Empat Faktor Terjadinya Residivis Terorisme di Indonesia

News

by Akhmad Kusairi

Dosen Prodi Kajian Terorisme Univeristas Indonesia Sapto Priyanto mengatakan tingkat residivisme terorisme di Indonesia terus mengalami peningkatan. Misalnya dari kasus Pelatihan Militer Jalin Jantho Aceh, Bom Thamrin, Bom Kampung Kampung Melayu, dan yang paling baru kasus Bom Surabaya.

“Nah yang perlu diperhatikan khusus adalah kasus bom Surabaya yang salah satu pelakunya pernah mengikuti program deradikalisasi BNPT,” kata Sapto dalam Webinar Strategi Pencegahan Residivisme teroris di Indonesia yang diselenggarakan oleh Sekolah Kajian Strategik Global Universitas Indonesia Rabu (23/9/2020)

Lebih lanjut Sapto menjelaskan secara umum program deradikalisasi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama Pra Lapas. Di bagian ini Densus Anti Teror sangat dominan. Karena Densus lah yang menangani dari sejak penangkapan hingga ke penuntutan. Selain itu menurut Sapto Densus 88 juga melakukan identifikasi sekaligus intervensi terhadap Napi Teroris.

“Pra Lapas, densus punya peran sangat penting. Mereka sudah mengidentifikasi. Tidak hanya identifikas Densus juga melakukan intervensi melalui hasil dari identifikasi tersebut, misalnya kebutuhannya apa, ekonomi dan budaya,” imbuhnya

Sementara ketika sudah di Lembaga Pemasyarakatan lembaga yang terlibat lebih banyak. Misalnya BNPT yang melakukan assessment dan intervensi melalui agama, psikologi dan ekonomi, dan kebangsaan. Ada juga lembaga-lembaga non Pemerintah seperti AIDA, YPP yang melakukan program intervensi terhadahap Napi Teroris.

“Di Lapas ini banyak lembaga yang terlibat namun tidak ada yang kerjasama dengan BNPT. Hal itu kemudian menjadi masalah ketika pasca Lapas. Sehingga wajar kalau terjadi residivisme,” tutur Sapto yang sudah lama berkecimpung dalam intervensi Napiter ini

Lebih lanjut Sapto menjelaskan bahwa ada empat alasan kenapa residivisme masih terjadi di Indonesia. Pertama karena pengaruh Kelompok lamanya masih kuat. Kelompok lamanya masih memberikan dukungan penuh, baik itu secara sosial, ekonomi maupun psikologi.

“Pertama, kelompoknya masih mendukung dia sepenuhnya. Termasuk juga keluarganya. Sehingga dipenjara dia tidak ikut program deradikalisassi. Ketika dia keluar dia akan aktif lagi,” kata Sapto

Alasan kedua adanya Labeling dan Penolakan masyarakat. Dia menceritakan ada beberapa mantan napiter yang sudah sadar dan ingin hidup normal di masyarakat. Namun ketika akan kembali ada beberapa masyarakat yang menolak ketika tahu dia adalah napiter

“Akhirnya orang yang mendapatkan penolakan ini dia kembali lagi ke kelompoknya. Kalau sudah kembali ke kelompoknya ada ketergantungan sebagian menjadi pelaku lagi,” katanya lagi

Ketiga, adalah Kompetensi Pelaksana Deradikalisasi kurang. Sapto menjelaskan hal itu ia temukan di kasus IR pelaku Bom Surabaya pada tahun 2018 lalu. Menurut Sapto dalam kasus IR BAPAS sudah salah memberikan rekomendasi agar bisa dikirim ke Pusat Deradikalisasi di BNPT. Menurutnya BAPAS tidak memahami IR yang sudah terlibat dalam jaringan sudah lama.

“Jadi PK BAPAS cuma menilai ketika Napiternya terbuka dan baik. Tapi staf bapasnya tidak punya kemampuan jaringan organsisasi. IR ini sejak remaja sudah jadi anggota Jamaah Islamiyah karena pamannya. Baru setelah itu ketika ada MMI, karena ada ABB dia ikut jadi MMI. Ketika ABB mendirikan JAT dia ikut ke JAT. Sampai yang terakhir ke JAD, dalam artian walaupun dari usia masih muda tapi ternyata dia benar-benar berada di dalam jaringan. Apalagi di situ terungkap dia beberapa kali pelatihan Bom. Dan sering diminta untuk jadi instruktur Bom. Ini terabaikan,” kata Sapto lagi

Masalah yang keempat menurut Sapto adalah karena tidak semua Napiter mengikuti Program deradikalisasi. Menurut Sapto masyarakat tahunya satu warna. Faktnya di antara pelaku ini pelangi, mereka banyak sekali keunikan. Keunikan ini kadang-kadang tidak diperhatikan atau dianggap remeh oleh orang yang melakukan penanganan terkait di deradikalisasi.

“Karena kenyataannya di Lapas itu ada dua Blok, antara napiter yang berpaham takfiri dan tidak takfiri. Ketika berpaham takfiri kemungkinan jadi residivisnya sangat besar,” pungkas Sapto.

Komentar

Tulis Komentar