Kepala Detasemen Khusus Anti Teror 88 (Densus 88) Mabes Polri, Irjen. Pol Martinus Hukom, S.IK, M.H mengajak semua pihak dalam terlibat dalam upaya pencegahan kasus residivisme narapidana terorisme. Menurut Martinus, untuk meradikalisasi narapidana terorisme (napiter) menjadi tidak radikal lagi bukan perkara yang mudah.
“Kita kan tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Deradikalisasi proses yang sangat panjang. Kita berharap 3,4 tahun kecuali. Bisa juga mungkin lebih dari itu,” kata Martinus Hukom dalam diskusi yang digelar Universitas Airlangga Surabaya, dua minggu lalu (3/12).
Lebih lanjut, Martinus menjelaskan proses deradikalisasi terhadap napiter sudah dimulai dari sejak ia ditangkap. Menurut Martinus saat ditangkap, tersangka sama sekali sekali tidak disinggung soal kasusnya, melainkan fokus kepada profiling terhadap sang tersangka.
“Proses deradikalisasi sudah dimulai sejak menit pertama seseorang itu ditangkap. Bahkan bisa sebelum itu. Kita mempelajari semua sisi orang tersebut, kesukaaannya apa. Bahkan dia ada masalah apa. Kita pelajari,” jelas Martinus lagi
Masih kata Martinus, program deradikalisasi dilakukan melalui beberapa proses. Sebagai contoh, beberapa napiter secara pemikiran Napiter tersebut masih keras memegang ideologi takfiri, tetapi sudah meninggalkan perbuatan kekerasan. Akan tetapi lanjut Martinus, ada juga Napiter yang memang berubah total menjadi moderat
“Ada beberapa tipe kelompok Napiter ini setelah keluar dari Lapas. Ada yang menjadi moderat. Ada juga mereka ini masih radikal tapi sudah menghindari perbuatan kekerasan. Kita menjaga mereka ini agar tidak kembali mengulangi perbuatannya,” kata Martinus
Karena itu, saat Napiter tersebut hendak keluar dari Lapas, Densus 88 sudah melakukan prakondisi dengan mengumpulkan Pengurus RT dan RW di wilayah tempat Napiter tersebut tinggal. Selain itu, Densus 88 juga mengundang tokoh agama dan masyarakat setempat. Dalam forum tersebut, Densus 88 meminta kepada warga agar menerima kembali mantan napiter.
“Ketika mereka keluar kita jemput bukan sebagai tahanan. Kita panggil RT, RW, Ustad, Semua kumpul. Tolong terima mereka. Peran masyarakat sangat penting, kesadaran sangat penting,” imbuh Martinus.
Hal senada disampaikan oleh Peneliti Terorisme Noor Huda Ismail. Menurut Alumni Pesantren Ngruki Solo tersebut, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya residivisme kasus terorisme kembali. Berdasarkan hasil studinya salah satu faktornya terjadinya residivisme adalah karena adanya penolakan masyarakat. Karena itu menurut Noor Huda dirinya melalui komunitas Ruangobrol menginisiasi program Penguatan Masyarakat melalui program RT dan RW.
”Jadi ketika ada Napiter hendak bebas setahun atau setengah tahun sebelumnya kita buat program di mana tempat napiter tersebut akan bebas. Kita berikan penjelasan ke masayarakat. Harapannya dari program ini masyarakat bisa menerima mantan napiter tersebut kembali ke tengah masyarakat,” kata alumni Monash University of Austarlia tersebut.