Kisah Mantan Narapidana: “Menjadi Orang Benar itu Ternyata Susah Pak Ustaz”

Analisa

by Arif Budi Setyawan 1

Bila Anda masih memiliki keluarga yang menyayangi Anda, maka banyak-banyaklah bersyukur. Karena di dunia ini banyak orang yang ingin berbuat baik tapi tidak memiliki kesempatan. Juga ada orang-orang yang tak memiliki keluarga lagi. Seperti yang orang yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini.

Saya akan menceritakan kepada Anda sebuah kisah sedih menjelang Idul Fitri kemarin. Tentang seorang mantan narapidana lansia kasus narkoba yang sedang berusaha untuk hidup di jalan yang benar. Saat ini ia sedang hidup terlunta-lunta di Jakarta tidak ada keluarga yang mau menerima dan teman-temannya pun enggan membantu. Jangankan membantu, yang mau menerima kedatangannya pun sedikit.

Hingga akhirnya ketika harapan semakin tipis ia menghubungi saya. Rupanya ia masih menyimpan nomor kontak saya yang memang tidak berganti sejak dari penjara dalam sebuah buku catatan. Ia sangat berharap saya bisa membantu mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang ia hadapi. Saat ia menghubungi saya itu, ia baru saja kabur dari kediaman pendeta yang mempekerjakannya tanpa gaji selama sebulan terakhir.

“Ustaz Arif, saya sangat terpaksa menghubungi pak ustaz. Habisnya saya tidak tahu lagi kemana saya akan mencari teman yang mau menerima saya”, begitu kurang lebih isi pesan SMS pertamanya.

Sedih hati saya membacanya. Kenapa sedih? Karena saya tahu proses bagaimana ia akhirnya benar-benar ingin berhenti dari dunia hitam. Meskipun berbeda agama, tapi keinginannya untuk berhenti dari dunia hitam itu patut diacungi jempol. Dulu saya biasa berbagi lauk, makanan, dan memberinya obat-obatan gratis bila ia sakit. Dia masih meyakini saya akan bisa membantunya karena menurutnya saya adalah orang yang tulus jika membantu orang tanpa melihat status orang yang ditolong.

Awal Hubungan Pertemanan

Saya mengenal Koh Fery –begitu saya memanggilnya-- sejak ia dipindahkan ke selasar (deretan kamar/sel) yang sebenarnya khusus untuk dihuni oleh para narapidana teroris (napiter). Namun karena masih ada 5 sel tersisa, maka diisi dengan 10 orang napi lansia yang terpilih secara acak. Dari 10 orang napi lansia yang bertetangga dengan saya itu, 4 di antaranya bergama Nasrani. Termasuk Koh Fery.

Nama lengkapnya Fery Setiawan. Saat ini ia telah berumur 59 tahun. Seorang pria tua beretnis China Betawi tapi terjerumus ke dunia hitam sejak muda. Hukuman terberat yang pernah ia jalani adalah kasus perampokan yang menyebabkan korban jiwa. Divonis 15 tahun penjara dan menjalani hukuman di Lapas Batu Nusakambangan. Bebas di awal 2014 setelah menjalani hukuman selama 8 tahun dan mendapatkan pembebasan bersyarat. Tahun 2015 kembali tertangkap. Kali ini kasus peredaran narkoba. Mendapat vonis 8 tahun plus subsider 3 bulan.

Kenapa tidak ada keluarga yang mau menerimanya pasca bebas? Ceritanya panjang. Saya mendapatkan jawabannya ketika dulu saya menanyakan kepadanya, kenapa tidak pernah melihatnya dikunjungi oleh keluarganya? Sebuah kisah yang ‘tragis’ namun kemudian juga mengungkapkan alasan ia benar-benar ingin bertobat.

Kisah Tragis Karena Egois

Awalnya Koh Ferry adalah seorang pebisnis sukses. Di tahun 1993 ia telah memiliki sebuah showroom mobil bekas di daerah Pecenongan. Bisnis jual beli mobil bekas itu ia rintis sejak 1989 dari menjadi broker sampai bisa punya showroom sendiri. Namun, sekira tahun 1994 bisnisnya mulai sepi. Persaingan semakin ketat.

Di saat bisnisnya sepi itulah ia tergoda untuk ikut berjudi. Di situlah awal dari terjerumusnya ia ke lembah dunia hitam. Gara-gara suka berjudi, hutang semakin menumpuk. Rumah dan mobil disita bank. Sampai tidak punya apa-apa lagi. Istrinya pun meminta cerai dengan membawa anaknya yang saat itu berumur 4 tahun.

