Radikalisasi di Balik Jeruji: Narasi Penindasan hingga Jalur Pernikahan

News

by Eka Setiawan

Radikalisasi di balik jeruji penjara bisa berlangsung dengan interaksi langsung. Namun, belakangan media sosial juga dimanfaatkan para pelaku teror menyebarkan doktrin-doktrinnya.

Mereka yang jadi sasaran juga mulai meluas. Mulai dari narapidana umum, narapidana terorisme (napiter) dari pasif digiring jadi aktif, sipir, pembesuk hingga perempuan yang bahkan jauh dari lingkungan penjara itu sendiri.

Hal itu diungkapkan dua mantan napiter yakni Machmudi Hariono alias Yusuf dan Joko Tri Harmanto alias Jack Harun. Keduanya jadi pembicara Webinar Talk Show bertajuk "Cerita Radikalisasi di Balik Jeruji Penjara" diselenggarkan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Rabu 23 Juni 2021.

"Ada yang sampai menikah (direkrut via media sosial) laki-lakinya di penjara perempuannya di luar. Ini (perekrutan) lewar media sosial menikahnya juga lewat media sosial," kata Jack pada webinar yang diikuti Ruangobrol.id via Zoom itu.

Joko Tri Harmanto alias Jack Harun[/caption]

 

Jack yang dulu tersangkut kasus Bom Bali I dengan membuatkan detonator bom itu melanjutkan, radikalisasi juga menyasar pembesuk. Dia mengatakan, jika ada napiter ditahan seringkali pembesuknya membawa teman baru untuk dikenalkan.

"Kemudian berempati, mereka (pembesuk) bawa teman akhirnya tambah banyak anggotanya, dulu ikut temannya membesuk kemudian datang sendiri, akhirnya jadi," lanjutnya.

Narasi-narasi yang digunakan untuk perekrutan, kata Jack, biasa berkutat pada 3 hal. Pertama adalah umat Muslim yang ditindas, ketidakadilan hingga faktor ekonomi.

Prosesnya akan berlangsung sedikit demi sedikit hingga tergelincir masuk kelompok radikal.

Narasi seperti itu pula, diakui Jack, yang sempat menyeretnya ke lingkaran radikalisme. Berawal dari pengajian tak resmi di lingkungan SMA di Kulon Progo DIY, membahas konflik lokal maupun global di mana terjadi penindasan kepada umat Muslim, Jack ketika itu berempati.

Walaupun sempat kaget karena kakak-kakak kelasnya yang mengajak pengajian itu ditangkap polisi, Jack akhirnya malah makin mantap.

"Tujuan kami ketika itu dari pengajian itu agar kami siap diterjunkan ke daerah-daerah, tujuannya kami ini ingin mendirikan Negara Islam Indonesia-NII. Saat itu juga ada azas tunggal (Azas Tunggal Pancasila) kami sempat memusuhinya, melawan rezim Soeharto ketika itu," jelasnya.

Jack yang kini jadi Ketua Yayasan Gema Salam -menaungi mantan-mantan napiter khususnya di Solo Raya- mengajak semua lapisan masyarakat andil untuk melawan perekrutan-perekrutan kelompok radikal teror tersebut.

"Kami kampanye ingin Indonesia damai tapi ada juga yang kampanye ingin Indonesia rusuh. Di Indonesia pasti lebih banyak yang tidak radikal daripada yang radikal. Mari banjiri media sosial dengan konten-konten yang positif," ajak pria kelahiran Kulon Progo DIY itu.

Sementara itu, Yusuf mengatakan radikalisasi di dalam penjara juga disebabkan karena interaksi napiter dengan napi umum yang tak bisa dikontrol sepenuhnya oleh petugas. Pun juga dengan pembesukan.

Tahun 2003 silam ketika ditangkap Densus 88, Yusuf kemudian divonis pengadilan 10 tahun penjara menjalani hukuman 5,5 tahun karena mendapatkan pembebasan bersyarat. Masa tahanannya 2 tahun di penjara Polda Jateng, 2 tahun 6 bulan di Lapas Semarang dan 1 tahun di Nusakambangan Cilacap.

"Saya hitung di Polda Jateng saya berinteraksi dengan 1500 tahanan lain (semasa penahanan), di Kedungpane (Lapas Semarang) saya sudah berinteraksi dengan 5000 napi lain, Napiter biasanya lebih dihormati oleh napi kasus lain. Kalau di Lapas Semarang saya juga sempat bersama 17 napiter lain, satu blok kamar 1 sampai kamar 17, tiap kamar 1 orang," kata Yusuf yang juga Ketua Yayasan Persadani ini, yayasan yang menaungi mantan napiter khususnya di pantura Jateng.

Machmudi Hariono alias Yusuf.

 

Walaupun di kamar sendirian, kata Yusuf interaksi dilakukan ketika ada kesempatan ke luar kamar. Termasuk ketika pukul 16.00 WIB hingga Subuh di dalam kamar ada petugas yang cek, di situlah interaksi dengan petugas. Interaksi bisa berupa mengobrol santai, berjualan buku, bahkan mengajar mengaji atau cerita-cerita religi.

"Untuk pembesukan (napite) sebenarnya sudah ketat, dicek Densus dari KTP, alamat dan difoto, tetapi ternyata masih ada penyusupan-penyusupan," lanjut pria asli Jombang Jawa Timur itu.

Baik Jack maupun Yusuf kini terus aktif dengan kegiatan-kegiatan positif. Untuk menangkal paham radikal teror ini mereka mengatakan perlu perhatian sesamanya terutama keluarga. Sebab, orang di dalam penjara pasti sangat butuh bantuan dari orang di luar penjara.

"Masuk jaringan prosesnya panjang meninggalkan jaringan juga perlu proses panjang," tutup Yusuf.

FOTO-FOTO: RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

 

Komentar

Tulis Komentar