah modern dan mengabaikan tragedi di dalam negeri sendiri.”

Di instagram, seorang penyanyi dan pencipta lagu kondang menangisi penderitaan anak anak Palestina. Tapi tak ada suaranya pada anak-anak Poso korban pembantaian kelompok radikal (MIT),” lanjut Lin Aprilia.

Tread Lin Aprilia ini sempat ramai dan menjadi trending topik di jagat Twitter. Banyak warganet yang menyesalkan sikap pemerintah yang dipandang tebang pilih. Bahkan, tidak sedikit pula dari mereka yang mengaitkan sikap pemerintah dengan adanya kecenderungan pada agama tertentu.

Hingga sampai saat ini, Tim Satgas yang ditugaskan di lapangan belum juga membuahkan hasil maksimal. Termasuk melakukan penangkapan terhadap Ali Kalora dalam kondisi hidup atau pun mati.

Mutasi kelompok MIT

Semenjak peristiwa penyerangan terhadap warga Desa Kalemago, Kec. Lore Timur, Kab. Poso, pada Selasa (11/5) lalu, diberitakan jika kelompok ini mulai bergerak secara terpisah dengan bermutasi menjadi dua bagian. Kelompok pertama dipimpin Ali Kalora, dan yang kedua dipimpin oleh Qatar alias Farel.

Qatar sendiri bukanlah ‘anak kemarin sore’. Pria asal Bima ini bahkan diduga sudah bergabung jauh semenjak masih bersama Daeng Koro alias Sabar Subagyo alias Autat Rawa, pria jebolan Kopassus yang tewas pada Senin (13/4/2015).

Sebelum lahir MIT, Poso sempat menjadi basis pelatihan militer bagi kelompok-kelompok jihad yang ada di Indonesia. Dan Daeng Koro merupakan sosok paling bertanggung jawab dalam pelatihan tersebut. Sampai pada 2011, nama Santoso muncul dan mulai mendeklrasikan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Walau demikian, beberapa kalangan justru menyebut bahwa Santoso hanyalah korban media. Pasalnya, banyak pihak yang justru meragukan kemampuan Santoso, baik dari sisi pengetahuan agama maupun penguasaan militer. Namun karena media terus menerus memberitakan Santoso secara intens, namanya perlahan naik dan menggeser populeritas Daeng Koro.

Tim Ruangobrol sendiri berhasil mengkonfirmasi kepada Abu Faqih alias Sa’ad, salah satu mantan narapidana kasus terorisme asal Poso yang juga mantan anggota Daeng Koro. Saat dihubungi pada Rabu (9/6), dirinya menjelaskan soal bagaimana sulitnya medan pegunungan yang saat ini dikuasai kelompok MIT. Dirinya juga mengaku tidak menampik soal kabar yang beredar tentang pembagian kelompok MIT saat ini.

Iya, katanya sih begitu, Jo!” ujar Abu Faqih melalui komunikasi Whatsaap.

Langkah tersebut diambil, setelah posisi kelompok ini makin tersudut sejak penyerangan di Sigi sebelumnya. Bahkan pada Sabtu (6/3) lalu, Ali Kalora dikabarkan tertembak dalam kontak senjata di sekitar Andole, Poso Pesisir Utara, Sulawesi Tengah. Namun ia berhasil meloloskan diri dan tidak diketahui lagi kondisinya hingga kini.

Mutasi kelompok MIT menjadi dua bagian, bisa diartikan sebagai langkah strategis untuk memecah konsentrasi aparat, dan tentunya akan menjadi PR baru bagi tim Satgas. Di tambah lagi, persoalan medan pegunungan di Poso yang juga tidak bisa dianggap remeh. Kondisi puncak pegunungan yang bersambung menjadi beban tersendiri bagi pasukan Satgas Madago Raya.

Gunung Biru yang menjadi tempat pelarian kelmpok MIT sendiri memiliki luas sekitar 2.400 hektare yang membentang dari kawasan Napu di Kab. Poso, hingga Sausu di Kab. Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Seperti diketahui, kelompok MIT sudah menghuni pegunungan Biru di kawasan Poso ini sejak 2011 silam. Pasca peristiwa penembakan pos di depan Bank BCA Palu, Rabu (25/5/2011) yang mengakibatkan tewasnya tiga anggota kepolisian Polda Sulteng, Santoso dan anggotanya memilih pegunungan sebagai tempat pelarian. Sejak saat itu pula, Santoso dan anggotanya memutuskan untuk hidup bergerilya di tengah hutan.

Kemampuan untuk melakukan pemetaan, pengetahuan medan dan survival hutan, menjadi modal besar bagi setiap anggota MIT untuk bertahan hidup. Artinya, kelompok MIT bisa dikatakan jauh lebih menguasai medan daripada pasukan Satgas yang memiliki kemampuan tempur yang handal sekalipun. Hal ini tentunya juga menjadi tantangan besar bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan. Karenanya, tanpa perencanaan matang dan pengetahuan medan yang cukup, hal ini hanya akan menjadi langkah sia-sia yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Wallahu’alam bisshowab

Komentar

Tulis Komentar