Sadar rumah tangganya hancur karena ulahnya, ia kemudian mencari pekerjaan yang halal. Beruntung ia mendapat pekerjaan di pabrik boneka di daerah Tangerang sebagai sopir mobil distribusi. Beberapa waktu kemudian ia menemukan seorang gadis yang mau menerimanya. Menikahlah ia yang kedua kalinya dengan gadis itu. Sampai ia dikaruniai seorang putri. Tahun 1998 pabrik boneka itu bangkrut karena konflik di antara bos perusahaan. Ditambah lagi krisis moneter 1998 dan kerusuhan Mei 1998 yang memperburuk keadaan.

Tidak ada pekerjaan membuatnya kembali suka berjudi. Terkadang menang tapi lebih sering kalah. Sehingga hutang pun menumpuk di sana sini. Istri yang kedua ini pun akhirnya meminta cerai dengan membawa anak berumur 2 tahun.

Tahun 2000 ia kembali mendapatkan pekerjaan di perusahaan garmen di daerah Jakarta Utara. Di sana ia bertemu dengan salah satu karyawati yang mau menerima dirinya. Menikahlah ia untuk yang ketiga kalinya. Tahun 2002 ia di-PHK karena pabrik garmen itu bangkrut setelah dilanda banjir besar. Dan lagi-lagi Koh Fery tergoda untuk berjudi. Mirip dengan dua kasus sebelumnya, istri yang terakhir ini pun memilih pulang kampung. Tapi belum meminta cerai. Sesekali Koh Fery jika sedang ada uang masih pulang ke kampung istrinya untuk melepas rindu.

Namun masalahnya adalah, uang yang ia peroleh itu hasil dari kejahatan. Koh Fery membuat sebuah komplotan perampok bersama orang-orang yang hidupnya hancur karena judi seperti dirinya. Tahun 2006 ada korban perampokan yang melawan sehingga akhirnya dibunuh oleh komplotan Koh Fery. Kasus inilah yang membawanya ke penjara untuk pertama kalinya dengan vonis pidana 15 tahun.

Istrinya yang terakhir sangat kecewa dan marah kepadanya karena kasus itu. Dan akhirnya minta cerai dan tak sudi lagi mengurusnya. Jadi, selama di penjara ia tak pernah dibesuk oleh keluarganya. Para mantan istrinya semua pergi dengan membawa kebencian. Ditambah lagi Koh Fery tidak pernah kasih perhatian kepada anak-anak dari mantan-mantan istrinya yang sebelumnya. Selalunya yang diperhatikan adalah istri terakhir. Dan istri terakhir pun akhirnya juga pergi dengan membawa kebencian.

Lalu kemana orangtua dan saudaranya yang lain? Ayahnya sudah lama meninggal sejak ia masih remaja. Sedangkan ibunya dan satu-satunya saudara yang ada sudah menghilang sejak kerusuhan Mei 1998. Hingga hari ini ia tak tahu kemana rimbanya. Pasca kerusuhan Mei 1998 ia berkunjung ke rumah ibunya dan diberitahu oleh satpam komplek bahwa rumah itu sudah berganti pemilik.

Awal tahun 2014 Koh Ferry bebas dari penjara. Hal pertama yang ia lakukan adalah menemui mantan istrinya yang terakhir. Satu-satunya mantan istri yang belum menikah lagi. Berharap mau menerimanya kembali. Tapi ternyata menolaknya mentah-mentah. Merasa tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa menerimanya, ia pun dengan mudahnya memutuskan untuk menjadi pemain di bisnis narkoba. Memanfaatkan jaringan narkoba yang ia kenal ketika di penjara.

Bisnis narkoba itu luar biasa cepat dalam hal menghasilkan uang. Kurang dari setahun dirinya bisa membeli apartemen senilai 350 juta. Punya mobil dan lain-lain. Sayangnya uangnya habis untuk foya-foya. Bukan untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anaknya atau dengan mantan-mantan istrinya. Itulah yang paling ia sesali setelah kembali masuk penjara untuk yang kedua kalinya.

Tahun 2015 ia masuk penjara kasus peredaran narkoba. Beruntung bisa dapat vonis hanya 8 tahun dan subsider 3 bulan. Namun semua hartanya habis dikuras oleh pengacara dan kroni-kroninya. Jika tidak begitu mungkin ia bisa memperoleh vonis 15 tahun ke atas.

Awal Pertobatan

“Saya benar-benar menyesal pak ustadz. Selama ini saya egois. Hanya memikirkan diri sendiri. Ketika ‘dibuang’ oleh keluarga, saya tidak memperbaiki diri, malah ingin membuktikan bahwa saya masih bisa berjaya lagi tanpa mereka”, itulah kata-kata yang mengakhiri cerita kisah perjalanan hidupnya.

“Ketika bebas nanti saya mau jual sebelah ginjal saya dan uangnya akan saya berikan kepada anak-anak saya, sebagai bukti penyesalan saya. Dan saya akan buktikan bahwa saya siap menderita asalkan bisa hidup normal lagi tanpa masuk dunia hitam lagi”.

“Di penjara ini jika saya masih mau main narkoba, saya masih bisa pak ustadz. Tapi saya memilih menderita, makan apa adanya. Biarlah penderitaan ini menjadi penebusan dosa-dosa saya”.

Sejak ia curhat seperti itu, saya berusaha untuk menjadi orang yang menguatkan tekadnya. Saya tahu ia pasti akan mengalami banyak kesulitan dan godaan. Dan, itu terbukti dengan ceritanya yang terakhir ia ceritakan beberapa hari yang lalu.

Menjadi Orang yang Benar itu Ternyata Susah

“Ustadz, apakah ada teman di Jakarta atau di mana lah yang bisa memberikan saya pekerjaan dan tumpangan buat menyambung hidup?”, tanya Koh Fery di awal percakapan melalui sambungan telepon beberapa hari yang lalu.

“Lha emang sudah tidak ada lagi kawan Koh Fery yang bisa bantu di sekitar situ?”, saya balik bertanya.

“Saat ini saya sudah buntu mau cari jalan keluar. Sempat ikut pendeta yang saya kira baik, ternyata sebulan saya kerja tidak digaji. Makan pun kurang layak. Jadi saya kabur dari pendeta itu. Datang ke teman-teman pada ketakutan menerima saya. Ada beberapa yang mau bantu kasih uang sekedar buat beli makan tapi yang mau bantu gini semuanya masih pada main narkoba. Kalau saya minta pekerjaan ke mereka, pasti disuruh main narkoba lagi. Saya malas datang lagi ke mereka. Khawatir bantuan mereka ada buntutnya. Saya kan mantan perekrut juga dulu, jadi saya tahu lah modus-modusnya. Saya hanya ingin hidup benar pak ustadz. Kalau saya mau jahat saya bisa saja bawa kabur mobil pendeta itu atau jadi kurir narkoba”.

“Saya ingat ustadz Arif, orang baik yang di lapas suka bantu orang. Dan mungkin satu-satunya orang yang akan tetap mendukung usaha saya menjadi orang yang benar di saat seperti ini. Minimal saya bisa dapat nasehat yang menguatkan. Tolonglah ustadz, bagaimana cara agar saya bisa bertahan. Syukur kalau bisa kasih solusi”, jelasnya dengan suara yang bergetar.

Saya tertegun mendengar permintaannya. Di sini jiwa saya terpanggil untuk membantunya. Membantu orang yang ingin berhenti dari dunia hitam berarti membantu mengurangi angka kejahatan. Dan yang seperti ini tidak peduli apa agama atau etnis si mantan penjahat yang ingin tobat. Karena kejahatan adalah persoalan sosial.

Namun di sisi lain saya sendiri pun belum tahu bagaimana memberikan solusi jangka panjang. Untuk jangka pendek mungkin saya bisa bantu sekedarnya. Idealnya saya bisa memberinya pekerjaan atau membantunya mendapatkan pekerjaan. Saat ini saya sedang mengupayakan mencarikan pekerjaan untuknya tapi belum dapat. Memang agak sulit mendapatkan pekerjaan orang seusia Koh Fery. Yang mempekerjakannya harus banyak maklum dan dermawan.

Jika ada pembaca ruangobrol.id yang berkenan membantu atau bisa memberinya pekerjaan bisa hubungi saya melalui email: [email protected]. Saya akan berikan biodata dan foto terakhirnya.

Koh Ferry bisa mengemudikan mobil kalau hanya untuk dalam kota, masih cukup kuat untuk pekerjaan rumah tangga, atau jaga toko. Orangnya cukup supel dan ramah. Namun saat ini belum memiliki KTP/SIM. Koh Fery juga tidak menuntut gaji banyak-banyak. Sekedar bisa makan dengan layak dan dapat tempat tinggal sudah cukup.

Saya menuliskan kisah Koh Fery juga bagian dari strategi saya untuk membantunya. Bila ada yang ingin tahu kisahnya bisa merujuk ke tulisan ini. Semoga ada yang bisa membantu secepatnya.

Komentar

Tulis Komentar